Sunday 27 April 2014

PENDARAHAN SALURAN MAKAN BAGIAN ATAS

Perdarahan Saluran Makan Bagian Atas


                                                           gambar : Melena (BAB hitam)

No. ICPC II : D14 Haematemesis/vomiting blood
                       D15 Melaena
No. ICD X :
Tingkat Kemampuan :
a. Ruptur esofagus 1
b. Varises esofagus 2
c. Ulkus gaster 3A
d. Lesi korosif esofagus 3B

Masalah Kesehatan

Perdarahan saluran cerna merupakan masalah yang sering dihadapi. Manifestasinya bervariasi mulai dengan perdarahan masif yang mengancam jiwa hingga perdarahan samar yang tidak dirasakan. Pendekatan pada pasien dengan perdarahan dan lokasi perdarahan saluran cerna adalah dengan menentukan beratnya perdarahan dan lokasi perdarahan.
Hematemesis (muntah darah segar atau hitam) menunjukkan perdarahan dari saluran cerna bagian atas, proksimal dari ligamentum Treitz.
Melena (tinja hitam, bau khas) biasanya akibat perdarahan saluran cerna bagian atas, meskipun demikian
perdarahan dari usus halus atau kolon bagian kanan, juga dapat menimbulkan melena.
Hematokezia (perdarahan merah segar) lazimnya menandakan sumber perdarahan dari kolon, meskipun perdarahan dari saluran cerna bagian atas yang banyak juga dapat menimbulkan hematokezia atau feses warna marun.
Perdarahan akut Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai di bagian gawat darurat rumah sakit. Sebagian besar pasien datang dalam keadaan stabil dan sebahagian lainnya datang dalam keadaan gawat darurat yangmemerlukan tindakan yang cepat dan tepat.
Di Indonesia perdarahan karena ruptura varises gastroesofageimerupakan penyebab tersering yaitu sekitar 50-60%, gastritis erosiva hemoragika sekitar 25-30%,tukak peptik sekitar 10-15% dan karena sebab lainnya < 5%.
Mortalitas secara keseluruhan masih tinggi yaitu sekitar 25%, kematian pada penderita ruptur varises bisa mencapai 60% sedangkan kematian pada perdarahan non varises sekitar 9-12%.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien dapat datang dengan keluhan muntah darah berwarna hitam seperti bubuk kopi (hematemesis) atau buang air besar berwarna hitam seperti ter atau aspal (melena),
Gejala klinis lainya sesuai dengan komorbid, seperti penyakit hati kronis, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit ginjal dsb.
Umumnya melena menunjukkan perdarahan di saluran cerna bagian atas atau usus halus, namun demikian melena dapat juga berasal dari perdarahan kolon sebelah kanan dengan perlambatan mobilitas. Tidak semua kotoran hitam ini melena karena bismuth, sarcol, lycorice, obat-obatan yang mengandung besi (obat tambah darah) dapat menyebabkan faeces menjadi hitam.
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat penyakit hati kronis, riwayat dispepsia, riwayat mengkonsumsi NSAID, obat rematik, alkohol, jamu – jamuan, obat untuk penyakit jantung, obat stroke. Kemudian ditanya riwayat penyakit ginjal, riwayat penyakit paru dan adanya perdarahan ditempat lainnya. Riwayat muntah-muntah sebelum terjadinya hematemesis sangat mendukung kemungkinan adanya sindroma Mallory Weiss.

Faktor Risiko : Sering mengkonsumsi obat-obat NSAID

Faktor Predisposisi : memiliki penyakit hati (seperti serosis hepatis).

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a. Penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi)
b. Perlu dilakukan evaluasi jumlah perdarahan.
c. Pemeriksaan fisik lainnya yang penting yaitu mencari stigmata penyakit hati kronis (ikterus,spider nevi, asites, splenomegali, eritema palmaris, edema tungkai), massa abdomen, nyeri abdomen, rangsangan peritoneum, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit rematik dll.
d. Rectal toucher, warna feses ini mempunyai nilai prognostik
e. Dalam prosedur diagnosis ini penting melihat aspirat dari Naso Gastric
Tube (NGT). Aspirat berwarna putih keruh menandakan perdarahan tidak aktif, aspirat berwarna merah marun menandakan perdarahan masif sangat mungkin perdarahan arteri. Seperti halnya warna feses
maka warna aspirat pun dapat memprediksi mortalitas pasien.
Walaupun demikian pada sekitar 30% pasien dengan perdarahan tukak duodeni ditemukan adanya aspirat yang jernih pada NGT.

Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium darah lengkap, faal hemostasis, faal hati, faal ginjal, gula darah, elektrolit, golongan darah, petanda hepatitis B dan C.
b. Rontgen dada dan elektrokardiografi.
c. Dalam prosedur diagnosis ini pemeriksaan endoskopi merupakan gold standard. Tindakan endoskopi selain untuk diagnostik dapat dipakai pula untuk terapi.
d. Pada beberapa keadaan dimana pemeriksaan endoskopi tidak dapat dilakukan, pemeriksaan dengan kontras barium (OMD) dengan angiografi atau skintigrafimungkin dapat membantu.

Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.

Diagnosis Banding
a. Hemoptisis
b. Hematoskezia

Komplikasi

a. Syok hipovolemia
b. Aspirasi pneumonia
c. Gagal ginjal akut
d. Anemia karena perdarahan
e. Sindrom hepatorenal
f. Koma hepatikum

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Identifikasi dan antisipasi terhadap adanya gangguan hemodinamik harus dilaksanakan secara prima di lini terdepan karena keberhasilannya akan mempengaruhi prognosis.
b. Langkah awal menstabilkan hemodinamik.
    1. Pemasangan IV line paling sedikit 2
    2. Dianjurkan pemasangan CVP
    3. Oksigen sungkup/kanula. Bila ada gangguan A-B perlu dipasang ETT
    4. Mencatat intake output, harus dipasang kateter urine
    5. Memonitor tekanan darah, nadi, saturasi oksigen dan keadaan lainnya sesuai dengan komorbid yang ada.
    c. Pemasangan NGT (nasogatric tube)
       1. Melakukan bilas lambung agar mempermudah dalam tindakan endoskopi.
       2. Transfusi untuk mempertahankan hematokrit > 25%
d. Pemeriksaan laboratorium segera diperlukan pada kasus-kasus yg membutuhkan transfusi lebih 3 unit pack red cell. Pasien yang stabil setelah pemeriksaan dianggap memadai, pasien dapat
segera dirawat untuk terapi lanjutan atau persiapan endoskopi.
e. Konsultasi ke dokter spesialis terkait dengan penyebab perdarahan.
f. Penatalaksanaan sesuai penyebab perdarahan
g. Tirah baring
h. Puasa/Diet hati/lambung
    1. Injeksi antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton (PPI)
    2. Sitoprotektor: sukralfat 3-4x1 gram
    3. Antacida
    4. Injeksi vitamin K untuk pasien dengan penyakit hati kronis
    5. Terhadap pasien yang diduga kuat karena ruptura varises gastroesofageal dapat diberikan: somatostatin bolus 250 ug + drip 250 mikrogram/jam atau oktreotid bo0,1mg/2 jam. Pemberian diberikan sampai perdarahan berhenti atau bila mampu diteruskan 3 hari setelah ligasi varises.
   6. Propanolol, dimulai dosis 2x10 mg dapat ditingkatkan sampai tekanan diastolik turun 20 mmHg atau denyut nadi turun 20%.
   7. Laktulosa 4x1 sendok makan
   8. Neomisin 4x500 mg
   9. Sebagian besar pasien dengan perdarahan SCBA dapat berhenti sendiri, tetapi pada 20% dapat berlanjut. Walaupun sudah dilakukan terapi endoskopi pasien dapat mengalami perdarahan ulang. Oleh karena itu perlu dilakukan assessmen yang lebih akurat untuk memprediksi perdarahan ulang dan mortalitas.
   10. Prosedur bedah dilakukan sebagai tindakan emergensi atau elektif.

Rencana Tindak Lanjut
Walaupun sudah dilakukan terapi endoskopi pasien dapat mengalami perdarahan ulang.
Oleh karena itu perlu dilakukan asesmen yang lebih akurat untuk memprediksi perdarahan ulang dan mortalitas.

Konseling dan Edukasi
Keluarga ikut mendukung untuk menjaga diet dan pengobatan pasien.

Kriteria Rujukan

Konsultasi ke dokter spesialis terkait dengan penyebab perdarahan.

Sarana Prasarana

a. Oksigen
b. Infus set
c. Obat antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton (PPI)
d. Sitoprotektor: sukralfat 3-4x1 gram
e. Antasida
f. Vitamin K
g. EKG

Prognosis

Prognosis untuk kondisi ini adalah dubia, mungkin tidak sampai mengancam jiwa, namun ad fungsionam dan sanationam umumnya dubia ad malam.



Sumber gambar :  http://newnurseblog.com/wp-content/uploads/2010/11/melena.jpg

No comments:

Post a Comment