Tuesday, 18 November 2014

TETANUS

Tetanus



 No. ICPC II : N72 Tetanus
No. ICD X : A35 Othertetanus
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Tetanus adalah penyakit pada sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin. Tetanospasmin adalah neurotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani, ditandai dengan spasme tonik persisten disertai dengan
serangan yang jelas dan keras. Spasme hampir selalu terjadi pada otot leher
dan rahang yang menyebabkan penutupan rahang (trismus, lockjaw), serta
melibatkan tidak hanya otot ekstremitas, tetapi juga otot-otot batang tubuh.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Manifestasi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus
sampai kejang yang hebat. Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam
yaitu:
a. Tetanus lokal
    Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa
    sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat
    berkembang menjadi tetanus umum.

b. Tetanus sefalik
    Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2
    hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media
    kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan
    disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang
    menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.

c. Tetanus umum/generalisata
    Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher,
    susah menelan, kekakuan dada dan perut (opistotonus), rasa sakit dan
    kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan
    rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran
    yang tetap baik.

d. Tetanus neonatorum
    Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali
    pusat, Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk
    menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme.

Faktor Risiko: -

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan: kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat.
a. Pada tetanus lokal ditemukan kekakuan dan spasme yang menetap.
b. Pada tetanus sefalik ditemukan trismus, rhisus sardonikus dan
    disfungsi nervus kranial.
c. Pada tetanus umum/generalisata adanya: trismus, kekakuan leher,
    kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta
    ekstensi tungkai, kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan
    ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap
    baik.
d. Pada tetanus neonatorum ditemukan kekakuan dan spasme dan posisi
    tubuh klasik: trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan
    opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan
    ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada,
    pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah
    hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari
    kaki.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi.

Tingkat keparahan tetanus:
Kriteria Pattel Joag
a. Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas ,disfagia dan kekakuan otot
    tulang belakang.
b. Kriteria 2: Spasme, tanpa mempertimbangkan frekuensi maupun derajat
    keparahan.
c. Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7hari.
d. Kriteria 4: waktu onset ≤48 jam.
e. Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal 100ºF ( > 40 C), atau aksila
99ºF ( 37,6 ºC ).

Grading
a. Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya Kriteria 1 atau
    2 (tidak ada kematian).
b. Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya Kriteria 1 dan 2.
    Biasanya masa inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam
    (kematian 10%).
c. Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 Kriteria, biasanya masa inkubasi
    kurang dari 7 hari atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%).
d. Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4 Kriteria (kematian
    60%).
e. Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk puerpurium dan tetanus
    neonatorum (kematian 84%).

Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Albleet’s :
a. Grade 1 (ringan)
    Trismus ringan sampai sedang, spamisitas umum, tidak ada penyulit
    pernafasan, tidak ada spasme, sedikit atau tidak ada disfagia.
b. Grade 2 (sedang)
    Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme ringan atau sedang namun
    singkat, penyulit pernafasan sedang dengan takipneu.
c. Grade 3 (berat)
    Trismus berat, spastisitas umum, spasme spontan yang lama dan
    sering, serangan apneu, disfagia berat, spasme memanjang spontan
    yang sering dan terjadi refleks, penyulit pernafasan disertai dengan
    takipneu, takikardi, aktivitas sistem saraf otonom sedang yang terus
    meningkat.
d. Grade 4 (sangat berat)
    Gejala pada grade 3 ditambah gangguan otonom yang berat, sering kali
    menyebabkan “autonomic storm”.

 




Gambar : Trismus

Diagnosis Banding
a. Meningoensefalitis
b. Poliomielitis
c. Rabies
d. Lesi orofaringeal
e. Tonsilitis berat
f. Peritonitis
g. Tetani, timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar
    kalsium dan fosfat dalam serum rendah.
h. Keracunan Strychnine
i. Reaksi fenotiazine

Komplikasi

a. Saluran pernapasan
    Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat obstruksi
    oleh sekret, pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi
    akibat dilakukannya trakeostomi.
b. Kardiovaskuler
    Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa
    takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan
    miokardium.
c. Tulang dan otot
    Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan
    dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis
    akibat kejang yang terus-menerus terutama pada anak dan orang
    dewasa. Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis
    ossifikans sirkumskripta.
d. Komplikasi yang lain
    Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring
    dalam satu posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau
    toksin yang menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Manajemen luka
    Pasien tetanus yang diduga menjadi port de entry masuknya kuman C.
    tetani harus mendapatkan perawatan luka. Luka dapat menjadi luka
    yang rentan mengalami tetanus atau luka yang tidak rentan tetanus
    dengan kriteria sebagai berikut:

Tabel 31. Manajemen luka


b. Rekomendasi manajemen luka traumatik
    1. Semua luka harus dibersihkan dan jika perlu dilakukan debridemen.
    2. Riwayat imunisasi tetanus pasien perlu didapatkan.
    3. TT harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun
        jika riwayat imunisasi tidak diketahui, TT dapat diberikan.
    4. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka
        tetanus imunoglobulin (TIg) harus diberikan. Keparahan luka bukan
        faktor penentu pemberian TIg
c. Pengawasan, agar tidak ada hambatan fungsi respirasi.
d. Ruang Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahayaruangan
    redup dan tindakan terhadap penderita.
e. Diet cukup kalori dan protein 3500-4500 kalori per hari dengan 100-150
    gr protein. Bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut
    dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan per sonde
    atau parenteral.
f. Oksigen, pernapasan buatan dan trakeostomi bila perlu.
g. Antikonvulsan diberikan secara titrasi, sesuai kebutuhan dan respon
    klinis. Diazepam atau vankuronium 6-8 mg/hari. Bila penderita datang
    dalam keadaan kejang maka diberikan diazepam dosis 0,5mg/kgBB/kali
    i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali
    kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam per oral (sonde lambung)
    dengan dosis 0,5/kgBB/kali sehari diberikan 6 kali. Dosis maksimal
     diazepam 240mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat),
    harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam
    dapat ditingkatkan sampai 480mg/hari dengan bantuan ventilasi
    mekanik, dengan atau tanpa kurarisasi. Magnesium sulfat dapat pula
    dipertimbangkan digunakan bila ada gangguan saraf otonom.
h. Anti Tetanus Serum (ATS) dapat digunakan, tetapi sebelumnya
    diperlukan skin tes untuk hipersensitif. Dosis biasa 50.000 iu, diberikan
    IM diikuti dengan 50.000 unit dengan infus IV lambat. Jika pembedahan
    eksisi luka memungkinkan, sebagian antitoksin dapat disuntikkan di
    sekitar luka.
i. Eliminasi bakteri, penisilin adalah drug of choice: berikan prokain
    penisilin, 1,2 juta unit IM atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Untuk
    pasien yang alergi penisilin dapat diberikan tetrasiklin, 500 mg PO atau
    IV setiap 6 jam selama 10 hari. Pemberian antibiotik di atas dapat
    mengeradikasi Clostridium tetani tetapi tidak dapat mempengaruhi
    proses neurologisnya.
j. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika spektrum luas
    dapat dilakukan. Tetrasiklin, eritromisin dan metronidazol dapat
    diberikan, terutama bila penderita alergi penisilin. Tetrasiklin: 30-50
    mg/kgBB/hari dalam 4 dosis. Eritromisin: 50 mg/kgBB/hari dalam 4
    dosis, selama 10 hari. Metronidazol loading dose 15 mg/KgBB/jam
    selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam.
k. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan
    dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat
    suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan dengan dosis inisial 0,5 ml
    toksoid intramuscular diberikan 24 jam pertama.
l. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
    tetanus selesai.
m. Oksigen, pernafasan buatan dan tracheostomi bila perlu.
n. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

Konseling dan Edukasi
Peran keluarga pada pasien dengan risiko terjadinya tetanus adalah
memotivasi untuk dilakukan vaksisnasi dan penyuntikan ATS.

Rencana Tindak Lanjut

a. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
    tetanus selesai. Pengulangan dilakukan 8 minggu kemudian dengan
    dosis yang sama dengan dosis inisial.
b. Booster dilakukan 6-12 bulan kemudian.
c. Subsequent booster, diberikan 5 tahun berikutnya.
d. Laporkan kasus Tetanus ke dinas kesehatan setempat.

Kriteria Rujukan

a. Bila tidak terjadi perbaikan setelah penanganan pertama.
b. Terjadi komplikasi, seperti distres sistem pernapasan.
c. Rujukan ditujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang
    memiliki dokter spesialis neurologi.

Sarana Prasarana

a. Sarana pemeriksaan neurologis
b. Oksigen
c. Infus set
d. Obat antikonvulsan

Prognosis

Tetanus dapat menimbulkan kematian dan gangguan fungsi tubuh, namun
apabila diobati dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh dengan baik.
Tetanus biasanya tidak terjadi berulang, kecuali terinfeksi kembali oleh C.
tetani.



http://braindiseases.org/wp-content/uploads/2013/02/tetanus-man-on-back1.jpg
http://www.idph.state.il.us/images/tetanus.jpg

No comments:

Post a Comment