Saturday, 28 June 2014

TAKIKARDI (DENYUT JANTUNG CEPAT)

Takikardia


No. ICPC II : K79 Paroxysmal Tachicardy
No. ICD X : R00.0 Tachicardy Unspecified
I47.1 Supraventicular Tachicardy
I47.2 Ventricular Tachicardy
Tingkat Kemampuan: 3B

Masalah Kesehatan

Takikardi adalah suatu kondisi dimana denyut jantung istirahat seseorang
secara abnormal lebih dari 100 kali per menit. Sedangkan Supraventikular
Takikardi (SVT) adalah takikardi yang berasal dari sumber di atas ventrikel
(atrium), dengan ciri gelombang QRS sempit(< 0,12ms) dan frekuensi lebih dari
150 kali per menit.
Ventrikular Takikardi (VT) adalah takikardi yang berasal dari ventrikel,
dengan ciri gelombang QRS lebar (> 0,12ms) dan frekuensi biasanya lebih dari
150 kali per menit. VT ini bisa menimbulkan gangguan hemodinamik yang
segera memerlukan tindakan resusitasi.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Gejala utama meliputi:
a. Palpitasi (deg-degan)
b. Sesak napas
c. Mudah lelah
d. Nyeri atau rasa tidak nyaman di dada
e. Denyut jantung istirahat lebih dari 100bpm
f. Penurunan tekanan darah dapat terjadi pada kondisi yang tidak stabil
g. Pusing
h. Sinkop (pingsan)
i. Berkeringat
j. Penurunan kesadaran bila terjadi gangguan hemodinamik

Faktor Risiko
a. Penyakit Jantung Koroner
b. Kelainan Jantung
c. Stress dan gangguan kecemasan
d. Gangguan elektrolit

Faktor Predisposisi
a. Penyakit yang menyebabkan gangguan elektrolit seperti diare
b. Sindrom koroner akut
c. Gangguan cemas yang berlebih pada SVT
d. Aritmia

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik Patognomonis
a. Denyut jantung melebihi 100 kali per menit dan bisa menjadi sangat
    cepat dengan frekuensi > 150 kali per menit pada keadaan SVT dan VT
b. Takipnea
c. Hipotensi
d. Sering disertai gelisah hingga penurunan kesadaran pada kondisi yang
    tidak stabil.

Pemeriksaan Penunjang
EKG :
a. SVT: kompleks QRS sempit (< 0,12ms) dengan frekuensi > 150 kali per
    menit. Gelombang P bisa ada atau terkubur dalam kompleks QRS.
 
b. VT: terdapat kompleks QRS lebar ( > 0,12ms), tiga kali atau lebih secara
    berurutan. Frekuensi nadi biasanya > 150 kali per menit
 

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang.

Diagnosis Banding : -

Komplikasi
Bisa menyebabkan kematian

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Tata Laksana:
    Keadaan ini merupakan keadaan yang mengancam jiwa terutama bila
    disertai hemodinamik yang tidak stabil. Bila hemodinamik tidak stabil
    (Tekanan Darah Sistolik < 90 mmHg) dengan nadi melemah, apalagi
    disertai penurunan kesadaran bahkan pasien menjadi tidak responsif
    harus dilakukan kardioversi baik dengan obat maupun elektrik. Kondisi
    ini harus segera dirujuk dengan terpasang infus dan resusitasi jantung
    paru bila tidak responsif. Oksigen diberikan dengan sungkup O2 10-15
    lpm.
    Pada kondisi stabil, SVT dapat diatasi dengan dilakukan vagal
    manuver (memijat A. Karotis atau bola mata selama 10-15 menit). Bila
    tidak respon, dilanjutkan dengan pemberian adenosin 6 mg bolus cepat.
    Bila tidak respon boleh diulang dengan 12 mg sebanyak dua kali. Bila
    tidak respon atau adenosin tidak tersedia, segera rujuk ke layanan
    sekunder. Pada VT, segera rujuk dengan terpasang infus dan oksigen O2
    nasal 4 l/m.
b. Modifikasi gaya hidup:
   1. Mencegah faktor risiko
   2. Modifikasi aktifitas fisik, asupan makanan, dan mengelola timbulnya
       gejala.

Konseling dan Edukasi

Edukasi kepada keluarga bahwa keadaan ini merupakan keadaan yang
mengancam jiwa.
Persetujuan keluarga perlu dilakukan karena membutuhkan penanganan yang
cepat sampai ke tempat rujukan.

Kriteria Rujukan

Segera rujuk setelah pertolongan pertama dengan pemasangan infus dan
oksigen.

Sarana Prasarana

a. EKG
b. Ambulans untuk merujuk
c. Ambu bag

Prognosis

Prognosis dalam kondisi ini umumnya dubia ad malam, tergantung dari
penatalaksanaan selanjutnya.



Sumber gambar :
 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_iyBndNb55e2XIatoLq-aOSaAc9JwMhGmvAhUVjH7_GD7M0iIi1kAky17JJveHC_GHxJ54q-1ZeWKcHYvwEKRShVphj5oI3dlVv5T70Nu0AW_kKunbpJgUMKYZT9id8HaUXaykEiDH-c/s1600/Fig-5-VT-but_Irreg+(2-2.2-2012)-Blog-36.JPG
http://cdn.lifeinthefastlane.com/wp-content/uploads/2011/03/RV-VT.jpg
http://trendspig.com/static/77513cc808ca0a00732557e73f27fac0.gif

INFARK MIOKARD

Infark Miokard


No. ICPC II : K75 Acute Myocardial Infarction
No. ICD X : I21.9 Acute Myocardial Infarction, Unspecified
Tingkat Kemampuan: 3B

Masalah Kesehatan

Infark miokard (IM) adalah perkembangan yang cepat dari nekrosis otot
jantung yang disebabkan oleh ketidak seimbangan yang kritis antara suplai
oksigen dan kebutuhan miokardium. Ini biasanya merupakan hasil dari
ruptur plak dengan trombus dalam pembuluh darah koroner, mengakibatkan
kekurangan suplai darah ke miokardium.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
a. Nyeri dada retrosternum seperti tertekan atau tertindih benda berat.
b. Nyeri menjalar ke dagu, leher, tangan, punggung, dan epigastrium.
    Penjalaran ke tangan kiri lebih sering terjadi.
c. Disertai gejala tambahan berupa sesak, mual muntah, nyeri
    epigastrium, keringat dingin, dan anxietas.

Faktor Risiko
Yang tidak dapat diubah:
a. Usia
    Risiko meningkat pada pria datas 45 tahun dan wanita diatas 55 tahun
    (umumnya setelah menopause).
b. Jenis kelamin
    Morbiditas akibat penyakit jantung koroner (PJK) pada laki-laki dua kali
    lebih besar dibandingkan pada perempuan, hal ini berkaitan dengan
    estrogen endogen yang bersifat protektif pada perempuan. Hal ini
    terbukti insidensi PJK meningkat dengan cepat dan akhirnya setara
    dengan laki-laki pada wanita setelah masa menopause.
c. Riwayat keluarga
    Riwayat anggota keluarga sedarah yang mengalami penyakit jantung
    koroner sebelum usia 70 tahun merupakan faktor risiko terjadinya PJK.
    Yang dapat diubah:
a. Mayor
    1. Peningkatan lipid serum
    2. Hipertensi
    3. Merokok
    4. Konsumsi alkohol
    5. Diabetes Melitus
    6. Diet tinggi lemak jenuh,kolesterol dan kalori
b. Minor
    1. Aktivitas fisik kurang
    2. Stress psikologik
    3. Tipe kepribadian

Faktor Predisposisi: -

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan tanda sering tidak membantu diagnosis
a. Pasien biasanya terbaring dengan gelisah dan kelihatan pucat
b. Hipertensi/hipotensi
c. Dapat terdengar suara murmur dan gallop S3
d. Ronki basah disertai peningkatan vena jugularis dapat ditemukan pada
    AMI yang disertai edema paru
e. Sering ditemukan aritmia

Pemeriksaan Penunjang
EKG:
a. Pada STEMI, terdapat elevasi segmen ST diikuti dengan perubahan
    sampai inversi gelombang T, kemudian muncul peningkatan gelombang
    Q minimal di dua sadapan.
b. Pada NSTEMI, EKG yang ditemukan dapat berupa depresi segmen ST
     dan inversi gelombang T, atau EKG yang normal.
 
Laboratorium (dilakukan di layanan rujukan):
Peningkatan kadar enzim atau isoenzim merupakan indikator spesifik infark
miokard akut, yaitu kreatinin fosfokinase (CPK.CK), troponin T, dan isoenzim
CPK MP atau CKMB.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
Kriteria diagnosis pasti jika terdapat 2 dari 3 hal di bawah ini:
  a. Klinis : nyeri dada khas angina.
  b. EKG : ST elevasi atau ST depresi atau T inverted.
  c. Laboratorium : peningkatan enzim jantung.

Klasifikasi
a. STEMI
b. NSTEMI

Diagnosis Banding
a. Angina pectoris prinzmetal
b. Unstable angina pectoris
c. Ansietas
d. Diseksi aorta
e. Dispepsia
f. Miokarditis
g. Pneumothoraks
h. Emboli paru

Komplikasi

a. Aritmia letal
b. Perluasan infark dan iskemia paska infark, disfungsi otot jantung, defek
    mekanik, ruptur miokard.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Tata Laksana: Segera rujuk setelah pemberian MONACO:
    M : Morfin, 2,5-5 mg IV
    O : Oksigen 2-4 L/m
    N : Nitrat, bisa diberikan nitrogliserin infus dengan dosis mulai dari
         5mcg/m (titrasi) atau ISDN 5-10 mg sublingual maksimal 3 kali
    A : Aspirin, dosis awal 160-320 mg dilanjutkan dosis pemeliharaan
         1 x 160 mg
   CO : Clopidogrel, dosis awal 300-600 mg, dilanjutkan dosis
            pemeliharaan 1 x 75 mg
    Dirujuk dengan terpasang line infus dan oksigen
b. Modifikasi gaya hidup:
    Modifikasi gaya hidup dalam hal pola makan, olah raga/aktivitas fisik,
    menghentikan rokok, pengendalian stres, untuk menurunkan risiko
    predisposisi.
c. Pengobatan Biomedis (dilakukan di layanan rujukan):
    1. Antikoagulan: Heparin 20.000-40.000 U/24 jam IV tiap 4-6 jam
    2. Streptokinase/trombolisis
    3. PCI (Percutaneous coronary intervention)

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan (bila diperlukan): EKG serial

Konseling dan Edukasi
Edukasi untuk mengendalikan faktor risiko, teratur kontrol ke dokter untuk
terapi lanjutan.

Kriteria Rujukan

Segera dirujuk setelah mendapatkan terapi MONACO ke layanan sekunder
dengan spesialis jantung atau spesialis penyakit dalam

Sarana Prasarana

a. Tabung dan selang atau masker oksigen
b. Obat-obatan: Nitrat, Aspirin, Clopidrogel, Morfin
c. Elektrokardiografi (EKG)
d. Infus set dan cairan infus
e. Ambulans

Prognosis

Prognosis umumnya dubia, tergantung pada pada tatalaksana dini dan tepat.




Sumber gambar :
 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5-5xxXTBDzfeWdVe3NREqN6C3c68ZjJnok1dIC_EcBWUkCUqxWdA22nM1AlqhMZTrAXo6aeyO4ZIehP2-pUNFxZv0jwUHr6dDqCQbkYGUmBVrgU9e1c6WBE_Ni9BUOU4bQsKfxtFcmGH-/s1600/Infark+miocard1.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhdObNqQIrI5ymVwVuEyydtsTbDUoHSrZpbeu0saPe-O1mCgOrw0Bl3udzqOc1RmiIYe4drKOtpN2oLHvMUnPh4PtcgtJd0sPeivgIsww8s3TFWhDFRRV2cdET_dKRt5todVHlZHUL75qY/s1600/8.jpg




Friday, 27 June 2014

ANGINA PEKTORIS (NYERI DADA)

Angina Pektoris



No. ICPC II : K74 Ischaemic herat disease with angina
No. ICD X : I20.9 Angina pectoris, unspecified
Tingkat Kemampuan: 3B

Masalah Kesehatan

Angina pektoris ialah suatu sindrom klinis berupa serangan nyeri dada yang
khas, yaitu seperti rasa ditekan atau terasa berat di dada yang sering menjalar
ke lengan kiri. Nyeri dada tersebut biasanya timbul pada saat melakukan
aktivitas dan segera hilang bila aktivitas dihentikan.
Angina pektoris merupakan tanda klinis pertama pada sekitar 50% pasien
yang mengalami penyakit jantung koroner. Angina pektoris dilaporkan terjadi
dengan rata-rata kejadian 1,5% tergantung pada jenis kelamin, umur, pasien
dan faktor risiko. Data dari studi Framingham pada tahun 1970 dengan studi
kohort diikuti selama 10 tahun menunjukkan prevalensi sekitar 1,5% untuk
wanita dan 4,3% untuk pria berusia 50 – 59 tahun.

Hasil Anamnesis (Subjective)
























Keluhan
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada yang khas, yaitu seperti rasa
ditekan atau terasa berat seperti ditimpa beban yang sangat berat.
Diagnosis seringkali berdasarkan keluhan nyeri dada yang mempunyai ciri
khas sebagai berikut:
a. Letak
   Sering pasien merasakan nyeri dada di daerah sternum atau di bawah
   sternum (substernal), atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang
   menjalar ke lengan kiri, dapat menjalar ke punggung, rahang, leher,
   atau ke lengan kanan. Nyeri dada juga dapat timbul di tempat lain
   seperti di daerah epigastrium, leher, rahang, gigi, bahu.
b. Kualitas
   Pada angina, nyeri dada biasanya seperti tertekan benda berat, atau
   seperti diperas atau terasa panas, kadang-kadang hanya mengeluh
   perasaan tidak enak di dada karena pasien tidak dapat menjelaskan
   dengan baik, lebih-lebih jika pendidikan pasien kurang.
c. Hubungan dengan aktivitas
   Nyeri dada pada angina pektoris biasanya timbul pada saat melakukan
   aktivitas, misalnya sedang berjalan cepat, tergesa-gesa, atau sedang
   berjalan mendaki atau naik tangga. Pada kasus yang berat aktivitas
   ringan seperti mandi atau menggosok gigi, makan terlalu kenyang,
   emosi, sudah dapat menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada tersebut segera
   hilang bila pasien menghentikan aktivitasnya. Serangan angina dapat
   timbul pada waktu istirahat atau pada waktu tidur malam.
d. Lamanya serangan
   Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung 1-5 menit, kadangkadang
   perasaan tidak enak di dada masih terasa setelah nyeri hilang.
   Bila nyeri dada berlangsung lebih dari 20 menit, mungkin pasien
   mendapat serangan infark miokard akut dan bukan angina pektoris
   biasa. Pada angina pektoris dapat timbul keluhan lain seperti sesak
   napas, perasaan lelah, kadang-kadang nyeri dada disertai keringat
   dingin.
e. Nyeri dada bisa disertai keringat dingin , mual, muntah, sesak dan
   pucat.

Faktor Risiko
Faktor risiko yang tidak dapat diubah:
a. Usia
   Risiko meningkat pada pria datas 45 tahun dan wanita diatas 55 tahun
   (umumnya setelah menopause)
b. Jenis kelamin
   Morbiditas akibat penyakit jantung koroner (PJK) pada laki-laki dua kali
   lebih besar dibandingkan pada perempuan, hal ini berkaitan dengan
   estrogen endogen yang bersifat protektif pada perempuan. Hal ini
   terbukti insidensi PJK meningkat dengan cepat dan akhirnya setara
   dengan laki-laki pada wanita setelah masa menopause.
c. Riwayat keluarga
   Riwayat anggota keluarga sedarah yang mengalami penyakit jantung
   koroner sebelum usia 70 tahun merupakan faktor risiko terjadinya PJK.

Faktor risiko yang dapat diubah:
a. Mayor
   1. Peningkatan lipid serum
   2. Hipertensi
   3. Merokok
   4. Konsumsi alkohol
   5. Diabetes Melitus
   6. Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol dan kalori
b. Minor
   1. Aktivitas fisik kurang
   2. Stress psikologik
   3. Tipe kepribadian

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a. Sewaktu angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Walau jarang pada
   auskultasi dapat terdengar derap atrial atau ventrikel dan murmur
   sistolik di daerah apeks. Frekuensi denyut jantung dapat menurun,
   menetap atau meningkat pada waktu serangan angina.
b. Dapat ditemukan pembesaran jantung.

Pemeriksaan Penunjang
a. EKG
   Gambaran EKG saat istirahat dan bukan pada saat serangan angina
   sering masih normal. Gambaran EKG dapat menunjukkan bahwa pasien
   pernah mendapat infark miokard di masa lampau. Kadang-kadang
   menunjukkan pembesaran ventrikel kiri pada pasien hipertensi dan
   angina; dapat pula menunjukkan perubahan segmen ST atau gelombang
   T yang tidak khas. Pada saat serangan angina, EKG akan menunjukkan
   depresi segmen ST dan gelombang T dapat menjadi negatif.
   Gambaran EKG penderita angina tak stabil/ATS dapat berupa depresi
   segmen ST, inversi gelombang T, depresi segmen ST disertai inversi
   gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang ikatan His dan bisa
   tanpa perubahan segmen ST dan gelombang T. Perubahan EKG pada
   ATS bersifat sementara dan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri
   ataupun bersamaan. Perubahan tersebut timbul di saat serangan angina
   dan kembali ke gambaran normal atau awal setelah keluhan angina
   hilang dalam waktu 24 jam. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24
   jam atau terjadi evolusi gelombang Q, maka disebut sebagai IMA.
b. Foto toraks
   Foto rontgen dada sering menunjukkan bentuk jantung yang normal;
   pada pasien hipertensi dapat terlihat jantung membesar dan kadangkadang
   tampak adanya kalsifikasi arkus aorta.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang.

Klasifikasi Angina:
a. Stable Angina Pectoris (angina pectoris stabil)
   Keluhan nyeri dada timbul bila melakukan suatu pekerjaan, sesuai
   dengan berat ringannya pencetus, dibagi atas beberapa tingkatan:
   1. Selalu timbul sesudah latihan berat.
   2. Timbul sesudah latihan sedang ( jalan cepat 1/2 km)
   3. Timbul waktu latihan ringan (jalan 100 m)
   4. Angina timbul jika gerak badan ringan (jalan biasa)

b. Unstable Angina Pectoris (angina pectoris tidak stabil/ATS) di
   masyarakat biasa disebut Angin Duduk.
   Bentuk ini merupakan kelompok suatu keadaan yang dapat berubah
   seperti keluhan yang bertambah progresif, sebelumnya dengan angina
   stabil atau angina pada pertama kali. Angina dapat terjadi pada saat
   istirahat maupun bekerja. Pada patologi biasanya ditemukan daerah
   iskemik miokard yang mempunyai ciri tersendiri.
c. Angina prinzmetal (Variant angina)
   Terjadi tanpa peningkatan jelas beban kerja jantung dan pada
   kenyataannya sering timbul pada waktu beristirahat atau tidur. Pada
   angina prinzmetal terjadi spasme arteri koroner yang menimbulkan
   iskemi jantung di bagian hilir. Kadang-kadang tempat spasme berkaitan
   dengan arterosklerosis.

Klasifikasi Angina Pektoris menurut Canadian Cardiovascular Society
Classification System:
a. Kelas I: Pada aktivitas fisik biasa tidak mencetuskan angina. Angina
   akan muncul ketika melakukan peningkatan aktivitas fisik (berjalan
   cepat, olahraga dalam waktu yang lama).
b. Kelas II: Adanya pembatasan aktivitas sedikit/ aktivitas sehari-hari (naik
   tangga dengan cepat, jalan naik, jalan setelah makan, stres, dingin).
c. Kelas III: Benar-benar ada pembatasan aktivitas fisik karena sudah
   timbul gejala angina ketika pasien baru berjalan 1 blok atau naik tangga
   baru 1 tingkat.
d. Kelas IV: Tidak bisa melakukan aktivitas sehari-sehari, tidak nyaman,
   untuk melakukan aktivitas sedikit saja bisa kambuh, bahkan waktu
   istirahat juga bisa terjadi angina.

Diagnosis Banding

a. Gastroesofageal Refluks Disease (GERD)
b. Gastritis Akut

Komplikasi

Infark Miokard (otot jantung mati)

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
Modifikasi gaya hidup:
a. mengontrol emosi dan mengurangi kerja yang berat dimana
   membutuhkan banyak oksigen dalam aktivitasnya
b. mengurangi konsumsi makanan berlemak
c. menghentikan konsumsi rokok dan alkohol
d. menjaga berat badan ideal
e. mengatur pola makan
f. melakukan olah raga ringan secara teratur
g. jika memiliki riwayat diabetes tetap melakukan pengobatan diabetes
   secara teratur
h. melakukan kontrol terhadap kadar serum lipid.
i. Mengontrol tekanan darah.

Terapi farmakologi:
a. Nitrat dikombinasikan dengan β-blocker atau Calcium Channel Blocker
   (CCB) non dihidropiridin yang tidak meningkatkan heart rate (misalnya
   verapamil, diltiazem). Pemberian dosis pada serangan akut :
   1. Nitrat 10 mg sublingual dapat dilanjutkan dengan 10 mg peroral
      sampai mendapat pelayanan rawat lanjutan di Pelayanan sekunder.
   2. Beta bloker:
      • Propanolol 20-80 mg dalamdosis terbagi atau
      • Bisoprolol 2,5-5 mg per 24 jam.
   3. Calcium Channel Blocker (CCB)
      Dipakai bila Beta Blocker merupakan kontraindikasi.
      • Verapamil 80 mg (2-3 kali sehari)
      • Diltiazem 30 mg ( 3-4 kali sehari)
b. Antipletelet:
   Aspirin 160-320 mg sekali minum pada akut.
c. Oksigen dimulai 2 l/menit

Konseling dan Edukasi

Memberitahu individu dan keluarga untuk:
a. Mengontrol emosi, mengurangi kerja yang berat dimana membutuhkan
   banyak oksigen dalam aktivitasnya.
b. Melakukan pola hidup sehat seperti mengurangi konsumsi makanan
   berlemak, menghentikan konsumsi rokok dan alkohol, menjaga berat
   badan ideal, mengatur pola makan, melakukan olah raga ringan secara
   teratur.

Kriteria Rujukan

Dilakukan rujukan ke layanan sekunder (spesialis jantung/spesialis penyakit
dalam) untuk tatalaksana lebih lanjut

Sarana Prasarana

a. Elektrokardiografi (EKG)
b. Obat-obatan: Nitrat, Beta blocker, Calsium channel blocker, antiplatelet
c. Oksigen

Prognosis

Prognosis umumnya dubia ad bonam jika dilakukan tatalaksana dini dan
tepat.




Sumber gambar :
 http://www.dietrendahkalori.com/wp-content/uploads/2013/07/serangan-jantung-ilustrasi-_110912101820-502.jpg
 http://caramengobatistroke06.files.wordpress.com/2013/04/jantung-koroner-a.jpg

BENDA ASING DI HIDUNG

Benda Asing di Hidung

 
No. ICPC II : R87 Foreign body nose/larynx/bronchus
No. ICD X : T17.1 Foreign body in nostril
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Benda asing di hidung ialah benda yang berasal dari luar tubuh (eksogen) atau
dari dalam tubuh (endogen), yang dalam keadaan normal tidak ada dalam
hidung. Benda asing di hidung biasanya merupakan benda asing eksogen.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Hidung tersumbat yang terjadi dengan segera setelah memasukkan sesuatu ke
dalam hidung.

Faktor Risiko
Faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing ke dalam hidung
antara lain:
   a. Faktor umur (biasanya pada anak di bawah 12 tahun)
   b. Kegagalan mekanisme proteksi yang normal (keadaan tidur, kesadaran
       menurun, alkoholisme, epilepsi)
   c. Faktor kejiwaan (emosi, gangguan psikis)
   d. Ukuran, bentuk, serta sifat benda asing
   e. Faktor kecerobohan (meletakkan benda asing di hidung)

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Tanda patognomonis
Pada pemeriksaan rongga hidung dengan bantuan spekulum hidung dan
lampu kepala, ditemukan adanya benda asing.

Pemeriksaan Penunjang : -

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Diagnosis Banding: -

Komplikasi

Benda asing dapat masuk ke laring dan saluran nafas bagian bawah, sehingga
menyebabkan sesak napas dan keadaan yang lebih gawat (hal ini dapat terjadi
jika benda asing didorong ke arah nasofaring dengan maksud supaya masuk
ke dalam mulut). Selain itu, benda asing di saluran napas bawah dapat
menyebabkan berbagai penyakit paru, baik akut maupun kronis.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Edukasi untuk pencegahan
    Memperingatkan pasien (biasanya anak-anak), agar tidak memasukkan
    sesuatu ke dalam hidung.
b. Tindakan
    Keluarkan benda asing dari dalam hidung dengan memakai pengait
    (hook) tumpul yang dimasukkan ke dalam hidung di bagian atas,
    menyusuri atap kavum nasi sampai melewati benda asing. Lalu pengait
    diturunkan sedikit dan ditarik ke depan. Dengan cara ini benda asing
    akan ikut terbawa keluar. Dapat pula menggunakan cunam Nortman
    atau wire loop.
c. Farmakoterapi
    1. Pemberian antibiotik sistemik selama 3-5 hari hanya diberikan bila
        terjadi laserasi mukosa hidung.
    2. Pemberian antibiotik sistemik selama 5-7 hari hanya diberikan pada
        kasus benda asing hidung yang telah menimbulkan infeksi hidung
        maupun sinus.

Konseling dan Edukasi
Kasus benda asing di hidung seringkali terjadi pada anak-anak, karena anakanak
secara naluriah memasukkan segala sesuatu ke hidung maupun mulut.
Maka orang tua perlu meningkatkan pengawasan terhadap anak-anak, serta
lebih berhati-hati jika meletakkan sesuatu agar tidak mudah dijangkau anakanak.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Bila sudah terjadi infeksi sinus, perlu dilakukan pemeriksaan radiologi dengan
foto sinus paranasal.

Kriteria Rujukan

Pengeluaran benda asing tidak berhasil karena perlekatan atau posisi benda
asing sulit dilihat.

Sarana Prasarana

a. Spekulum hidung
 
b. Lampu kepala
c. Extractor
 
d. Serumen hook

 

Prognosis

Prognosis adalah dubia ad bonam, tergantung ada/tidaknya komplikasi.


 SUMBER GAMBAR :
 http://medicastore.com/images/Kemasukan_Benda_di_Hidung_dan_Telinga.JPG
 http://www.biroorvosimuszer.hu/kepek/termek/101331.jpg





Friday, 13 June 2014

OTITIS MEDIA AKUT

Otitis Media Akut




No. ICPC II : H71 Acute otitis media/myringitis
No. ICD X : H66.0 Acute suppurative otitis media
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid yang
terjadi dalam waktu kurang dari 3 minggu.
Prevalensi kejadian OMA banyak diderita oleh anak-anak maupun bayi
dibandingkan pada orang dewasa tua maupun dewasa muda. Pada anak-anak
makin sering menderita infeksi saluran napas atas, maka makin besar pula
kemungkinan terjadinya OMA disamping oleh karena sistem imunitas anak
yang belum berkembang secara sempurna. Pada bayi terjadinya OMA
dipermudah oleh karena tuba eustachius pendek, lebar, dan letak agak
horizontal.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan yang bergantung pada stadium OMA yang
terjadi.
Pada anak, keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga dan demam
serta ada riwayat batuk pilek sebelumnya. Anak juga gelisah, sulit tidur, tibatiba
menjerit waktu tidur, bila demam tinggi sering diikuti diare dan kejang kejang.
Kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Pada stadium
supurasi pasien tampak sangat sakit, dan demam, serta rasa nyeri di
telinga bertambah hebat. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret
mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun, dan anak tertidur tenang.
Pada anak yang lebih besar atau dewasa, selain rasa nyeri terdapat pula
gangguan pendengaran dan rasa penuh dalam telinga.

Faktor Risiko
a. Bayi dan anak
b. Infeksi saluran napas berulang
c. Bayi yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a. Dapat ditemukan demam
b. Pemeriksaan dengan otoskopi untuk melihat membran timpani:
   1. Pada stadium oklusi tuba Eustachius terdapat gambaran retraksi
       membran timpani, warna membran timpani suram dengan reflex
       cahaya tidak terlihat.
 
   2. Pada stadium hiperemis membran timpani tampak hiperemis serta
       edema.
   3. Pada stadium supurasi membran timpani menonjol ke arah luar
       (bulging) berwarna kekuningan.
 
   4. Pada stadium perforasi terjadi ruptur membran timpani dan nanah
      keluar mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar.
 
   5. Pada stadium resolusi bila membran timpani tetap utuh, maka
       perlahan-lahan akan normal kembali.Bila telah terjadi perforasi,
       maka sekret akan berkurang dan mengering.
c. Pada pemeriksaan penala yang dilakukan pada anak yang lebih besar
    dapat ditemukan tuli konduktif

Pemeriksaan Penunjang : -

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Otitis Media Akut:
a. Stadium oklusi tuba Eustachius
   Adanya gambaran retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan
   negatif di dalam telinga tengah, karena adanya absorpsi udara.
   Membran timpani terlihat suram dengan refleks cahaya menghilang.
   Efusi mungkin telah terjadi, tapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit
   dibedakan dengan otitis media serosa yang disebabkan oleh virus atau
   alergi.
b. Stadium Hiperemis
   Tampak pembuluh darah melebar di membran timpani sehingga
   membran timpani tampak hiperemis serta edema. Sekret yang terbentuk
   mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar dilihat.
c. Stadium Supurasi
   Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel
   superfisial, serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani
   yang menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) ke arah telinga
   luar. Pasien tampak sangat sakit, dan demam, serta rasa nyeri di
   telinga bertambah hebat. Bila tidak dilakukan insisi (miringotomi) pada
   stadium ini, kemungkinan besar membran timpani akan ruptur dan
   keluar nanah ke liang telinga luar. Dan bila ruptur, maka lubang tempat
   ruptur (perforasi) kadang tidak menutup kembali terutama pada anak
   usia lebih dari 12 tahun atau dewasa.
d. Stadium Perforasi
   Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika atau
   virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran
   timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke liang telinga
   luar.
e. Stadium Resolusi

Diagnosis Banding

a. Otitis media serosa akut
b. Otitis eksterna

Komplikasi

a. Otitis Media Supuratif Kronik
b. Abses sub-periosteal
c. Mastoiditis akut

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Asupan gizi yang baik untuk meningkatkan daya tahan tubuh
b. Pemberian farmakoterapi dengani:
   1. Topikal
       • Pada stadium oklusi, tujuan terapi dikhususkan untuk membuka
       kembali tuba eustachius. Obat tetes hidung HCl efedrin 0,5%
       (atau oksimetazolin 0,025%) diberikan dalam larutan fisiologik
       untuk anak kurang dari 12 tahun dan HCl efedrin 1% (atau
       oksimetazolin 0,05%) dalam larutan fisiologik untuk anak yang
       berumur lebih dari 12 tahun atau dewasa.
       • Pada stadium perforasi, diberikan obat cuci telinga H2O2 3%
       selama 3-5 hari, dilanjutkan antibiotik adekuat yang tidak
      ototoksik seperti ofloxacin tetes telinga sampai 3 minggu.
  2. Oral sistemik
      • Dapat diberikan antihistamin bila ada tanda-tanda alergi.
      • Antipiretik seperti paracetamol sesuai dosis anak.
      • Antibiotik yang diberikan pada stadium oklusi dan hiperemis ialah
      penisilin atau eritromisin, selama 10-14 hari:
      a) Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x sehari atau
      b) Amoksisilin: Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x sehari atau
      c) Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x sehari
     d) Jika terdapat resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin.
     • Pada stadium supurasi dilakukan miringotomi (kasus rujukan)
       dan pemberian antibiotik. Antibiotik yang diberikan:
      a) Amoxyciline: Dewasa 3x500 mg/hari. Pada bayi/anak 50mg/kgBB/hari; atau
      b) Erythromycine: Dewasa/ anak sama dengan dosis amoxyciline;atau
      c) Cotrimoxazole: (kombinasi trimethroprim 80 mg dan sulfamethoxazole 400 mg tablet)
          untuk dewasa 2x2 tablet, anak (trimethroprim 40 mg dan sulfamethoxazole 200 mg)
         suspensi 2x5 ml.
     d) Jika kuman sudah resisten (infeksi berulang): kombinasi
         amoxyciline dan asam klavulanat, dewasa 3x625 mg/hari. Pada
         bayi/anak, dosis disesuaikan dengan BB dan usia.
     c. Miringotomi (kasus rujukan)
         Indikasi miringotomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat,
         demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis,
         labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi
         third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali
         terapi antibiotik pada satu episode OMA.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Kultur bakteri pada kasus OMA berulang dan dilakukan di layanan sekunder.

Rencana Tindak Lanjut
Dilakukan pemeriksaan membran tympani selama 2-4 minggu sampai terjadi
resolusi membran tymphani (menutup kembali) jika terjadi perforasi.

Konseling dan Edukasi
a. Memberitahu keluarga bahwa pengobatan harus adekuat agar membran
    timpani dapat kembali normal.
b. Memberitahu keluarga untuk mencegah infeksi saluran napas atas
    (ISPA) pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA denganpengobatan
    adekuat.
c. Memberitahu keluarga untuk menganjurkan pemberian ASI minimal
    enam bulan sampai dengan 2 tahun.
d. Menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok dan lain-lain.

 Kriteria Rujukan

a. Jika indikasi miringotomi.
b. Bila membran tymphani tidak menutup kembali setelah 3 bulan.

Sarana Prasarana

a. Lampu kepala
b. Spekulum telinga
c. Aplikator kapas
d. Otoskop

Prognosis

Prognosis quo ad fungsionam dan sanationam adalah dubia ad bonam jika
pengobatan adekuat. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman
rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan.
OMA berubah menjadi OMSK bila perforasi menetap dengan sekret yang
keluar terus menerus atau hilang timbul. OMA dapat menimbulkan gejala sisa
berupa otitis media serosa bila sekret menetap di kavum timpani tanpa
terjadinya perforasi.



Sumber gambar :
http://www.drpaul.com/illnesses/images/normal-ear-infected-ear.jpg
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/3/39/Otitis_media_incipient.jpg
http://otitismedia.hawkelibrary.com/albums/aom/3_2_CSOM_Otorrhea.jpg
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/6/67/Acute_Otitis_Media.jpg

SERUMEN PROP

Serumen Prop


No. ICPC II : H81 Excessive ear wax
No. ICD X : H61.2 Impacted cerumen
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Serumen adalah sekret kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, epitel kulit yang
terlepas dan partikel debu yang terdapat pada bagian kartilaginosa liang
telinga. Bila serumen ini berlebihan maka dapat membentuk gumpalan yang
menumpuk di liang telinga, dikenal dengan serumen prop.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan pendengaran yang berkurang disertai rasa
penuh pada telinga.
Impaksi/gumpalan serumen yang menumpuk di liang telinga menyebabkan
rasa penuh dengan penurunan pendengaran (tuli konduktif). Terutama bila
telinga masuk air (sewaktu mandi atau berenang), serumen mengembang
sehingga menimbulkan rasa tertekan dan gangguan pendengaran semakin
dirasakan sangat mengganggu. Beberapa pasien mengeluhkan adanya vertigo
atau tinitus. Rasa nyeri timbul apabila serumen keras membatu dan menekan
dinding liang telinga.

Faktor Risiko
a. Dermatitis kronik liang telinga luar
b. Liang telinga sempit
c. Produksi serumen banyak dan kering
d. Adanya benda asing di liang telinga
e. Kebiasaan mengorek telinga

Faktor Predisposisi: (-)

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a. Otoskopi: dapat terlihat adanya obstruksi liang telinga oleh material
    berwarna kuning kecoklatan atau kehitaman. Konsistensi dari serumen
    dapat bervariasi.
b. Pada pemeriksaan penala dapat ditemukan tuli konduktif akibat
    sumbatan serumen.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang khas

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik

Diagnosis Banding
Benda asing di liang telinga

Komplikasi

Trauma pada liang telinga dan atau membran timpani saat mengeluarkan
serumen

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Menghindari membersihkan telinga secara berlebihan
b. Menghindari memasukkan air atau apapun ke dalam telinga
c. Tatalaksana farmakoterapi:
    1. Serumen yang lembek, dibersihkan dengan kapas yang dililitkan
        pada pelilit kapas.
    2. Serumen yang keras dikeluarkan dengan pengait atau kuret. Apabila
        dengan cara ini serumen tidak dapat dikeluarkan, maka serumen
        harus dilunakkan lebih dahulu dengan tetes karbogliserin 10%
        selama 3 hari.
   3. Serumen yang sudah terlalu jauh terdorong kedalam liang telinga
       sehingga dikuatirkan menimbulkan trauma pada membran timpani
       sewaktu mengeluarkannya, dikeluarkan dengan mengalirkan (irigasi)
       air hangat yang suhunya disesuaikan dengan suhu tubuh.
   4. Indikasi untuk mengeluarkan serumen adalah sulit untuk
       melakukan evaluasi membran timpani, otitis eksterna, oklusi
       serumen dan bagian dari terapi tuli konduktif. Kontraindikasi
       dilakukannya irigasi adalah adanya perforasi membran timpani. Bila
       terdapat keluhan tinitus, serumen yang sangat keras dan pasien yang
        tidak kooperatif merupakan kontraindikasi dari suction.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Tidak diperlukan

Rencana Tindak Lanjut

Dianjurkan serumen dikeluarkan 6 -12 bulan sekali

Konseling dan Edukasi
a. Memberitahu pasien dan keluarga untuk tidak mengorek telinga baik
    dengan cotton bud atau lainnya.
b. Memberitahu keluarga dan pasien untuk menghindari memasukkan air
    atau apapun ke dalam telinga

Kriteria rujukan: -

Sarana Prasarana

a. Lampu kepala
b. Spekulum telinga
c. Otoskop
d. Serumen hook
e. Aplikator kapas
f. Cairan irigasi telinga
g. Irigator telinga (Spoit 20 - 50 cc + cateter wing needle)

Prognosis

Prognosis penyakit ini adalah bonam karena jarang menimbulkan kondisi
klinis berat.



Sumber gambar :
 http://rsud-waluyojati.com/images/images/serumen3.JPG


Thursday, 12 June 2014

OTITIS EKSTERNA

Otitis Eksterna




No. ICPC II : H70 Otitis eksterna
No. ICD X : H60.9 Otitis Externa, Unspecified
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Otitis eksterna adalah radang liang telinga akut maupun kronis disebabkan
oleh infeksi bakteri, jamur, dan virus. Penyakit ini sering dijumpai pada
daerah-daerah yang panas dan lembab dan jarang pada iklim-iklim sejuk dan
kering.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan rasa sakit pada telinga, terutama bila daun
telinga disentuh dan waktu mengunyah. Namun pada pasien dengan
otomikosis biasanya datang dengan keluhan rasa gatal yang hebat dan rasa
penuh pada liang telinga.

Rasa sakit di dalam telinga bisa bervariasi dari yang hanya berupa rasa tidak
enak sedikit, perasaan penuh di dalam telinga, perasaan seperti terbakar
hingga rasa sakit yang hebat, serta berdenyut. Rasa penuh pada telinga
merupakan keluhan yang umum pada tahap awal dari otitis eksterna difusa
dan sering mendahului terjadinya rasa sakit dan nyeri tekan daun telinga.

Kurang pendengaran mungkin terjadi pada otitis eksterna disebabkan edema
kulit liang telinga, sekret yang serous atau purulen, penebalan kulit yang
progresif pada otitis eksterna yang lama sehingga sering menyumbat lumen
kanalis dan menyebabkan timbulnya tuli konduktif.

Faktor Risiko
  a. Lingkungan yang panas dan lembab
  b. Berenang
  c. Membersihkan telinga secara berlebihan, seperti dengan cotton bud
     ataupun benda lainnya
  d. Kebiasaan memasukkan air ke dalam telinga
  e. Penyakit sistemik diabetes

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
  a. Nyeri tekan pada tragus
  b. Nyeri tarik daun telinga
  c. Kelenjar getah bening regional dapat membesar dan nyeri
  d. Pada pemeriksaan liang telinga:
     1. Pada otitis eksterna sirkumskripta dapat terlihat furunkel atau bisul
         serta liang telinga sempit;
     2. Pada otitis eksterna difusa liang telinga sempit, kulit liang telinga
         terlihat hiperemis dan udem yang batasnya tidak jelas serta sekret
         yang sedikit.
    3. Pada otomikosis dapat terlihat jamur seperti serabut kapas dengan
        warna yang bervariasi (putih kekuningan)
    4. Pada herpes zoster otikus tampak lesi kulit vesikuler di sekitar liang
        telinga.
e. Pada pemeriksaan penala kadang didapatkan tuli konduktif.
 

Pemeriksaan Penunjang:
Pemeriksaan sediaan langsung jamur dengan KOH untuk otomikosis

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.

Klasifikasi Otitis Eksterna:
a. Otitis Eksterna Akut
   1. Otitis eksterna sirkumskripta
       Infeksi bermula dari folikel rambut di liang telinga yang disebabkan
       oleh bakteri stafilokokus dan menimbulkan furunkel di liang telinga
       di 1/3 luar.
   2. Otitis eksterna difus
b. Infeksi pada 2/3 dalam liang telinga akibat infeksi bakteri. Umumnya
    bakteri penyebab yaitu Pseudomonas. Bakteri penyebab lainnya yaitu
    Staphylococcus albus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenes. Danau,
    laut dan kolam renang merupakan sumber potensial untuk infeksi
    ini.Otomikosis
    Infeksi jamur di liang telinga dipermudah oleh kelembaban yang tinggi di
    daerah tersebut. Yang tersering ialah jamur Pityrosporum, Aspergillus.
    Kadang-kadang ditemukan juga kandida albikans atau jamur lain.
c. Herpes Zoster Otikus
    Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus Varicella zoster. Virus ini
    menyerang satu atau lebih dermatom saraf kranial.

Diagnosis Banding

  a. Otitis eksternanekrotik
  b. Perikondritis yang berulang
  c. Kondritis
  d. Dermatitis, seperti psoriasis dan dermatitis seboroika.

Komplikasi

Infeksi kronik liang telinga jika pengobatan tidak adekuat dapat terjadi
stenosis atau penyempitan liang telinga karena terbentuk jaringan parut

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Membersihkan liang telinga dengan pengisap atau kapas dengan
    berhati-hati.
b. Selama pengobatan sebaiknya pasien tidak berenang dan tidak
    mengorek telinga.
c. Farmakologi:
   1. Topikal
       • Otitis eksterna sirkumskripta pada stadium infiltrat diberikan
          salep ikhtiol atau antibiotik dalam bentuk salep seperti polymixin
          B atau basitrasin.
       • Pada otitis eksterna difus dengan memasukkan tampon yang
          mengandung antibiotik ke liang telinga supaya terdapat kontak
         yang baik antara obat dengan kulit yang meradang. Pilihan
         antibiotika yang dipakai adalah campuran polimiksin B, neomisin,
         hidrokortison dan anestesi topikal.
      • Pada otomikosis dilakukan pembersihan liang telinga dari plak
         jamur dilanjutkan dengan mencuci liang telinga dengan larutan
         asam asetat 2% dalam alkohol 70% setiap hari selama 2 minggu.
         Irigasi ringan ini harus diikuti dengan pengeringan. Tetes telinga
         siap beli dapat digunakan seperti asetat-nonakueous 2% dan mkresilasetat.
  2. Oral sistemik
      • Antibiotika sistemik diberikan dengan pertimbangan infeksi yang
        cukup berat.
     • Analgetik paracetamol atau ibuprofen dapat diberikan.
     • Pengobatan herpes zoster otikus sesuai dengan tatalaksana
       Herpes Zoster.
  3. Bila otitis eksterna sudah terjadi abses, diaspirasi secara steril untuk
      mengeluarkan nanah.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Evaluasi pendengaran pada kasus post herpetis zooster otikus.
Rencana Tindak Lanjut
a. Tiga hari pasca pengobatan untuk melihat hasil pengobatan.
b. Khusus untuk otomikosis, tindak lanjut berlangsung sekurangkurangnya
    2 minggu.

Konseling dan Edukasi
Pasien dan keluarga perlu diberitahu tentang:
a. Tidak mengorek telinga baik dengan cotton bud atau lainnya.
b. Selama pengobatan pasien tidak boleh berenang.
c. Penyakit dapat berulang sehingga harus menjaga liang telinga agar
    dalam kondisi kering dan tidak lembab.

Kriteria Rujukan

a. Pada kasus herpes zoster otikus
b. Kasus otitis eksterna nekrotikan

Sarana Prasarana

a. Lampu kepala
b. Corong telinga
c. Aplikator kapas
d. Otoskop

Prognosis

Prognosis tergantung dari perjalanan penyakit, ada/tidaknya komplikasi,
penyakit yang mendasarinya serta pengobatan lanjutannya.



Sumber gambar :
 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxx_yebmbvo-93QPI-n8rjPtqgVK3KD96lRng-7unR8OLNYrJrt_psHAYnE-jiVafXcRVS21Qib0beuoZ7s3-ktMNt-90v30_3xbhYpOlLw9D0AgXSgVacU1aPHhXcLE72Ewv8xlKqkhcm/s1600/2.png
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFYwtN1xdR-nmPtnHsXfE1C23NVzIHltOfEE60l6V8U4rbaNOaPAK0KipIdVcidzd9HaKnB_GTELoc8HZUOnP3Tnwz_E5oOo_fv5xcFqOGCRpF7wYbnNEiPLS64OdBTgF_egC0nHnzYQk/s400/otitis+externa+5.jpg
http://img.medscape.com/pi/emed/ckb/pediatrics_surgery/993855-994550-79tn.jpg

Sunday, 8 June 2014

GLAUKOMA AKUT

Glaukoma Akut




No. ICPC II : F93 Glaucoma
No. ICD X : H40.2 Primary angle-closure glaucoma
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Glaukoma adalah penyebab kebutaan kedua terbesar di dunia setelah katarak.
Kebutaan karena glaukoma tidak bisa disembuhkan, tetapi pada kebanyakan
kasus glaukoma dapat dikendalikan. Umumnya penderita glaukoma telah
berusia lanjut, terutama bagi yang memiliki risiko. Hampir separuh penderita
glaukoma tidak menyadari bahwa mereka menderita penyakit tersebut.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan yang bervariasi dan berbeda tergantung jenis
glaukoma.
    1.Gejala pada glaukoma kronik (sudut terbuka primer) adalah
       kehilangan lapang pandang perifer secara bertahap pada kedua mata. Pasien
       sering datang pada kondisi yang telah lanjut.
    2. Gejala pada glaukoma akut (sudut tertutup) adalah rasa sakit atau nyeri
        pada mata, mual dan muntah (pada nyeri mata yang parah),
        penurunan visus mendadak, mata merah dan berair.
 
Faktor Risiko
a. Glaukoma akut : bilik mata depan dangkal
b. Glaukoma kronik :
    1. Primer : usia di atas 40 tahun dengan riwayat keluarga glaukoma.
    2. Sekunder :
        • Penyakit sistemik seperti Diabetes Melitus.
        • Pemakaian tetes mata steroid secara rutin.
        • Riwayat trauma pada mata

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai oleh trias glaukoma, terdiri dari:
   a. Peningkatan tekanan intraokular.
   b. Perubahan patologis pada diskus optikus.
   c. Defek lapang pandang yang khas.

Pemeriksaan Fisik Oftalmologis
Pada glaukoma akut:
  a. Visus menurun.
  b. Tekanan Intra Okular meningkat.
  c. Konjungtiva bulbi: hiperemia kongesti, kemosis dengan injeksi silier, injeksi konjungtiva.
  d. Edema kornea.
  e. Bilik mata depan dangkal.
  f. Pupil mid-dilatasi, refleks pupil negatif.

Pada glaukoma kronik
  a. Biasanya terjadi visus dapat normal.
  b. Lapang pandang menyempit dapat diperiksa dengan tes konfrontasi
  c. Tekanan Intra Okular meningkat (>21 mmHg).
  d. Pada funduskopi, C/D rasio meningkat (N=0.3).

Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pada pelayanan primer.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
oftalmologis.
Glaukoma kronik
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan tanda dan gejala trias glaukoma.

Tabel 22. Klasifikasi Glaukoma berdasarkan Etiologi



Diagnosis Banding:

Glaukoma akut:
  a. Uveitis anterior
  b. Keratitis
  c. Ulkus kornea

Glaukoma kronis:
  a. Katarak
  b. Kelainan refraksi
  c. Retinopati diabetes/hipertensi
  d. Retinitis pigmentosa

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Pasien tidak boleh minum sekaligus banyak, karena dapat menaikkan tekanan
b. Glaukoma akut:
  1. Pertolongan pertama adalah menurunkan tekanan intraocular
      secepatnya dengan memberikan serentak obat-obatan yang terdiri dari:
  2. Asetasolamid Hcl 500 mg, dilanjutkan 4 x 250 mg/hari.
  3. KCl 0.5 gr 3 x/hari.
  4. Timolol 0.5%, 2 x 1 tetes/hari.
  5. Tetes mata kombinasi kortikosteroid + antibiotik 4-6 x 1 tetes sehari
  6. Terapi simptomatik.

Rujuk segera ke dokter spesialis mata/pelayanan kesehatan tingkat
sekunder/tersier setelah diberikan pertolongan pertama tersebut.

Pemeriksaan penunjang lanjutan dilakukan pada pelayanan sekunder/tersier

Konseling dan Edukasi
a. Memberitahu keluarga bahwa kepatuhan pengobatan sangat penting
    untuk keberhasilan pengobatan glaukoma.
b. Memberitahu pasien dan keluarga agar pasien dengan riwayat glaukoma
    pada keluarga untuk memeriksakan matanya secara teratur.

Kriteria rujukan

Pada glaukoma akut, setelah dilakukan penanganan pertama.
Pada glaukoma kronik, dilakukan segera setelah penegakan diagnosis.

Sarana Prasarana

a. Snellen chart
b. Tonometri Schiotz
c. Oftalmoskopi

Prognosis

Quo ad vitam umumnya bonam, sedangkan quo ad fungsionam dan
sanationamnya dubia ad malam, tergantung dari ada tidaknya penyakit
penyerta serta pengobatan lanjutannya.


Sumber gambar :
 http://obatmujarab.com/wp-content/uploads/2013/09/glukoma.jpg
http://www.google.co.id/url?sa=i&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&docid=v6zPhqipr592HM&tbnid=IrbRidIS84jTpM&ved=0CAgQjRw&url=http%3A%2F%2Fchyntiayuliza.blogspot.com%2F2012%2F07%2Fmodul-mata-glaukoma-akut.html&ei=uG6UU5LWDNWeugSes4GwDg&psig=AFQjCNFKpPir--IJr7FbDKFz_fIcyyQN6g&ust=1402323000308940


Saturday, 7 June 2014

KATARAK PADA PASIEN DEWASA

Katarak pada Pasien Dewasa




No. ICPC II : F92 Cataract
No. ICD X : H26.9 Cataract, unspecified
Tingkat Kemampuan: 2

Masalah Kesehatan

Katarak adalah kekeruhan pada lensa yang menyebabkan penurunan tajam
penglihatan (visus) yang paling sering berkaitan dengan proses degenerasi
lensa pada pasien usia di atas 40 tahun (katarak senilis).
Penyebab lain katarak adalah glaukoma, uveitis, trauma mata, serta kelainan sistemik
seperti Diabetes Mellitus, riwayat pemakaian obat steroid dan lain-lain.
Katarak biasanya terjadi bilateral, namun dapat juga pada satu mata(monokular).

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan penglihatan menurun secara perlahan seperti
tertutup asap/kabut. Keluhan disertai ukuran kacamata semakin bertambah,
silau dan sulit membaca.
 

Faktor Risiko
   a. Usia lebih dari 40 tahun
   b. Penyakit sistemik seperti Diabetes Mellitus.
   c. Pemakaian tetes mata steroid secara rutin.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik Oftalmologis
   a. Visus menurun.
   b. Refleks pupil dan Tekanan Intra Okular normal.
   c. Tidak ditemukan kekeruhan kornea.
   d. Terdapat kekeruhan lensa yang tampak lebih jelas setelah dilakukan
       dilatasi pupil dengan tetes mata tropikamid 0.5%.
   e. Pemeriksaan iris shadow test positif.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
oftalmologis.

Diagnosis Banding
Kelainan refraksi

Komplikasi

Glaukoma

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
Pada katarak matur segera dirujuk ke layanan sekunder yang memiliki dokter
spesialis mata untuk mendapatkan penatalaksanaan selanjutnya.

Konseling dan Edukasi
a. Memberitahu keluarga bahwa katarak adalah gangguan penglihatan
yang dapat diperbaiki.
b. Memberitahu keluarga untuk kontrol teratur jika sudah didiagnosis
katarak agar tidak terjadi komplikasi.

Kriteria rujukan

a. Indikasi sosial jika pasien merasa terganggu.
b. Jika katarak telah matur dan membutuhkan tindakan operasi.
c. Jika timbul komplikasi

Sarana Prasarana

a. Senter
b. Snellen chart
c. Tonometri Schiotz
d. Oftalmoskop

Prognosis

Quo ad vitam pada umumnya bonam, namun fungsionam dan sanationamnya
dubia ad malam bila tidak dilakukan operasi katarak.



Sumber gambar :
http://medicastore.com/images/katarak2.jpg
 http://dirada.files.wordpress.com/2010/02/kabut.jpg

Tuesday, 3 June 2014

PRESBIOPIA (MATA TUA)

Presbiopia


No. ICPC II : F91 Refractive error
No. ICD X : H52.4 Presbyopia
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Presbiopia adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan usia dimana
penglihatan kabur ketika melihat objek berjarak dekat. Presbiopia merupakan
proses degeneratif mata yang pada umumnya dimulai sekitar usia 40 tahun
Kelainan ini terjadi karena lensa mata mengalami kehilangan elastisitas dan
kemampuan untuk berubah bentuk.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan penglihatan kabur ketika melihat dekat.
Gejala lainnya, setelah membaca mata terasa lelah, berair, dan sering terasa perih.
Membaca dilakukan dengan menjauhkan kertas yang dibaca. Terdapat
gangguan pekerjaan terutama pada malam hari dan perlu sinar lebih terang
untuk membaca.

Faktor Risiko
Usia lanjut umumnya lebih dari 40 tahun.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan refraksi subjektif dengan menggunakan kartu Jaeger. Pasien
diminta untuk menyebutkan kalimat hingga kalimat terkecil yang terbaca
pada kartu. Target koreksi sebesar 20/30.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
Koreksi kacamata lensa positif
Tabel 21. Koreksi lensa positif disesuaikan usia
        USIA                          KOREKSI LENSA
    40 tahun                              + 1,0D
    45 tahun                              + 1,5 D
    50 tahun                              +2,0 D
    55 tahun                              +2,5 D
    60 tahun                              +3,0 D

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Tidak diperlukan

Konseling dan Edukasi
Memberitahu keluarga bahwa presbiopia merupakan penyakit degeneratif dan
dapat dikoreksi dengan kacamata

Sarana Prasarana

a. Kartu Jaeger
b. Satu set lensa coba dan trial frame

Prognosis

Prognosis quo ad vitam dan sanationam adalah bonam, namun quo ad
fungsionamnya menjadi dubia ad malam karena kelainan ini adalah proses
degenerasi.


Sumber gambar :
http://www.eotica.com.br/blog/wp-content/uploads/2012/04/Presbiopia-300x224.jpg

MIOPIA RINGAN (RABUN JAUH/MATA MINUS)

Miopia Ringan


No. ICPC II : F91 Refractive error
No. ICD X : H52.1 Myopia
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Miopia ringan adalah kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang masuk ke
mata dalam keadaan istirahat (tanpa akomodasi) akan dibiaskan membentuk
bayangan di depan retina. Dapat dikoreksi dengan lensa sferis negative S –
0.25 sampai S – 3.00 D

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Penglihatan kabur bila melihat jauh, mata cepat lelah, pusing dan
mengantuk,cenderung memicingkan mata bila melihat jauh. Tidak terdapat
riwayat kelainan sistemik seperti; diabetes mellitus, hipertensi; serta buta
senja.

Faktor Risiko
Genetik

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Refraksi Subjektif:
a. Penderita duduk menghadap kartu snellen pada jarak 6 meter.
b. Pada mata dipasang bingkai percobaan. Satu mata ditutup, biasanya
    mata kiri ditutup terlebih dahulu untuk memeriksa mata kanan.
c. Penderita diminta membaca kartu snellen mulai huruf terbesar (teratas)
    dan diteruskan pada baris bawahnya sampai pada huruf terkecil yang
    masih dapat dibaca. Lensa positif terkecil ditambah pada mata yang
    diperiksa dan bila bertambah kabur lensa positif tersebut diganti dengan
    lensa negatif. Kemudian kekuatan lensa negatif ditambah perlahan lahan
    dan diminta membaca huruf-huruf pada baris yang lebih bawah
    sampai jelas terbaca pada baris ke 6.
d. Mata yang lain diperiksa dengan cara yang sama.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan refraksi
subjektif

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
Koreksi dengan kacamata lensa sferis negatif terlemah yang menghasilkan
tajam penglihatan terbaik

Konseling dan Edukasi
a. Membaca dalam cahaya yang cukup dan tidak jarak dekat.
b. Kontrol untuk pemeriksaan visus bila ada keluhan.

Kriteria rujukan

Kelainan refraksi yang progresif, tidak maju dengan koreksi dan tidak maju
dengan pinhole.

Sarana Prasarana

a. Snellen chart
b. Satu set lensa coba dan trial frame

Prognosis

Prognosis umumnya bonam.


Sumber gambar :
 http://www.myeyes.com/myopia/images/1.1.4_Myopia_Diagram.jpg

HIPERMETROPIA (RABUN DEKAT/MATA PLUS)

Hipermetropia


No. ICPC II : F91 Refractive error
No. ICD X : H52.0 Hypermetropia
Tingkat Kemampuan: Hipermetropia ringan 4A

Masalah Kesehatan

Hipermetropia merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata
dimana sinar sejajar jauh tidak cukup kuat dibiaskan sehingga titik fokusnya
terletak di belakang retina.
Kelainan ini menyebar merata di berbagai geografis, etnis, usia dan jenis
kelamin. Hipermetrop pada anak-anak tidak perlu dikoreksi kecuali bila
disertai dengan gangguan motor sensorik ataupun keluhan astenopia.
Sinonim: rabun dekat

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan melihat dekat dan jauh kabur.
a. Gejala penglihatan dekat, kabur lebih awal, terutama bila lelah dan
    penerangan kurang.
b. Sakit kepala terutama daerah frontal dan makin kuat pada penggunaan
    mata yang lama dan membaca dekat. Penglihatan tidak enak
    (asthenopia akomodatif = eye strain) terutama bila melihat pada jarak
    yang tetap dan diperlukan penglihatan jelas pada jangka waktu yang
     lama, misalnya menonton TV dan lain-lain.
c. Mata sensitif terhadap sinar.
d. Spasme akomodasi yang dapat menimbulkan pseudomiopia. Mata juling
    dapat terjadi karena akomodasi yang berlebihan akan diikuti
    konvergensi yang berlebihan pula.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan refraksi subjektif
    1. Penderita duduk menghadap kartu snellen pada jarak 6 meter.
    2. Pada mata dipasang bingkai percobaan. Satu mata ditutup, biasanya
        mata kiri ditutup terlebih dahulu untuk memeriksa mata kanan.
    3. Penderita disuruh membaca kartu snellen mulai huruf terbesar
        (teratas) dan diteruskan pada baris bawahnya sampai pada huruf
        terkecil yang masih dapat dibaca. Lensa positif terkecil ditambah
        pada mata yang diperiksadan bila tampak lebih jelas oleh penderita
        lensa positif tersebut ditambah kekuatannya perlahan–lahan dan
        disuruh membaca huruf-huruf pada baris yang lebih bawah.
        Ditambah kekuatan lensa sampai terbaca huruf-huruf pada baris
        6/6. Ditambah lensa positif +0.25 lagi dan ditanyakan apakah masih
        dapat melihat huruf-huruf di atas.
    4. Mata yang lain diperiksa dengan cara yang sama.
    5. Penilaian: bila dengan S +2.00 tajam penglihatan 6/6, kemudian
        dengan S +2.25 tajam penglihatan 6/6 sedang dengan S +2.50 tajam
        penglihatan 6/6-2 maka pada keadaan ini derajat hipermetropia yang
        diperiksa S +2.25 dan kacamata dengan ukuran ini diberikan pada
        penderita. Pada penderita hipermetropia selama diberikan lensa sferis
        positif terbesar yang memberikan tajam penglihatan terbaik.
b. Pada pasien dengan daya akomodasi yang masih sangat kuat atau pada
    anak-anak, sebaiknya pemeriksaan dilakukan dengan pemberian
    siklopegik atau melumpuhkan otot akomodasi.

Pemeriksaan Penunjang

Tidak diperlukan

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dengan anamnesis dan pemeriksaan refraksi subjektif.

Komplikasi

a. Esotropia atau juling ke dalam terjadi akibat pasien selamanya
    melakukan akomodasi.
b. Glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi otot siliar pada badan siliar
    yang akan mempersempit sudut bilik mata.
c. Ambliopia

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
Koreksi dengan lensa sferis positif terkuat yang menghasilkan tajam
penglihatan terbaik.

Konseling dan Edukasi
Memberitahu keluarga jika penyakit ini harus dikoreksi dengan bantuan kaca
mata. Karena jika tidak, maka mata akan berakomodasi terus menerus dan
menyebabkan komplikasi.

Kriteria rujukan

Rujukan dilakukan jika timbul komplikasi.

SaranaPrasarana

a. Snellen chart
b. Satu set lensa coba (trial frame)

Prognosis

Prognosis pada umumnya ad bonam jika segera dikoreksi dengan lensa sferis
positif.