Friday 28 November 2014

INSOMNIA (SUSAH TIDUR)

Insomnia

No. ICPC II : P06 Sleep disturbance
No. ICD X : G47.0 Disorders of initiating and maintaining sleep (insomnias)
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Insomnia adalah gejala atau gangguan dalam tidur, dapat berupa kesulitan
berulang untuk mencapai tidur, atau mempertahankan tidur yang optimal,
atau kualitas tidur yang buruk. Pada kebanyakan kasus, gangguan tidur
adalah salah satu gejala dari gangguan lainnya, baik mental (psikiatrik) atau
fisik. Secara umum lebih baik membuat diagnosis gangguan tidur yang
spesifik bersamaan dengan diagnosis lain yang relevan untu menjelaskan
secara adekuat psikopatologi dan atau patofisiologinya.

Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Sulit masuk tidur, sering terbangun di malam hari atau mempertahankan
tidur yang optimal, atau kualitas tidur yang buruk.

Faktor Risiko
a. Adanya gangguan organik (seperti gangguan endokrin, penyakit
    jantung).
b. Adanya gangguan psikiatrik seperti gangguan psikotik, gangguan
    depresi, gangguan cemas, dan gangguan akibat zat psikoaktif.
 
Faktor Predisposisi
a. Sering bekerja di malam hari .
b. Jam kerja tidak stabil.
c. Penggunaan alkohol, cafein atau zat adiktif yang berlebihan.
d. Efek samping obat.
e. Kerusakan otak, seperti: encephalitis, stroke, penyakit Alzheimer

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
Pada status generalis, pasien tampak lelah dan mata cekung. Bila terdapat
gangguan organik, ditemukan kelainan pada organ.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan spesifik tidak diperlukan.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis.

Pedoman Diagnosis

a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur
    atau kualitas tidur yang buruk
b. Gangguan terjadi minimal tiga kali seminggu selama minimal satu
    bulan.
c. Adanya preokupasi tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap
    akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari.
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur
    menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi
    dalam sosial dan pekerjaan.

Diagnosis Banding

a. Gangguan psikiatri.
b. Gangguan medik umum.
c. Gangguan neurologis.
d. Gangguan lingkungan.
e. Gangguan ritme sirkadian.

Komplikasi

Dapat terjadi penyalahgunaan zat.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a. Pasien diberikan penjelasan tentang faktor-faktor risiko yang dimilikinya
    dan pentingnya untuk memulai pola hidup yang sehat dan mengatasi
    masalah yang menyebabkan terjadinya insomnia.
b. Untuk obat-obatan, pasien dapat diberikan Lorazepam 0,5 – 2 mg atau
    Diazepam 2 - 5 mg pada malam hari. Pada orang yang berusia lanjut
    atau mengalami gangguan medik umum diberikan dosis minimal efektif.
 
Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga agar mereka dapat
memahami tentang insomnia dan dapat menghindari pemicu terjadinya
insomnia.

Kriteria Rujukan

Apabila setelah 2 minggu pengobatan tidak menunjukkan perbaikan, atau
apabila terjadi perburukan walaupun belum sampai 2 minggu, pasien dirujuk
ke fasilitas kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis kedokteran
jiwa.

Sarana Prasarana

Tidak ada sarana prasarana khusus

Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam

Tuesday 25 November 2014

TENSION HEADACHE (SAKIT KEPALA TEGANG)

Tension Headache


No. ICPC II : N95 Tension Headache
No. ICD X : G44.2 Tension–type headache
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Tension Headache atau Tension Type Headache (TTH) atau nyeri kepala tipe
tegang adalah bentuk sakit kepala yang paling sering dijumpai dan sering
dihubungkan dengan jangka waktu dan peningkatan stres. Sebagian besar
tergolong dalam kelompok yang mempunyai perasaan kurang percaya diri,
selalu ragu akan kemampuan diri sendiri dan mudah menjadi gentar dan
tegang. Pada akhirnya, terjadi peningkatan tekanan jiwa dan penurunan
tenaga. Pada saat itulah terjadi gangguan dan ketidakpuasan yang
membangkitkan reaksi pada otot-otot kepala,leher, bahu, serta vaskularisasi
kepala sehingga timbul nyeri kepala.

Nyeri kepala ini lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki
dengan perbandingan 3:1. TTH dapat mengenai semua usia, namun sebagian
besar pasien adalah dewasa muda yang berusiasekitar antara 20-40 tahun.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan nyeri yang tersebar secara difus dan sifat
nyerinya mulai dari ringan hingga sedang.Nyeri kepala tegang otot biasanya
berlangsung selama 30 menit hingga 1 minggu penuh. Nyeri bisa dirasakan
kadang-kadang atau terus menerus. Nyeri pada awalnya dirasakan pasien
pada leher bagian belakang kemudian menjalar ke kepala bagian belakang
selanjutnya menjalar ke bagian depan. Selain itu, nyeri ini jugadapat menjalar
ke bahu. Nyeri kepala dirasakan seperti kepala berat, pegal, rasa kencang
pada daerah bitemporal dan bioksipital, atau seperti diikat di sekeliling kepala.
Nyeri kepala tipe ini tidak berdenyut.
Pada nyeri kepala ini tidak disertai mual ataupun muntah tetapi anoreksia
mungkin saja terjadi. Gejala lain yang juga dapat ditemukan seperti insomnia
(gangguan tidur yang sering terbangun atau bangun dini hari), nafas pendek,
konstipasi, berat badan menurun, palpitasi dan gangguan haid.
Pada nyeri kepala tegang otot yang kronis biasanya merupakan manifestasi
konflik psikologis yang mendasarinya seperti kecemasan dan depresi.

Faktor Risiko: -

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
Tidak ada pemeriksaan fisik yang berarti untuk mendiagnosis nyeri
kepalategang otot ini. Pada pemeriksaan fisik, tanda vital harus normal,
pemeriksaan neurologis normal.
Pemeriksaan yang dilakukan berupa pemeriksaan kepala dan leher serta
pemeriksaan neurologis yang meliputi kekuatan motorik, refleks, koordinasi,
dansensoris.
Pemeriksaan mata dilakukan untuk mengetahui adanya peningkatan tekanan
pada bola mata yang bisa menyebabkan sakit kepala.
Pemeriksaan daya ingat jangka pendek dan fungsi mental pasien juga
dilakukan dengan menanyakan beberapa pertanyaan. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk menyingkirkan berbagai penyakit yang serius yang memiliki
gejala nyeri kepala seperti tumor atau aneurisma dan penyakit lainnya.
 
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
normal. Anamnesis yang mendukung adalah adanya faktor psikis yang
melatar belakangi dan karakteristik gejala nyeri kepala (tipe, lokasi, frekuensi
dan durasi nyeri) harus jelas.
 
Klasifikasi
Menurut lama berlangsungnya, nyeri kepala tegang otot ini dibagi
menjadinyeri kepala episodik jika berlangsungnya kurang dari 15 hari dengan
serangan yang terjadi kurang dari1 hari perbulan (12 hari dalam 1 tahun).
Apabila nyeri kepala tegang otot tersebut berlangsung lebih dari 15 hari
selama 6 bulan terakhir dikatakan nyeri kepala tegang otot kronis.

Diagnosis Banding

a. Migren
b. Cluster-type hedache (nyeri kepala kluster)

Komplikasi : -

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Pembinaan hubungan empati awal yang hangat antara dokter dan
    pasien merupakan langkah pertama yang sangat penting untuk
    keberhasilan pengobatan. Penjelasan dokter yang meyakinkan pasien
    bahwa tidak ditemukan kelainan fisik dalam rongga kepala atau
    otaknya dapat menghilangkan rasa takut akan adanya tumor otak atau
    penyakit intrakranial lainnya. Penilaian adanya kecemasan atau depresi
    harus segera dilakukan. Sebagian pasien menerima bahwa kepalanya
    berkaitan dengan penyakit depresinya dan bersedia ikut program
    pengobatan sedangkan pasien lain berusaha menyangkalnya. Oleh
    sebab itu, pengobatan harus ditujukan kepada penyakit yang mendasari
    dengan obat anti cemas atau anti depresi serta modifikasi pola hidup
    yang salah, disamping pengobatan nyeri kepalanya.
b. Saat nyeri timbul dapat diberikan beberapa obat untuk menghentikan
    atau mengurangi sakit yang dirasakan saat serangan muncul.
    Penghilang sakit yang sering digunakan adalah: acetaminophen dan
    NSAID seperti aspirin, ibuprofen, naproxen,dan ketoprofen. Pengobatan
    kombinasi antara acetaminophen atau aspirin dengan kafein atau obat
    sedatif biasa digunakan bersamaan. Cara ini lebih efektif untuk
    menghilangkan sakitnya, tetapi jangan digunakan lebih dari 2 hari
    dalam seminggu dan penggunaannya harus diawasi oleh dokter.
c. Pemberian obat-obatan antidepresi yaitu amitriptilin
    Tabel 37. Analgesik nonspesifik untuk TTH

    * Respon terapi dalam 2 jam (nyeri kepala residual menjadi ringan atau hilang dalam
       2 jam).

Konseling dan Edukasi
a. Keluarga ikut meyakinkan pasien bahwa tidak ditemukan kelainan fisik
    dalam rongga kepala atau otaknya dapat menghilangkan rasa takut
    akan adanya tumor otak atau penyakit intrakranial lainnya.
b. Keluarga ikut membantu mengurangi kecemasan atau depresi pasien,
    serta menilai adanya kecemasan atau depresi pada pasien.

Kriteria Rujukan

a. Bila nyeri kepala tidak membaik maka dirujuk ke fasilitas pelayanan
    kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf.
b. Bila depresi berat dengan kemungkinan bunuh diri maka pasien harus
    dirujuk ke pelayanan sekunder yang memiliki dokter spesialis jiwa.

Sarana Prasarana

Obat analgetik

Prognosis

Prognosis umumnya bonam karena dapat terkendali dengan pengobatan
pemeliharaan.

BELL'S PALSY

Bells’ Palsy

 



No. ICPC II : N91 Facial paralysis/Bells’ palsy
No. ICD X : G51.0 Bells’ palsy
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Bells’palsy adalah paralisis fasialis idiopatik, merupakan penyebab tersering
dari paralisis fasialis unilateral. Bells’ palsy merupakan kejadian akut,
unilateral, paralisis saraf fasial type LMN (perifer), yang secara gradual
mengalami perbaikan pada 80-90% kasus.

Penyebab Bells’ palsy tidak diketahui, diduga penyakit ini bentuk polineuritis
dengan kemungkinan virus, inflamasi, auto imun dan etiologi iskemik.
Peningkatan kejadian berimplikasi pada kemungkinan infeksi HSV type I dan
reaktivasi herpes zoster dari ganglia nervus kranialis.

Bells’ palsy merupakan satu dari penyakit neurologis tersering yang
melibatkan saraf kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus
paralisis fasialis unilateral akut) paralisis fasial di dunia.
Bells’ palsy lebih sering ditemukan pada usia dewasa, orang dengan DM, dan
wanita hamil.

Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Pasien datang dengan keluhan:
a. Paralisis otot fasialis atas dan bawah unilateral, dengan onset akut
   (periode 48 jam)
b. Nyeri auricular posterior
c. Penurunan produksi air mata
d. Hiperakusis
e. Gangguan pengecapan
f. Otalgia

Gejala awal:
a. Kelumpuhan muskulus fasialis
b. Tidak mampu menutup mata
c. Nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%)
d. Perubahan pengecapan (57%)
e. Hiperakusis (30%)
f. Kesemutan pada dagu dan mulut
g. Epiphora
h. Nyeri ocular
i. Penglihatan kabur

Onset
Onset Bells’ palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari 48
jam. Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir atau menakutkan
pasien, sering mereka berpikir terkena stroke atau terdapat tumor dan distorsi
wajah akan permanen. Karena kondisi ini terjadi secara mendadak dan cepat,
pasien sering datang langsung ke IGD. Kebanyakan pasien mencatat paresis
terjadi pada pagi hari. Kebanyakan kasus paresis mulai terjadi selama pasien
tidur.

Faktor Risiko: -

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung dan mulut harus
dilakukan pada semua pasien dengan paralisis fasial.
a. Kelemahan atau paralisis yang melibatkan saraf fasial (N VII) melibatkan
    kelemahan wajah satu sisi (atas dan bawah). Pada lesi UMN (lesi supra
    nuclear di atas nukleus pons), 1/3 wajah bagian atas tidak mengalami
    kelumpuhan. Muskulus orbikularis, frontalis dan korrugator diinervasi
    bilateral pada level batang otak. Inspeksi awal pasien memperlihatkan
    lipatan datar pada dahi dan lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan.
b. Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan terjadi distorsi dan
    lateralisasi pada sisi berlawanan dengan kelumpuhan.
c. Pada saat pasien diminta untuk mengangkat alis, sisi dahi terlihat datar.
d. Pasien juga dapat melaporkan peningkatan salivasi pada sisi yang
    lumpuh.

 




















Jika paralisis melibatkan hanya wajah bagian bawah, penyebab sentral harus
dipikirkan (supranuklear). Jika pasien mengeluh kelumpuhan kontra lateral
atau diplopia berkaitan dengan kelumpuhan fasial kontralateral supranuklear,
stroke atau lesi intra serebral harus sangat dicurigai.

Jika paralisis fasial onsetnya gradual, kelumpuhan pada sisi kontralateral,
atau ada riwayat trauma dan infeksi, penyebab lain dari paralisis fasial harus
sangat dipertimbangkan.

Progresifitas paresis masih mungkin,namun biasanya tidak memburuk pada
hari ke 7 sampai 10. Progresifitas antara hari ke 7-10 dicurigai diagnosis yang
berbeda.

Pasien dengan kelumpuhan fasial bilateral harus dievaluasi sebagai Sindroma
Guillain-Barre, penyakit Lyme, dan meningitis.

Manifestasi Okular
Komplikasi okular awal:
a. Lagophthalmos (ketidakmampuan untuk menutup mata total)
b. Corneal exposure
c. Retraksi kelopak mata atas
d. Penurunan sekresi air mata
e. Hilangnya lipatan nasolabial
f. Erosi kornea, infeksi dan ulserasi (jarang)

Manifestasi okular lanjut
a. Ringan: kontraktur pada otot fasial, melibatkan fisura palpebral.
b. Regenerasi aberan saraf fasialis dengan sinkinesis motorik.
c. Sinkinesis otonom (air mata buaya-tetes air mata saat mengunyah).
d. Dua pertiga pasien mengeluh masalah air mata. Hal ini terjadi karena
    penurunan fungsi orbicularis okuli dalam mentransport air mata.

Nyeri auricular posterior
Separuh pasien dengan Bells’ palsy mengeluh nyeri auricular posterior. Nyeri
sering terjadi simultan dengan paresis, tapi nyeri mendahului paresis 2-3 hari
sekitar pada 25% pasien. Pasien perlu ditanyakan apakah ada riwayat trauma,
yang dapat diperhitungkan menyebabkan nyeri dan paralisis fasial. Sepertiga
pasien mengalami hiperakusis pada telinga ipsilateral paralisis, sebagai akibat
kelumpuhan sekunder otot stapedius.

Gangguan pengecapan
Walaupun hanya sepertiga pasien melaporkan gangguan pengecapan, sekitar
80% pasien menunjukkan penurunan rasa pengecapan.
Kemungkinan pasien gagal mengenal penurunan rasa, karena sisi lidah yang
lain tidak mengalami gangguan. Penyembuhan awal pengecapan
mengindikasikan penyembuhan komplit.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium darah: Gula darah sewaktu

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan
neurologis (saraf kranialis, motorik, sensorik, serebelum). Bells’ palsy adalah
diagnosis eksklusi.
Gambaran klinis penyakit yang dapat membantu membedakan dengan
penyebab lain dari paralisis fasialis:
a. Onset yang mendadak dari paralisis fasial unilateral
b. Tidak adanya gejala dan tanda pada susunan saraf pusat, telinga, dan
     penyakit cerebellopontin angle.


Jika terdapat kelumpuhan pada saraf kranial yang lain, kelumpuhan motorik
dan gangguan sensorik, maka penyakit neurologis lain harus dipikirkan
(misalnya: stroke, GBS, meningitis basilaris, tumor Cerebello Pontine Angle).
Gejala tumor biasanya kronik progresif. Tumor CPA dapat melibatkan paralisis
saraf VII, VIII, dan V. Pasien dengan paralisis progresif saraf VII lebih lama dari
3 minggu harus dievaluasi sebagai neoplasma.

Klasifikasi
Sistem grading ini dikembangkan oleh House and Brackmann dengan skala I
sampai VI.
a. Grade I adalah fungsi fasial normal.
b. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
    1. Kelemahan ringan saat diinspeksi mendetil.
    2. Sinkinesis ringan dapat terjadi.
    3. Simetris normal saat istirahat.
    4. Gerakan dahi sedikit sampai baik.
    5. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit usaha.
    6. Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.
c. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karekteristik:
    1. Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal.
    2. Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat
       ditemukan.
    3. Simetris normal saat istirahat.
    4. Gerakan dahi sedikit sampai moderat.
    5. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha.
    6. Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal.
d. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai berat, dengan tandanya
    sebagai berikut:
    1. Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.
    2. Simetris normal saat istirahat.
    3. Tidak terdapat gerakan dahi.
    4. Mata tidak menutup sempurna.
    5. Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal.
e. Grade V adalah disfungsi berat. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
    1. Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan.
    2. Asimetris juga terdapat pada saat istirahat.
    3. Tidak terdapat gerakan pada dahi.
    4. Mata menutup tidak sempurna.
    5. Gerakan mulut hanya sedikit.
f. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya yaitu:
    1. Asimetris luas.
    2. Tidak ada gerakan.

Dengan sistem ini, grade I dan II menunjukkan hasil yang baik, grade III dan
IV terdapat disfungsi moderat, dan grade V dan VI menunjukkan hasil yang
buruk. Grade VI disebut dengan paralisis fasialis komplit. Grade yang lain
disebut sebagai inkomplit. Paralisis fasialis inkomplit dinyatakan secara
anatomis dan dapat disebut dengan saraf intak secara fungsional. Grade ini
seharusnya dicatat pada rekam medik pasien saat pertama kali datang
memeriksakan diri.

Diagnosis Banding

Penyakit-penyakit berikut dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, yaitu:
a. Acoustic neuroma danlesi cerebellopontine angle.
b. Otitis media akut atau kronik.
c. Amiloidosis.
d. Aneurisma A. vertebralis, A. basilaris, atau A. carotis.
e. Sindroma autoimun.
f. Botulismus.
g. Karsinomatosis.
h. Penyakit carotid dan stroke, termasuk fenomena emboli.
i. Cholesteatoma telinga tengah.
j. Malformasi congenital.
k. Schwannoma N. Fasialis.
l. Infeksi ganglion genikulatum

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
Karena prognosis pasien dengan Bells’ palsy umumnya baik, pengobatan
masih kontroversi. Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII
(saraf fasialis) dan menurunkan kerusakan saraf.

Pengobatan dipertimbangkan untuk pasien dalam 1-4 hari onset.
Hal penting yang perlu diperhatikan:
a. Pengobatan inisial
    1. Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk
       pengobatan Bells’ palsy (American Academy Neurology/AAN, 2011).
    2. Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan
       fungsi saraf kranial, jika diberikan pada onset awal (ANN, 2012).
    3. Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/day selama 6
       hari, diikuti penurunan bertahap total selama 10 hari.
    4. Antiviral: asiklovir diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari
       selama 10 hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800
       mg oral 5 kali/hari.
b. Lindungi mata
    Perawatan mata: lubrikasi okular topikal (artifisial air mata pada siang
    hari) dapat mencegah corneal exposure.
c. Fisioterapi atau akupunktur: dapat mempercepat perbaikan dan
    menurunkan sequele.

Rencana Tindak Lanjut

Pemeriksaan kembali fungsi nervus facialis untuk memantau perbaikan
setelah pengobatan.

Kriteria Rujukan

a. Bila dicurigai kelainan supranuklear
b. Tidak menunjukkan perbaikan

Sarana Prasarana

a. Palu reflex
b. Kapas
c. Obat steroid
d. Obat antiviral

Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam, kondisi terkendali dengan pengobatan
pemeliharaan.


Sumber gamabar : http://www.moveforwardpt.com/image.axd?id=e834ea63-ab87-4fb4-a384-29b7b7507045&t=634796060478870000
http://31.media.tumblr.com/tumblr_m9p1w05w3L1rn6pqko1_1280.gif

Saturday 22 November 2014

MIGREN

Migren

No. ICPC II : N89 Migraine
No. ICD X : G43.9 Migraine, unspecified
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Migren adalah suatu istilah yang digunakan untuk nyeri kepala primer dengan
kualitas vaskular (berdenyut), diawali unilateral yang diikuti oleh mual,
fotofobia, fonofobia, gangguan tidur dan depresi. Serangan seringkali berulang
dan cenderung tidak akan bertambah parah setelah bertahun-tahun. Migren
bila tidak diterapi akan berlangsung antara 4-72 jam dan yang klasik terdiri
atas 4 fase yaitu fase prodromal (kurang lebih 25 % kasus), fase aura (kurang
lebih 15% kasus), fase nyeri kepala dan fase postdromal.

Pada wanita migren lebih banyak ditemukan dibanding pria dengan skala 2:1.
Wanita hamil tidak luput dari serangan migren, pada umumnya serangan
muncul pada kehamilan trimester I.

Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti faktor penyebab migren, diduga
sebagai gangguan neurobiologis, perubahan sensitivitas sistem saraf dan
avikasi sistem trigeminal-vaskular, sehingga migren termasuk dalam nyeri
kepala primer.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Suatu serangan migren dapat menyebabkan sebagian atau seluruh tanda dan
gejala, sebagai berikut:
a. Nyeri moderat sampai berat, kebanyakan penderita migren merasakan
    nyeri hanya pada satu sisi kepala, namun sebagian merasakan nyeri
    pada kedua sisi kepala.
b. Sakit kepala berdenyut atau serasa ditusuk-tusuk.
c. Rasa nyerinya semakin parah dengan aktivitas fisik.
d. Rasa nyerinya sedemikian rupa sehingga tidak dapat melakukan
    aktivitas sehari-hari.
e. Mual dengan atau tanpa muntah.
f. Fotofobia atau fonofobia.
g. Sakit kepalanya mereda secara bertahap pada siang hari dan setelah
    bangun tidur, kebanyakan pasien melaporkan merasa lelah dan lemah
    setelah serangan.
h. Sekitar 60 % penderita melaporkan gejala prodormal, seringkali terjadi
    beberapa jam atau beberapa hari sebelum onset dimulai. Pasien
    melaporkan perubahan mood dan tingkah laku dan bisa juga gejala
    psikologis, neurologis atau otonom.

Faktor Predisposisi
a. Menstruasi biasa pada hari pertama menstruasi atau sebelumnya/
    perubahan hormonal.
b. Puasa dan terlambat makan
c. Makanan misalnya akohol, coklat, susu, keju dan buah-buahan.
d. Cahaya kilat atau berkelip.
e. Banyak tidur atau kurang tidur
f. Faktor herediter
g. Faktor kepribadian

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, tanda vital harus normal, pemeriksaan neurologis
normal. Temuan-temuan yang abnormal menunjukkan sebab-sebab sekunder,
yang memerlukan pendekatan diagnostik dan terapi yang berbeda.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan, pemeriksaan ini dilakukan
    jika ditemukan hal-hal, sebagai berikut:
    1. Kelainan-kelainan struktural, metabolik dan penyebab lain yang
        dapat menyerupai gejala migren.
    2. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit penyerta yang dapat
        menyebabkan komplikasi.
    3. Menentukan dasar pengobatan dan untuk menyingkirkan
        kontraindikasi obat-obatan yang diberikan.
b. Pencitraan (dilakukan di rumah sakit rujukan).
c. Neuroimaging diindikasikan pada hal-hal, sebagai berikut:
    1. Sakit kepala yang pertama atau yang terparah seumur hidup
        penderita.
    2. Perubahan pada frekuensi keparahan atau gambaran klinis pada
        migren.
    3. Pemeriksaan neurologis yang abnormal.
    4. Sakit kepala yang progresif atau persisten.
    5. Gejala-gejala neurologis yang tidak memenuhi kriteria migren dengan
        aura atau hal-hal lain yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
    6. Defisit neurologis yang persisten.
    7. Hemikrania yang selalu pada sisi yang sama dan berkaitan dengan
        gejala-gejala neurologis yang kontralateral.
    8. Respon yang tidak adekuat terhadap terapi rutin.
    9. Gejala klinis yang tidak biasa.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan
fisik umum dan neurologis.

Kriteria Migren:
Nyeri kepala episodik dalam waktu 4-72 jam dengan gejala dua dari nyeri
kepala unilateral, berdenyut, bertambah berat dengan gerakan, intensitas
sedang sampai berat ditambah satu dari mual atau muntah, fonopobia atau
fotofobia.

Diagnosis Banding

a. Arteriovenous Malformations
b. Atypical Facial Pain
c. Cerebral Aneurysms
d. Childhood Migraine Variants
e. Chronic Paroxysmal Hemicrania
f. Cluster-type hedache (nyeri kepala kluster)

Komplikasi

a. Stroke iskemik dapat terjadi sebagai komplikasi yang jarang namun
    sangat serius dari migren. Hal ini dipengaruhi oleh faktor risiko seperti
    aura, jenis kelamin wanita, merokok, penggunaan hormon estrogen.
b. Pada migren komplikata dapat menyebabkan hemiparesis.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Pada saat serangan pasien dianjurkan untuk menghindari stimulasi
    sensoris berlebihan.
b. Bila memungkinkan beristirahat di tempat gelap dan tenang dengan
    dikompres dingin.
    1. Perubahan pola hidup dapat mengurangi jumlah dan tingkat
        keparahan migren, baik pada pasien yang menggunakan obat-obat
       preventif atau tidak.
    2. Menghindari pemicu, jika makanan tertentu menyebabkan sakit
       kepala, hindarilah dan makan makanan yang lain. Jika ada aroma
       tertentu yang dapat memicu maka harus dihindari. Secara umum
       pola tidur yang reguler dan pola makan yang reguler dapat cukup
       membantu.
   3. Berolahraga secara teratur, olahraga aerobik secara teratur
      mengurangi tekanan dan dapat mencegah migren.
   4. Mengurangi efek estrogen, pada wanita dengan migren dimana
      estrogen menjadi pemicunya atau menyebabkan gejala menjadi lebih
      parah, atau orang dengan riwayat keluarga memiliki tekanan darah
      tinggi atau stroke sebaiknya mengurangi obat-obatan yang
      mengandung estrogen.
  5. Berhenti merokok, merokok dapat memicu sakit kepala atau
      membuat sakit kepala menjadi lebih parah (dimasukkan di
      konseling).
  6. Penggunaan headache diary untuk mencatat frekuensi sakit kepala.
  7. Pendekatan terapi untuk migren melibatkan pengobatan akut
      (abortif) dan preventif (profilaksis).
c. Pengobatan Abortif:
    1. Analgesik spesifik adalah analgesik yang hanya bekerja sebagai
        analgesik nyeri kepala. Lebih bermanfaat untuk kasus yang berat
        atau respon buruk dengan OINS. Contoh: Ergotamin,
        Dihydroergotamin, dan golongan Triptan yang merupakan agonis
        selektif reseptor serotonin pada 5-HT1.
        Ergotamin dan DHE diberikan pada migren sedang sampai berat
        apabila analgesik non spesifik kurang terlihat hasilnya atau memberi
        efek samping. Kombinasi ergotamin dengan kafein bertujuan untuk
        menambah absorpsi ergotamin sebagai analgesik. Hindari pada
        kehamilan, hipertensi tidak terkendali, penyakit serebrovaskuler
        serta gagal ginjal.
        Sumatriptan dapat meredakan nyeri, mual, fotobia dan fonofobia.
        Obat ini diberikan pada migren berat atau yang tidak memberikan
        respon terhadap analgesik non spesifik. Dosis awal 50 mg dengan
        dosis maksimal 200 mg dalam 24 jam.
  2. Analgesik non spesifik yaitu analgesik yang dapat diberikan pada
      nyeri lain selain nyeri kepala, dapat menolong pada migren intensitas
      nyeri ringan sampai sedang.

Tabel 35. Regimen analgesik



     * Respon terapi dalam 2 jam (nyeri kepala residual ringan atau hilang dalam 2
        jam)
      Domperidon atau metoklopropamid sebagai antiemetic dapat diberikan saat
      serangan nyeri kepala atau bahkan lebih awal yaitu pada saat fase prodromal.
d. Pengobatan preventif:
    Pengobatan preventif harus selalu diminum tanpa melihat adanya
    serangan atau tidak. Pengobatan dapat diberikan dalam jangka waktu
    episodik, jangka pendek (subakut), atau jangka panjang (kronis). Pada
    serangan episodik diberikan bila factor pencetus dikenal dengan baik,
    sehingga dapat diberikan analgesik sebelumnya. Terapi prevenntif
    jangka pendek diberikan apabila pasien akan terkena faktor risiko yang
    telah dikenal dalam jangka waktu tertentu, misalnya migren menstrual.
    Terapi preventif kronis diberikan dalam beberapa bulan bahkan tahun
    tergantung respon pasien.

Farmakoterapi pencegahan migren:
Tabel 36. Farmakoterapi pencegah migren



Komplikasi

a. Obat-obat NSAID seperti ibuprofen dan aspirin dapat menyebabkan efek
    samping seperti nyeri abdominal, perdarahan dan ulkus, terutama jika
    digunakan dalam dosis besar dan jangka waktu yang lama.
b. Penggunaan obat-obatan abortif lebih dari dua atau tiga kali seminggu
    dengan jumlah yang besar, dapat menyebabkan komplikasi serius yang
    dinamakan rebound.

Konseling dan Edukasi
a. Pasien dan keluarga dapat berusaha mengontrol serangan.
b. Keluarga menasehati pasien untuk beristirahat dan menghindari
    pemicu, serta berolahraga secara teratur.
c. Keluarga menasehati pasien jika merokok untuk berhenti merokok
    karena merokok dapat memicu sakit kepala atau membuat sakit kepala
    menjadi lebih parah.

Kriteria Rujukan

Pasien perlu dirujuk jika migren terus berlanjut dan tidak hilang dengan
pengobatan analgesik non-spesifik. Pasien dirujuk ke layanan sekunder
(dokter spesialis saraf).

Sarana Prasarana

a. Alat pemerikaan neurologis
b. Obat antimigren

Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam, namun quo ad sanationam adalah dubia
karena sering terjadi berulang.






Thursday 20 November 2014

STATUS EPILEPTIKUS

Status Epileptikus

No. ICPC II : N88 Epilepsy
No. ICD X : G41.9 Status epilepticus, unspecified
Tingkat Kemampuan: 3B

Masalah Kesehatan

Status epileptikus adalah bangkitan yang terjadi lebih dari 30 menit atau
adanya dua bangkitan atau lebih dimana diantara bangkitan-bangkitan tadi
tidak terdapat pemulihan kesadaran.
Status epileptikus merupakan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan
penanganan dan terapi segera guna menghentikan bangkitan (dalam waktu 30
menit). Diagnosis pasti status epileptikus bila pemberian benzodiazepin awal
tidak efektif dalam menghentikan bangkitan.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan kejang, keluarga pasien perlu ditanyakan mengenai
riwayatpenyakit epilepsi dan pernah mendapatkan obat antiepilepsi serta
penghentian obat secara tiba-tiba.
Riwayat penyakit tidak menular sebelumnya juga perlu ditanyakan, seperti
Diabetes Melitus, stroke, dan hipertensi.
Riwayat gangguan imunitas misalnya HIV yang disertai infeksi oportunistik
dan data tentang bentuk dan pola kejang juga perlu ditanyakan secara
mendetil.

Faktor Risiko: -

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

 

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan dapat ditemukan adanya kejang atau gangguan perilaku,
penurunan kesadaran, sianosis, diikuti oleh takikardi dan peningkatan
tekanan darah, dan sering diikuti hiperpireksia.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: pemeriksaan gula darah sewaktu.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

 

Diagnosis Klinis
Diagnosis Status Epileptikus (SE) ditegakkandari anamnesis dan pemeriksaan
fisik.

Diagnosis Banding
Pseudoseizure

Komplikasi

a. Asidosis metabolik
b. Aspirasi
c. Trauma kepala

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
Pasien dengan status epilektikus, harus dirujuk ke Fasilitas Pelayanan
Kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf. Pengelolaan SE
sebelum sampai fasilitas pelayanan kesehatan sekunder.
 
Stadium I (0-10 menit)
a. Memperbaiki fungsi kardiorespirasi
b. Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen, resusitasi bila perlu
c. Pemberian benzodiazepin rektal 10 mg
 
Stadium II (1-60 menit)
a. Pemeriksaan status neurologis
b. Pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu
c. Pemeriksaan EKG (bila tersedia)
d. Memasang infus pada pembuluh darah besar dengan NaCl 0,9 %.

Rencana Tindak Lanjut

Melakukan koordinasi dengan PPK II dalam hal pemantauan obat dan
bangkitan pada pasien.

Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi penyakit kepada individu dan keluarganya, tentang:
a. Penyakit dan tujuan merujuk.
b. Pencegahan komplikasi terutama aspirasi.
c. Pencegahan kekambuhan dengan meminum OAE secara teratur dan
    tidak menghentikannya secara tiba-tiba.
d. Menghindari aktifitas dan tempat-tempat yang berbahaya.

Kriteria Rujukan

Semua pasien dengan status epileptikus setelah ditegakkan diagnosis dan
telah mendapatkan penanganan awal segera dirujuk untuk:
a. Mengatasi serangan
b. Mencegah komplikasi
c. Mengetahui etiologi
d. Pengaturan obat

Sarana Prasarana

a. Oksigen
b. Kain kasa
c. Infus set
d. Spatel lidah
e. Alat pengukur gula darah sederhana

Prognosis

Prognosis umumnya dubia ad bonam untuk quo ad vitam dan fungsionam,
namun dubia ad malam untuk quo ad sanationam.

Wednesday 19 November 2014

EPILEPSI (AYAN)

Epilepsi



















No. ICPC II : N88 Epilepsy
No. ICD X : G40.9 Epilepsy, unspecified
Tingkat Kemampuan: 3A

Masalah Kesehatan

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan
epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi,
sedangkan yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis
yang disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari
sekelompok neuron.

Etiologi epilepsi:
a. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis
   dan diperkirakan tidak mempunyai predisposisi genetik dan umumnya
   berhubungan dengan usia.
b. Kriptogenik: dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
   termasuk di sini syndrome west, syndrome Lennox-Gastatut dan epilepsi
   mioklonik.
c. Simptomatik: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi
   struktural pada otak, misalnya cedera kepala, infeksi SSP, kelainan
   kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
   (alkohol, obat), metabolik, kelainan neurodegeneratif.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Ada tiga langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:
a. Langkah pertama: memastikan apakah kejadian yang bersifat
   paroksismal merupakan bangkitan epilepsi. Pada sebagian besar kasus,
   diagnosis epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan informasi yang
   diperoleh dari anamnesis baik auto maupun allo-anamnesis dari orang
   tua maupun saksi mata yang lain.
   1. Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan
       • Keadaan penyandang saat bangkitan: duduk/ berdiri/ bebaring/
         tidur/ berkemih.
       • Gejala awitan (aura, gerakan/ sensasi awal/ speech arrest).
       • Pola/bentuk yang tampak selama bangkitan: gerakan
         tonik/klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit,
         pucat berkeringat, deviasi mata.
      • Keadaan setelah kejadian: bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur,
        gaduh gelisah, Todd’s paresis.
      • Faktor pencetus: alkohol, kurang tidur, hormonal.
      • Jumlah pola bangkitan satu atau lebih, atau terdapat perubahan
        pola bangkitan.
   2. Penyakit lain yang mungkin diderita sekarang maupun riwayat
      penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit
      sistemik yang mungkin menjadi penyebab.
   3. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar
      bangkitan.
   4. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi (dosis,
      kadar OAE, kombinasi terapi).
   5. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
   6. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologik lain, penyakit psikitrik
      atau sistemik.
   7. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan
      bayi/anak.
   8. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam.
   9. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP.
b. Langkah kedua: apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka
    tentukan bangkitan tersebut bangkitan yang mana (klasifikasi ILAE
    1981).
c. Langkah ketiga: menentukan etiologi, sindrom epilepsi, atau penyakit
    epilepsi apa yang diderita pasien dilakukan dengan memperhatikan
    klasifikasi ILAE 1989. Langkah ini penting untuk menentukan
    prognosis dan respon terhadap OAE (Obat Anti Epilepsi).

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah mengamati adanya tandatanda
dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma
kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol
atau obat terlarang, kelainan pada kulit, kanker, defisit neurologik fokal.

Pemeriksaan neurologis
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologik sangat tergantung dari
interval antara dilakukannya pemeriksaan dengan bangkitan terakhir.
a. Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka
    akan tampak tanda pasca iktal terutama tanda fokal seperti todds
    paresis (hemiparesis setelah kejang yang terjadi sesaat), trans aphasic
    syndrome (afasia sesaat) yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk
    lokalisasi.
b. Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan terakhir berlalu,
    sasaran utama adalah menentukan apakah ada tanda-tanda disfungsi
    system saraf permanen (epilepsi simptomatik) dan walaupun jarang
    apakah ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.

Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan di layanan sekunder yaitu EEG, pemeriksaan pencitraan
otak, pemeriksaan laboratorium lengkap dan pemeriksaan kadar OAE.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan
neurologis.

Klasifikasi Epilepsi

A. ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi

1. Bangkitan parsial/fokal
   1.1. Bangkitan parsial sederhana
     1.1.1. Dengan gejala motorik
     1.1.2. Dengan gejala somatosensorik
     1.1.3. Dengan gejala otonom
     1.1.4. Dengan gejala psikis
   1.2. Bangkitan parsial kompleks
   1.3. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder

2. Bangkitan umum
  2.1. Lena (absence)
    2.1.1 Tipikal lena
    2.1.2. Atipikal Lena
  2.2. Mioklonik
  2.3. Klonik
  2.4. Tonik
  2.5. Tonik-Klonik
  2.6. Atonik/astatik

3. Bangkitan tak tergolongkan

B. Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi
1. Fokal/partial (localized related)
  1.1. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
    1.1.1. Epilepsi beningna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal
    1.1.2. Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pasda
              daerah oksipital
    1.1.3. Epilepsi primer saat membaca
  1.2. Simptomatik
    1.2.1. Epilepsi parsial kontinu yang kronik progresif pada anakanak
              (kojenikow’s syndrome)
    1.2.2. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu
              rangsangan (kurang tidur, alcohol, obat-obatan,
              hiperventilasi, repleks epilepsi, stimulasi fungsi kortikal
              tinggi, membaca)
    1.2.3. Epilepsi lobus temporal
    1.2.4. Epilepsi lobus frontal
    1.2.5. Epilepsi lobus parietal
    1.2.6. Epilepsi lobus oksipital
  1.3. Kriptogenik
 
2. Epilepsi umum
  2.1. Idiopatik
    2.1.1. Kejang neonates familial benigna
    2.1.2. Kejang neonatus benigna
    2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
    2.1.4. Epilepsi lena pada anak
    2.1.5. Epilepsi lena pada remaja
    2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja
    2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat
               terjaga
    2.1.8. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah
              satu diatas
    2.1.9. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang
              spesifik
  2.2. Kriptogenik atau simptomatik
    2.2.1. Sindrom west (spasme infantile dan spasme salam)
    2.2.2. Sindrom lennox-gastaut
    2.2.3. Epilepsi mioklonik astatik
    2.2.4. Epilepsi mioklonik lena
  2.3. Simptomatik
    2.3.1. Etiologi non spesifik
              • Ensefalopati miklonik dini
              • Ensefalopati pada infantile dini dengan burst supresi
              • Epilepsi simptomatik umum lainnya yang tidak termasuk
                di atas
    2.3.2. Sindrom spesifik
    2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
 
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
  3.1. Bangkitan umum dan fokal
    3.1.1. Bangkitan neonatal
    3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
    3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur
              dalam
    3.1.4. Epilepsi afasia yang di dapat
    3.1.5. Epilepsi yang tidak termasuk dalam kalsifikasi diatas
  3.2. Tanpa gambaran tegas local atau umum

4. Sindrom khusus
  4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
    4.1.1. Kejang demam
    4.1.2. Bangkitan kejang/status epileptikus yang hanya sekali
    4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian
              metabolic akut atau toksis, alkohol, obat-obatan, eklampsia,
              hiperglikemik non ketotik
    4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi
              reflektorik)

Diagnosis Banding

a. Sinkop
b. Transient Ischemic Attack
c. Vertigo
d. Global amnesia
e. Tics dan gerakan involunter

Komplikasi: -

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
Sebagai dokter pelayanan primer, bila pasien terdiagnosis sebagai epilepsi,
untuk penanganan awal pasien harus dirujuk ke dokter spesialis saraf.
a. OAE diberikan bila:
   1. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
   2. Pastikan faktor pencetus dapat dihindari (alkohol, stress, kurang
        tidur, dan lain-lain)
   3. Terdapat minimum 2 bangkitan dalam setahun
   4. Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan
        terhadap tujuan pengobatan
   5. Penyandang dan/atau keluarganya telah diberitahu tentang
       kemungkinan efek samping yang timbul dari OAE
b. Terapi dimulai dengan monoterapi menggunakan OAE pilihan sesuai
    dengan jenis bangkitan (tabel 3) dan jenis sindrom epilepsi:

Tabel 32. OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan






 c. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap
     sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping. Kadar obat
     dalam darah ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis
    efektif. Bila diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (kehamilan,
    penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan absorpsi OAE), diduga
    penyandang epilepsi tidak patuh pada pengobatan. Setelah pengobatan
    dosis regimen OAE, dilihat interaksi antar OAE atau obat lain.
   Pemeriksaan interaksi obat ini dilakukan rutin setiap tahun pada
    penggunaan phenitoin.

Tabel 33. Dosis OAE


d. Bila pada penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
    bangkitan, maka dapat dirujuk kembali untuk mendapatkan
    penambahan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi,
    maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off) perlahan-lahan.
e. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan di layanan sekunder atau
    tersier setelah terbukti tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis
    maksimal kedua OAE pertama.
f. Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai
    terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi yaitu bila:
   1. Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG.
   2. Pada pemeriksaan CT-Scan atau MRI Otak dijumpai lesi yang
       berkorelasi dengan bangkitan: meningioma, neoplasma otak, AVM,
       abses otak, ensephalitis herpes.
   3. Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada
       adanya kerusakan otak.
   4. Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang
       tua).
   5. Riwayat bangkitan simptomatik.
   6. Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko tinggi seperti JME (Juvenile
       Myoclonic Epilepsi).
   7. Riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran, stroke, infeksi
       SSP.
   8. Bangkitan pertama berupa status epileptikus.
      Namun hal ini dapat dilakukan di fasyankes sekunder.
g. Efek samping perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan interaksi
    farmakokinetik antar OAE.

Tabel 34. Efek samping OAE





h. Strategi untuk mencegah efek samping:
   1. Mulai pengobatan dengan mempertimbangkan keuntungan dan
       kerugian pemberian terapi
   2. Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang
   3. Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil mengacu
       pada sindrom epilepsi dan karaktersitik penyandang epilepsi
i. OAE dapat dihentikan pada keadaan:
   1. Setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan.
   2. Gambaran EEG normal.
   3. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis
       semula setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
   4. Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1
       OAE yang bukan utama.
   5. Keputusan untuk menghentikan OAE dilakukan pada tingkat
       pelayanan sekunder/tersier.
j. Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar
   kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut:
   1. Semakin tua usia, kemungkinan kekambuhan semakin tinggi.
   2. Epilepsi simptomatik.
   3. Gambaran EEG abnormal.
   4. Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan.
   5. Penggunaan lebih dari satu OAE.
   6. Mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi.
   7. Mendapat terapi setelah 10 tahun.

Kriteria Rujukan

Setelah diagnosis epilepsi ditegakkan maka pasien segera dirujuk ke
pelayanan sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf.

Sarana Prasarana

Obat OAE

Prognosis

Prognosis umumnya bonam, tergantung klasifikasi epilepsi yang dideritanya,
sedangkan serangan epilepsi dapat berulang, tergantung kontrol terapi dari
pasien.





Sumber gambar :
 http://noropsikiyatri.blogspot.com/p/epilepsi-sara-olarak-da-bilinir.html
http://kateginnivan.files.wordpress.com/2013/03/purple-day-v.jpg
http://zelvikri.files.wordpress.com/2013/01/first-aid-for-seizures3_page_2.jpg

Tuesday 18 November 2014

RABIES (ANJING GILA)

Rabies






















No. ICPC II : A77 Viral disease other/NOS
No. ICD X : A82.9 Rabies, Unspecified
Tingkat Kemampuan: 3B

Masalah Kesehatan

Rabies adalah penyakit infeksi akut sistem saraf pusat yang disebabkan oleh
virus rabies yang termasuk genus Lyssa-virus, family Rhabdoviridae dan
menginfeksi manusia melalui gigitan hewan yang terinfeksi (anjing, monyet,
kucing, serigala, kelelawar) Rabies hampir selalu berakibat fatal jika postexposure
prophylaxis tidak diberikan sebelum onset gejala berat. Virus rabies
bergerak ke otak melalui saraf perifer. Masa inkubasi dari penyakit ini
tergantung pada seberapa jauh jarak perjalanan virus untuk mencapai sistem
saraf pusat, biasanya mengambil masa beberapa bulan.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
a. Stadium prodromal
    Gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri di tenggorokan
    selama beberapa hari.
b. Stadium sensoris
    Penderita merasa nyeri, merasa panas disertai kesemutan pada tempat
    bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi yang
    berlebihan terhadap rangsang sensoris.
c. Stadium eksitasi
    Tonus otot dan aktivitas simpatis menjadi meninggi dan gejala
    hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi. Hal yang
    sangat khas pada stadium ini adalah munculnya macam-macam fobia
    seperti hidrofobia. Kontraksi otot faring dan otot pernapasan dapat
    ditimbulkan oleh rangsangan sensoris misalnya dengan meniupkan
    udara ke muka penderita. Pada stadium ini dapat terjadi apneu,
    sianosis, konvulsan, dan takikardia. Tindak tanduk penderita tidak
    rasional kadang maniakal disertai dengan responsif. Gejala eksitasi
    terus berlangsung sampai penderita meninggal.
d. Stadium paralisis
    Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium sebelumnya,
    namun kadang ditemukan pasien yang tidak menunjukkan gejala
    eksitasi melainkan paresis otot yang terjadi secara progresif karena
    gangguan pada medulla spinalis.

Pada umumnya rabies pada manusia mempunyai masa inkubasi 3-8 minggu.
Gejala-gejala jarang timbul sebelum 2 minggu dan biasanya timbul sesudah 12
minggu.
Mengetahui port de entry virus tersebut secepatnya pada tubuh
pasien merupakan kunci untuk meningkatkan pengobatan pasca gigitan (post
exposure therapy). Pada saat pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah
sembuh bahkan mungkin telah dilupakan. Tetapi pasien sekarang mengeluh
tentang perasaan (sensasi) yang lain ditempat bekas gigitan tersebut. Perasaan
itu dapat berupa rasa tertusuk, gatal-gatal, rasa terbakar (panas), berdenyut
dan sebagainya.

Anamnesis penderita terdapat riwayat tergigit, tercakar atau kontak dengan
anjing, kucing, atau binatang lainnya yang:
  a. Positif rabies (hasil pemeriksaan otak hewan tersangka).
  b. Mati dalam waktu 10 hari sejak menggigit bukan dibunuh).
  c. Tak dapat diobservasi setelah menggigit (dibunuh, lari, dan sebagainya).
  d. Tersangka rabies (hewan berubah sifat, malas makan, dan lain-lain).

Masa inkubasi rabies 3-4 bulan (95%), bervariasi antara 7 hari-7 tahun.
Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan,
dan lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf pusat, derajat
patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan). Luka pada kepala
inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.

Faktor Risiko: -

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a. Pada saat pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah sembuh bahkan
    mungkin telah dilupakan.
b. Pada pemeriksaan dapat ditemukan gatal dan parestesia pada luka
    bekas gigitan yang sudah sembuh (50%), mioedema (menetap selama
    perjalanan penyakit).
c. Jika sudah terjadi disfungsi batang otak maka terdapat: hiperventilasi,
    hipoksia, hipersalivasi, kejang, disfungsi saraf otonom, sindroma
    abnormalitas ADH, paralitik/paralisis flaksid.
d. Pada stadium lanjut dapat berakibat koma dan kematian.
e. Tanda patognomonis
    Encephalitis Rabies: agitasi, kesadaran fluktuatif, demam tinggi yang
    persisten, nyeri pada faring terkadang seperti rasa tercekik (inspiratoris
    spasme), hipersalivasi, kejang, hidrofobia dan aerofobia.

Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium kurang bermakna.


Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan dengan riwayat gigitan (+) dan hewan yang menggigit
mati dalam 1 minggu.
Gejala fase awal tidak khas: gejala flu, malaise, anoreksia, kadang ditemukan
parestesia pada daerah gigitan.
Gejala lanjutan: agitasi, kesadaran fluktuatif, demam tinggi yang persisten,
nyeri pada faring terkadang seperti rasa tercekik (inspiratoris spasme),
hipersalivasi, kejang, hidrofobia dan aerofobia.

Diagnosis Banding
  a. Tetanus.
  b. Ensefalitis.
  c. lntoksikasi obat-obat.
  d. Japanese encephalitis.
  e. Herpes simplex.
  f. Ensefalitis post-vaksinasi.

Komplikasi

a. Gangguan hipotalamus: diabetes insipidus, disfungsi otonomik yang
    menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipo/hipertermia, aritmia dan henti
    jantung.
b. Kejang dapat lokal atau generalisata, sering bersamaan dengan aritmia
    dan dyspneu.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Isolasi pasien penting segera setelah diagnosis ditegakkan untuk
    menghindari rangsangan-rangsangan yang bisa menimbulkan spasme
    otot ataupun untuk mencegah penularan.
b. Fase awal: Luka gigitan harus segera dicuci dengan air sabun (detergen)
    5-10 menit kemudian dibilas dengan air bersih, dilakukan debridement
    dan diberikan desinfektan seperti alkohol 40-70%, tinktura yodii atau
    larutan ephiran, Jika terkena selaput lendir seperti mata, hidung atau
    mulut, maka cucilah kawasan tersebut dengan air lebih lama;
    pencegahan dilakukan dengan pembersihan luka dan vaksinasi.
c. Fase lanjut: tidak ada terapi untuk penderita rabies yang sudah
    menunjukkan gejala rabies, penanganan hanya berupa tindakan
    suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas.
d. Pemberian Serum Anti Rabies (SAR) Bila serum heterolog (berasal dari
    serum kuda) Dosis 40 IU/ kgBB disuntikkan infiltrasi pada luka
    sebanyak-banyaknya, sisanya disuntikkan secara IM. Skin test perlu
    dilakukan terlebih dahulu. Bila serum homolog (berasal dari serum
    manusia) dengan dosis 20 IU/ kgBB, dengan cara yang sama.
e. Pemberian serum dapat dikombinasikan dengan Vaksin Anti Rabies
    (VAR) pada hari pertama kunjungan.
f. Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dalam waktu 10 hari infeksi yang
   dikenal sebagai post-exposure prophylaxis atau “PEP”VAR secara IM pada
   otot deltoid atau anterolateral paha dengan dosis 0,5 ml pada hari 0, 3,

   7,14, 28 (regimen Essen atau rekomendasi WHO), atau
   pemberian VAR 0,5 ml pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/rekomendasi 
   Depkes RI).
g. Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun
    terakhir, bila digigit binatang tersangka rabies, vaksin cukup diberikan 2
    dosis pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan berat vaksin diberikan
    lengkap.
h. Pada luka gigitan yang parah, gigitan di daerah leher ke atas, pada jari
    tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU/kgBB dosis tunggal. Cara
    pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada sekitar luka dan
    setengah dosis IM pada tempat yang berlainan dengan suntikan SAR,
    diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.

Konseling dan Edukasi
a. Keluarga ikut membantu dalam hal penderita rabies yang sudah
    menunjukan gejala rabies untuk segera dibawa untuk penanganan
    segera ke fasilitas kesehatan. Pada pasien yang digigit hewan tersangka
    rabies, keluarga harus menyarankan pasien untuk vaksinasi.
b. Laporkan kasus Rabies ke dinas kesehatan setempat.

Kriteria Rujukan

a. Penderita rabies yang sudah menunjukkan gejala rabies.
b. Dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter
    spesialis neurolog.

Sarana Prasarana

a. Cairan desinfektan
b. Serum Anti Rabies
c. Vaksin Anti Rabies

Prognosis

Prognosis pada umumnya dapat buruk, karena kematian dapat mencapai
100% apabila virus rabies mencapai SSP. Prognosis selalu fatal karena sekali
gejala rabies terlihat, hampir selalu kematian terjadi dalam 2-3 hari
sesudahnya sebagai akibat gagal napas/henti jantung. Jika dilakukan
perawatan awal setelah digigit anjing pengidap rabies, seperti pencucian luka,
pemberian VAR dan SAR, maka angka survival mencapai 100%.



Sumber gambar :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi8T-OUaj8G_sAOrDDsocpPMpAN_m-JVu9sAbtZlG_bHP23A0uXg3ofjJeYeXPRbzgTVqFGLQCEUVM6leX4fvtpF3Bfi0sBROgFgwOLSD3-tmS1WdvwIEGJ54TF5nHj96GP7BzHmH-yzpBJ/s1600/rabies+illustration.jpg
http://www.wormsandgermsblog.com/uploads/image/Rabies.jpg
http://okydian.staff.ub.ac.id/files/2012/10/infographhic-anjing-gila-copy1.jpg

TETANUS

Tetanus



 No. ICPC II : N72 Tetanus
No. ICD X : A35 Othertetanus
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Tetanus adalah penyakit pada sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin. Tetanospasmin adalah neurotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani, ditandai dengan spasme tonik persisten disertai dengan
serangan yang jelas dan keras. Spasme hampir selalu terjadi pada otot leher
dan rahang yang menyebabkan penutupan rahang (trismus, lockjaw), serta
melibatkan tidak hanya otot ekstremitas, tetapi juga otot-otot batang tubuh.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Manifestasi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus
sampai kejang yang hebat. Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam
yaitu:
a. Tetanus lokal
    Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa
    sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat
    berkembang menjadi tetanus umum.

b. Tetanus sefalik
    Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2
    hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media
    kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan
    disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang
    menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.

c. Tetanus umum/generalisata
    Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher,
    susah menelan, kekakuan dada dan perut (opistotonus), rasa sakit dan
    kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan
    rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran
    yang tetap baik.

d. Tetanus neonatorum
    Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali
    pusat, Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk
    menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme.

Faktor Risiko: -

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan: kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat.
a. Pada tetanus lokal ditemukan kekakuan dan spasme yang menetap.
b. Pada tetanus sefalik ditemukan trismus, rhisus sardonikus dan
    disfungsi nervus kranial.
c. Pada tetanus umum/generalisata adanya: trismus, kekakuan leher,
    kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta
    ekstensi tungkai, kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan
    ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap
    baik.
d. Pada tetanus neonatorum ditemukan kekakuan dan spasme dan posisi
    tubuh klasik: trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan
    opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan
    ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada,
    pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah
    hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari
    kaki.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi.

Tingkat keparahan tetanus:
Kriteria Pattel Joag
a. Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas ,disfagia dan kekakuan otot
    tulang belakang.
b. Kriteria 2: Spasme, tanpa mempertimbangkan frekuensi maupun derajat
    keparahan.
c. Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7hari.
d. Kriteria 4: waktu onset ≤48 jam.
e. Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal 100ºF ( > 40 C), atau aksila
99ºF ( 37,6 ºC ).

Grading
a. Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya Kriteria 1 atau
    2 (tidak ada kematian).
b. Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya Kriteria 1 dan 2.
    Biasanya masa inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam
    (kematian 10%).
c. Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 Kriteria, biasanya masa inkubasi
    kurang dari 7 hari atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%).
d. Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4 Kriteria (kematian
    60%).
e. Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk puerpurium dan tetanus
    neonatorum (kematian 84%).

Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Albleet’s :
a. Grade 1 (ringan)
    Trismus ringan sampai sedang, spamisitas umum, tidak ada penyulit
    pernafasan, tidak ada spasme, sedikit atau tidak ada disfagia.
b. Grade 2 (sedang)
    Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme ringan atau sedang namun
    singkat, penyulit pernafasan sedang dengan takipneu.
c. Grade 3 (berat)
    Trismus berat, spastisitas umum, spasme spontan yang lama dan
    sering, serangan apneu, disfagia berat, spasme memanjang spontan
    yang sering dan terjadi refleks, penyulit pernafasan disertai dengan
    takipneu, takikardi, aktivitas sistem saraf otonom sedang yang terus
    meningkat.
d. Grade 4 (sangat berat)
    Gejala pada grade 3 ditambah gangguan otonom yang berat, sering kali
    menyebabkan “autonomic storm”.

 




Gambar : Trismus

Diagnosis Banding
a. Meningoensefalitis
b. Poliomielitis
c. Rabies
d. Lesi orofaringeal
e. Tonsilitis berat
f. Peritonitis
g. Tetani, timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar
    kalsium dan fosfat dalam serum rendah.
h. Keracunan Strychnine
i. Reaksi fenotiazine

Komplikasi

a. Saluran pernapasan
    Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat obstruksi
    oleh sekret, pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi
    akibat dilakukannya trakeostomi.
b. Kardiovaskuler
    Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa
    takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan
    miokardium.
c. Tulang dan otot
    Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan
    dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis
    akibat kejang yang terus-menerus terutama pada anak dan orang
    dewasa. Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis
    ossifikans sirkumskripta.
d. Komplikasi yang lain
    Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring
    dalam satu posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau
    toksin yang menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Manajemen luka
    Pasien tetanus yang diduga menjadi port de entry masuknya kuman C.
    tetani harus mendapatkan perawatan luka. Luka dapat menjadi luka
    yang rentan mengalami tetanus atau luka yang tidak rentan tetanus
    dengan kriteria sebagai berikut:

Tabel 31. Manajemen luka


b. Rekomendasi manajemen luka traumatik
    1. Semua luka harus dibersihkan dan jika perlu dilakukan debridemen.
    2. Riwayat imunisasi tetanus pasien perlu didapatkan.
    3. TT harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun
        jika riwayat imunisasi tidak diketahui, TT dapat diberikan.
    4. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka
        tetanus imunoglobulin (TIg) harus diberikan. Keparahan luka bukan
        faktor penentu pemberian TIg
c. Pengawasan, agar tidak ada hambatan fungsi respirasi.
d. Ruang Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahayaruangan
    redup dan tindakan terhadap penderita.
e. Diet cukup kalori dan protein 3500-4500 kalori per hari dengan 100-150
    gr protein. Bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut
    dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan per sonde
    atau parenteral.
f. Oksigen, pernapasan buatan dan trakeostomi bila perlu.
g. Antikonvulsan diberikan secara titrasi, sesuai kebutuhan dan respon
    klinis. Diazepam atau vankuronium 6-8 mg/hari. Bila penderita datang
    dalam keadaan kejang maka diberikan diazepam dosis 0,5mg/kgBB/kali
    i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali
    kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam per oral (sonde lambung)
    dengan dosis 0,5/kgBB/kali sehari diberikan 6 kali. Dosis maksimal
     diazepam 240mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat),
    harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam
    dapat ditingkatkan sampai 480mg/hari dengan bantuan ventilasi
    mekanik, dengan atau tanpa kurarisasi. Magnesium sulfat dapat pula
    dipertimbangkan digunakan bila ada gangguan saraf otonom.
h. Anti Tetanus Serum (ATS) dapat digunakan, tetapi sebelumnya
    diperlukan skin tes untuk hipersensitif. Dosis biasa 50.000 iu, diberikan
    IM diikuti dengan 50.000 unit dengan infus IV lambat. Jika pembedahan
    eksisi luka memungkinkan, sebagian antitoksin dapat disuntikkan di
    sekitar luka.
i. Eliminasi bakteri, penisilin adalah drug of choice: berikan prokain
    penisilin, 1,2 juta unit IM atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Untuk
    pasien yang alergi penisilin dapat diberikan tetrasiklin, 500 mg PO atau
    IV setiap 6 jam selama 10 hari. Pemberian antibiotik di atas dapat
    mengeradikasi Clostridium tetani tetapi tidak dapat mempengaruhi
    proses neurologisnya.
j. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika spektrum luas
    dapat dilakukan. Tetrasiklin, eritromisin dan metronidazol dapat
    diberikan, terutama bila penderita alergi penisilin. Tetrasiklin: 30-50
    mg/kgBB/hari dalam 4 dosis. Eritromisin: 50 mg/kgBB/hari dalam 4
    dosis, selama 10 hari. Metronidazol loading dose 15 mg/KgBB/jam
    selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam.
k. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan
    dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat
    suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan dengan dosis inisial 0,5 ml
    toksoid intramuscular diberikan 24 jam pertama.
l. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
    tetanus selesai.
m. Oksigen, pernafasan buatan dan tracheostomi bila perlu.
n. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

Konseling dan Edukasi
Peran keluarga pada pasien dengan risiko terjadinya tetanus adalah
memotivasi untuk dilakukan vaksisnasi dan penyuntikan ATS.

Rencana Tindak Lanjut

a. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
    tetanus selesai. Pengulangan dilakukan 8 minggu kemudian dengan
    dosis yang sama dengan dosis inisial.
b. Booster dilakukan 6-12 bulan kemudian.
c. Subsequent booster, diberikan 5 tahun berikutnya.
d. Laporkan kasus Tetanus ke dinas kesehatan setempat.

Kriteria Rujukan

a. Bila tidak terjadi perbaikan setelah penanganan pertama.
b. Terjadi komplikasi, seperti distres sistem pernapasan.
c. Rujukan ditujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang
    memiliki dokter spesialis neurologi.

Sarana Prasarana

a. Sarana pemeriksaan neurologis
b. Oksigen
c. Infus set
d. Obat antikonvulsan

Prognosis

Tetanus dapat menimbulkan kematian dan gangguan fungsi tubuh, namun
apabila diobati dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh dengan baik.
Tetanus biasanya tidak terjadi berulang, kecuali terinfeksi kembali oleh C.
tetani.



http://braindiseases.org/wp-content/uploads/2013/02/tetanus-man-on-back1.jpg
http://www.idph.state.il.us/images/tetanus.jpg