Friday, 26 December 2014

GANGGUAN PSIKOTIK

Gangguan Psikotik














 Sumber gambar :  http://www.istanafm.com/wp-content/uploads/2014/05/orang-gila.jpg


No. ICPC II : P98 Psychosis NOS/other
No. ICD X PC : F20# Chronic Psychotic Disorder
Tingkat Kemampuan: 3A

Masalah Kesehatan

Gangguan yang ditandai dengan ketidakmampuan atau hendaya berat dalam
menilai realita, berupa sindroma (kumpulan gejala), antara lain
dimanifestasikan dengan adanya halusinasi dan waham.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien mungkin datang dengan keluhan:
a. Sulit berpikir/sulit berkonsentrasi
b. Tidak dapat tidur, tidak mau makan
c. Perasaan gelisah, tidak dapat tenang, ketakutan
d. Bicara kacau yang tidak dapat dimengerti
e. Mendengar suara orang yang tidak dapat didengar oleh orang lain
f. Adanya pikiran aneh yang tidak sesuai realita
g. Marah tanpa sebab yang jelas, kecurigaan yang berat, perilaku kacau,
    perilaku kekerasan
h. Menarik diri dari lingkungannya dan tidak merawat diri dengan baik

Alo dan Auto Anamnesis tambahan:
Singkirkan adanya kemungkinan penyakit fisik (seperti demam tinggi, kejang,
trauma kepala) dan penggunaan zat psikoaktif sebagai penyebab timbulnya
keluhan.

Faktor Risiko
a. Adanya faktor biologis yang mempengaruhi, antara lain hiperaktivitas
    sistem dopaminergik dan faktor genetik.
b. Ciri kepribadian tertentu yang imatur, seperti ciri kepribadian skizoid,
    paranoid, dependen.
c. Adanya stresor kehidupan.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk menyingkirkan penyebab organik dari
psikotiknya (gangguan mental organik). Selain itu pasien dengan gangguan
psikotik juga sering terdapat gangguan fisik yang menyertai karena perawatan
diri yang kurang.

Pemeriksaan Penunjang
a. Dilakukan jika dicurigai adanya penyakit fisik yang menyertai untuk
    menyingkirkan diagnosis banding gangguan mental organik.
b. Apabila ada kesulitan dalam merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
    tingkat lanjut maka pada faskes primer yang mampu perlu dilakukan
    pemeriksaan penunjang yang sesuai seperti: darah perifer lengkap,
    elektrolit, gula darah, fungsi hati, fungsi ginjal, serta radiologi dan EKG.

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Kriteria diagnosis berdasarkan ICD 10-PC, yaitu:
a. Halusinasi (terutama halusinasi dengar); merupakan gangguan persepsi
    (persepsi palsu), tanpa adanya stimulus sensori eksternal. Halusinasi
    dapat terjadi pada setiap panca indra, yaitu halusinasi dengar, lihat,
    cium, raba, dan rasa.
b. Waham (delusi);merupakan gangguan pikiran, yaitu keyakinan yang
    salah, tidak sesuai dengan realita dan logika, namun tetap
    dipertahankan dan tidak dapat dikoreksi dengan cara apapun serta
    tidak sesuai dengan budaya setempat.
    Contoh: waham kejar, waham kebesaran, waham kendali, waham pengaruh.
    CONTOH : WAHAM KEBESARAN (MENJADI DA'I)
c. Perilaku kacau atau aneh
d. Gangguan proses pikir (terlihat dari pembicaraan yang kacau dan tidak
    dimengerti)
e. Agitatif
f. Isolasi sosial (social withdrawal)
g. Perawatan diri yang buruk

Diagnosis Banding
a. Gangguan Mental Organik (Delirium, Dementia, Psikosis Epileptik)
b. Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Zat (Napza)
c. Gangguan Afektif Bipolar/ Gangguan Manik
d. Gangguan Depresi (dengan gejala psikotik)

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a. Intervensi Psikososial
   1. Informasi penting bagi pasien dan keluarga
       • Agitasi dan perilaku aneh merupakan gejala gangguan mental,
          yang juga termasuk penyakit medis.
       • Episode akut sering mempunyai prognosis yang baik, tetapi
         perjalanan penyakit jangka panjang sulit diprediksi. Pengobatan
         perlu dilanjutkan meskipun setelah gejala mereda.
       • Gejala-gejala dapat hilang timbul. Diperlukan antisipasi dalam
         menghadapi kekambuhan. Obat merupakan komponen utama
         dalam pengobatan. Minum obat secara teratur akan mengurangi
         gejala-gejala dan mencegah kekambuhan.
       • Dukungan keluarga penting untuk ketaatberobatan (compliance)
         dan rehabilitasi.
       • Organisasi masyarakat dapat menyediakan dukungan yang
          berharga untuk pasien dan keluarga.
   2. Konseling pasien dan keluarga
      • Bicarakan rencana pengobatan dengan anggota keluarga dan
         minta dukungan mereka. Terangkan bahwa minum obat secara
         teratur dapat mencegah kekambuhan. Informasikan bahwa obat
         tidak dapat dikurangi atau dihentikan tiba-tiba tanpa persetujuan
        dokter. Informasikan juga tentang efek samping yang mungkin
         timbul dan cara penanggulangannya.
      • Dorong pasien untuk melakukan fungsinya dengan seoptimal
         mungkin di pekerjaan dan aktivitas harian lain.
      • Dorong pasien untuk menghargai norma dan harapan masyarakat
        (berpakaian, berpenampilan dan berperilaku pantas).
      • Menjaga keselamatan pasien dan orang yang merawatnya pada
        fase akut:
                a) Keluarga atau teman harus menjaga pasien.
                b) Pastikan kebutuhan dasar terpenuhi (misalnya makan dan
                     minum).
                c) Jangan sampai mencederai pasien.
      • Meminimalisasi stres dan stimulasi:
               a) Jangan mendebat pikiran psikotik (anda boleh tidak setuju
                   dengan keyakinan pasien, tetapi jangan mencoba untuk
                   membantah bahwa pikiran itu salah). Sedapat mungkin
                   hindari konfrontasi dan kritik.
               b) Selama masa gejala-gejala menjadi lebih berat, istirahat dan
                   menghindari stres dapat bermanfaat.
      • Agitasi yang berbahaya untuk pasien, keluarga dan masyarakat
         memerlukan rawat inap atau pengamatan ketat di tempat yang
         aman.

b. Farmakologi
1. Berikan obat antipsikotik:
    Haloperidol 2-3 x 2-5 mg/hari atau
    Risperidon 2x 1-3 mg/hari atau
    Klorpromazin 2-3 x 100-200mg/hari.
    Untuk haloperidol dan risperidon dapat digabungkan
    dengan benzodiazepin (contoh: diazepam 2-3 x 5 mg, lorazepam 1-3 x
    1-2 mg) untuk mengurangi agitasi dan memberikan efek sedasi.
     Benzodiazepin dapat ditappering-off setelah 2-4 minggu.
     Catatan: klorpromazin memiliki efek samping hipotensi ortostatik.
2. Intervensi sementara untuk gaduh gelisah dapat diberikan injeksi
    intra muskular haloperidol kerja cepat (short acting) 5 mg, dapat
    diulangi dalam 30 menit - 1 jam jika belum ada perubahan yang
    signifikan, dosis maksimal 30 mg/hari. Atau dapat juga dapat
    diberikan injeksi intra muskular klorpromazin 2-3 x 50 mg. Untuk
    pemberian haloperidol dapat diberikan tambahan injeksi intra
    muskular diazepam untuk mengurangi dosis antipsikotiknya dan
    menambah efektivitas terapi. Setelah stabil segera rujuk ke RS/RSJ.
3. Untuk pasien psikotik kronis yang tidak taat berobat, dapat
    dipertimbangkan untuk pemberian injeksi depo (jangka panjang)
    antipsikotik seperti haloperidol decanoas 50 mg atau fluphenazine
    decanoas 25 mg. Berikan injeksi I.M ½ ampul terlebih dulu untuk 2
    minggu, selanjutnya injeksi 1 ampul untuk 1 bulan. Obat oral jangan
    diberhentikan dahulu selama 1-2 bulan, sambil dimonitor efek
    samping, lalu obat oral turunkan perlahan.
4. Jika timbul efek samping ekstrapiramidal seperti tremor, kekakuan,
    akinesia, dapat diberikan triheksifenidil 2-4 x 2 mg; jika timbul
    distonia akut berikan injeksi diazepam atau difenhidramin, jika
    timbul akatisia (gelisah, mondar mandir tidak bisa berhenti bukan
    akibat gejala) turunkan dosis antipsikotik dan berikan beta-blocker,
    propranolol 2-3 x 10-20 mg.

c. Kunjungan Rumah (home visit)
    Kunjungan rumah dilakukan sesuai indikasi untuk:
    1. Memastikan kepatuhan dan kesinambungan pengobatan
    2. Melakukan asuhan keperawatan
    3. Melakukan pelatihan bagi pelaku rawat

Kriteria Rujukan

a. Pada kasus baru dapat dirujuk untuk konfirmasi diagnostik ke
    fasyankes sekunder yang memiliki pelayanan kesehatan jiwa setelah
    dilakukan penatalaksanaan awal.
b. Kondisi gaduh gelisah yang membutuhkan perawatan inap karena
    berpotensi membahayakan diri atau orang lain segera dirujuk setelah
    penatalaksanaan awal.

Sarana Prasarana

Alat restraint (fiksasi), alat transportasi untuk merujuk (bila tersedia).

Prognosis

Untuk ad Vitam adalah ad bonam, ad fungsionam adalah dubia, dan ad
sanationam adalah dubia.



Sumber gambar :  http://www.istanafm.com/wp-content/uploads/2014/05/orang-gila.jpg

Thursday, 25 December 2014

GANGGUAN CAMPURAN ANXIETAS DAN DEPRESI

Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi


No. ICPC II : P74 Anxiety Disorder (anxiety state)
No. ICD X : F41.2 Mixed Anxiety and Depression Disorder
Tingkat Kemampuan: 3A

Masalah Kesehatan

Gangguan yang ditandai oleh adanya gejala-gejala anxietas (kecemasan) dan
depresi bersama-sama, dan masing-masing gejala tidak menunjukkan
rangkaian gejala yang cukup berat untuk dapat ditegakkannya suatu
diagnosis tersendiri. Untuk gejala anxietas, beberapa gejala autonomik harus
ditemukan, walaupun tidak terus menerus, di samping rasa cemas atau
khawatir berlebihan.

Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Biasanya pasien datang dengan keluhan fisik seperti: nafas pendek/cepat,
berkeringat, gelisah, gangguan tidur, mudah lelah, jantung berdebar,
gangguan lambung, diare, atau bahkan sakit kepala yang disertai dengan rasa
cemas/khawatir berlebihan.

Allo dan Auto Anamnesis tambahan:
a. Adanya gejala seperti minat dalam melakukan aktivitas/semangat yang
    menurun, merasa sedih/murung, nafsu makan berkurang atau
    meningkat berlebihan, sulit berkonsentrasi, kepercayaan diri yang
    menurun, pesimistis.
b. Keluhan biasanya sering terjadi, atau berlangsung lama, dan terdapat
    stresor kehidupan.
c. Menyingkirkan riwayat penyakit fisik dan penggunaan zat (alkohol,
    tembakau, stimulan, dan lain-lain

Faktor Risiko
a. Adanya faktor biologis yang mempengaruhi, antara lain hiperaktivitas
    sistem noradrenergik, faktor genetik.
b. Ciri kepribadian tertentu yang imatur dan tidak fleksibel, seperti ciri
    kepribadian dependen, skizoid, anankastik, cemas menghindar.
c. Adanya stresor kehidupan.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
Respirasi meningkat, tekanan darah dapat meningkat, dan tanda lain sesuai
keluhan fisiknya.

Pemeriksaan penunjang
Laboratorium dan penunjang lainnya tidak ditemukan adanya tanda yang
bermakna. Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk menyingkirkan
diagnosis banding sesuai keluhan fisiknya.

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Kriteria diagnosis berdasarkan ICD 10, yaitu: adanya gejala-gejala kecemasan
dan depresi yang timbul bersama-sama, dan masing-masing gejala tidak
menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk dapat ditegakkannya
suatu diagnosis tersendiri.
a. Gejala-gejala kecemasan antara lain:
   1. Kecemasan atau khawatir berlebihan, sulit berkonsentrasi
   2. Ketegangan motorik: gelisah, sakit kepala, gemetaran, tegang, tidak
       dapat santai
   3. Aktivitas autonomik berlebihan: palpitasi, berkeringat berlebihan,
       sesak nafas, mulut kering,pusing, keluhan lambung, diare.
b. Gejala-gejala depresi antara lain:
   1. Suasana perasaan sedih/murung.
   2. Kehilangan minat/kesenangan (menurunnya semangat dalam
       melakukan aktivitas)
   3. Mudah lelah
   4. Gangguan tidur
   5. Konsentrasi menurun
   6. Gangguan pola makan
   7. Kepercayaan diri yang berkurang
   8. Pesimistis
   9. Rasa tidak berguna/rasa bersalah

Diagnosis Banding
a. Gangguan Cemas (Anxietas) Organik
b. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat
c. Gangguan Depresi
d. Gangguan Cemas Menyeluruh
e. Gangguan Panik
f. Gangguan Somatoform

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a. Non-farmakologi
   1. Konseling dan edukasi pada pasien dan keluarga
       • Karena gangguan campuran cemas depresi dapat mengganggu
         produktivitas pasien, keluarga perlu memahami bahwa hal ini
         bukan karena pasien malas atau tidak mau mengerjakan
         tugasnya, melainkan karena gejala-gejala penyakitnya itu sendiri,
         antara lain mudah lelah serta hilang energi. Oleh sebab itu,
         keluarga perlu memberikan dukungan agar pasien mampu dan
         dapat mengatasi gejala penyakitnya.
       • Gangguan campuran anxietas dan depresi kadang-kadang
         memerlukan pengobatan yang cukup lama, diperlukan dukungan
         keluarga untuk memantau agar pasien melaksanakan
         pengobatan dengan benar, termasuk minum obat setiap hari.
   2. Intervensi Psikososial
      • Lakukan penentraman (reassurance) dalam komunikasi
         terapeutik, dorong pasien untuk mengekspresikan pikiran
         perasaan tentang gejala dan riwayat gejala.
      • Beri penjelasan adanya pengaruh antara faktor fisik dan
         psikologis, termasuk bagaimana faktor perilaku, psikologik dan
         emosi berpengaruh mengeksaserbasi gejala somatik yang
         mempunyai dasar fisiologik.
      • Bicarakan dan sepakati rencana pengobatan dan follow-up,
         bagaimana menghadapi gejala, dan dorong untuk kembali ke
         aktivitas normal.
      • Ajarkan teknik relaksasi (teknik nafas dalam)
      • Anjurkan untuk berolah raga teratur atau melakukan aktivitas
         yang disenangi serta menerapkan perilaku hidup sehat.
      • Ajarkan untuk selalu berpikir positif dan manajemen stres
         dengan baik.

b. Farmakologi:
   1. Untuk gejala kecemasan maupun depresinya, diberikan antidepresan
       dosis rendah, dapat dinaikkan apabila tidak ada perubahan yang
       signifikan setelah 2-3 minggu:
       fluoksetin 1x10-20 mg/hari atau
       sertralin 1x25-50 mg/hari atau
       amitriptilin 1x12,5-50 mg/hari atau
       imipramin1-2x10-25 mg/hari.
       Catatan: amitriptilin dan imipramin tidak boleh diberikan
       pada pasien dengan penyakit jantung, dan pemberian berhati-hati
       untuk pasien lansia karena efek hipotensi ortostastik
       (dimulai dengan dosis minimal efektif).
   2. Pada pasien dengan gejala kecemasan yang lebih dominan dan atau
       dengan gejala insomnia dapat diberikan kombinasi Fluoksetin atau
       sertralin dengan antianxietas benzodiazepin. Obat-obatan
       antianxietas jenis benzodiazepin yaitu: diazepam 1 x 2-5 mg atau
        lorazepam 1-2x0,5-1 mg atau klobazam 2 x 5-10 mg atau alprazolam
       2 x 0,25-0,5mg. Setelah kira-kira 2-4 minggu benzodiazepin
       ditappering-off perlahan, sementara antidepresan diteruskan hingga
       4-6 bulan sebelum di tappering-off. Hati-hati potensi penyalahgunaan
       pada alprazolam karena waktu paruh yang pendek.

Kriteria Rujukan

Pasien dapat dirujuk setelah didiagnosis mengalami gangguan ini, terutama
apabila gejala progresif dan makin bertambah berat yang menunjukkan gejala
depresi seperti pasien menolak makan, tidak mau merawat diri, ada
ide/tindakan bunuh diri; atau jika tidak ada perbaikan yang signifikan dalam
2-3 bulan terapi.

Sarana Prasarana

Tidak ada sarana prasarana khusus.

Prognosis

Pada umumnya prognosis gangguan ini adalah bonam.




Sumber gambar :  http://obatdepresi.com/wp-content/uploads/2012/09/depresi-hamilthebill-dalam.jpg

Wednesday, 24 December 2014

DEMENSIA (PIKUN)

Demensia




No. ICPC II : P70 Dementia
No. ICD X : F03 Unspecified dementia
Tingkat Kemampuan: 3A

Masalah Kesehatan

Demensia merupakan sindrom akibat penyakit otak yang bersifat kronik
progresif, ditandai dengan kemunduran fungsi kognitif multiple, termasuk
daya ingat (memori), daya pikir, daya tangkap (komprehensi), kemampuan
belajar, orientasi, kalkulasi, visuospasial, bahasa dan daya nilai. Gangguan
kognitif biasanya diikuti dengan deteriorasi dalam kontrol emosi, hubungan
sosial dan motivasi.
Pada umumnya terjadi pada usia lanjut, ditemukan pada
penyakit Alzhaimer, penyakit serebrovaskular, dan kondisi lain yang secara
primer dan sekunder mempengaruhi otak.

Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Keluhan utama adalah gangguan daya ingat, mudah lupa terhadap kejadian
yang baru dialami, dan kesulitan mempelajari informasi baru. Diawali dengan
sering lupa terhadap kegiatan rutin, lupa terhadap benda-benda kecil, pada
akhirnya lupa mengingat nama sendiri atau keluarga.

Faktor Risiko
  a. Usia > 60 tahun (usia lanjut).
  b. Riwayat keluarga.
  c. Adanya penyakit Alzheimer, serebrovaskular (hipertensi, penyakit
      jantung), atau diabetes mellitus.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

 

Pemeriksaan Fisik
a. Kesadaran sensorium baik.
b. Penurunan daya ingat yang bersifat kronik dan progresif. Gangguan
    fungsi otak terutama berupa gangguan fungsi memori dan bahasa,
    seperti afasia, aphrasia, serta adanya kemunduran fungsi kognitif
    eksekutif.
c. Dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya gangguan
    neurologik atau penyakit sistemik

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan jika ada kecurigaan adanya kondisi
medis yang menimbulkan dan memperberat gejala. Dapat dilakukan Mini
Mental State Examination (MMSE).

Penegakan Diagnosis (Assessment)

 

DiagnosisKlinis
Pemeriksaan dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.

Kriteria Diagnosis

a. Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir yang sampai
    mengganggu kegiatan harian seseorang
b. Tidak ada gangguan kesadaran
c. Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit enam bulan

Klasifikasi

a. Demensia pada penyakit Alzheimer
    
b. Demensia Vaskular (Demensia multiinfark)
c. Demensia pada penyakit Pick (Sapi Gila)
d. Demensia pada penyakit Creufield-Jacob
e. Demensia pada penyakit Huntington
f. Demensia pada penyakit Parkinson
g. Demensia pada penyakit HIV/AIDS
h. Demensia tipe Alzheimer prevalensinya paling besar (50-60%), disusul
    demensia vaskular (20-30%)

Diagnosis Banding

a. Delirium
b. Depresi
c. Gangguan Buatan
d. Skizofrenia

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

 

Penatalaksanaan
a. Non farmakologi
   1. Modifikasi faktor resiko yaitu kontrol penyakit fisik, lakukan aktifitas
       fisik sederhana seperti senam otak, stimulasi kognitif dengan
       permintaan, kuis, mengisi teka-teki silang, bermain catur.
   2. Modifikasi lingkungan sekitar agar lebih nyaman dan aman bagi
       pasien.
   3. Rencanakan aktivitas hidup sehari-hari (mandi, makan, dan lain-lain)
       untuk mengoptimalkan aktivitas independen, meningkatkan fungsi,
       membantu adaptasi dan mengembangkan keterampilan, serta
       meminimalisasi kebutuhan akan bantuan.
  4. Ajarkan kepada keluarga agar dapat membantu mengenal barang
      milik pribadinya, mengenal waktu dengan menggunakan jam besar,
      kalender harian, dapat menyebutkan namanya dan anggota keluarga
      terdekat, mengenal lingkungan sekitar, beri pujian jika dapat
      menjawab dengan benar, bicara dengan kalimat sederhana dan jelas
      (satu atau dua tahap saja), bila perlu gunakan isyarat atau sentuhan
      lembut.
b. Farmakologi
   1. Jangan berikan inhibitor asetilkolinesterase (seperti: donepzil,
       galantamine dan rivastigmine) atau memantine secara rutin untuk
       semua kasus demensia. Pertimbangkan pemberiannya hanya pada
       kondisi yang memungkinkan diagnosis spesifik penyakit Alzheimer
       ditegakkan dan tersedia dukungan serta supervisi adekuat oleh
       spesialis serta pemantauan efek samping oleh pelaku rawat.
   2. Bila pasien berperilaku agresif, dapat diberikan antipsikotik dosis
       rendah, seperti: Haloperidol 0,5 – 1 mg/hari.

Kriteria Rujukan

a. Pasien dirujuk untuk konfirmasi diagnosis dan penatalaksanaan
    lanjutan.
b. Apabila pasien menunjukkan gejala agresifitas dan membahayakan
    dirinya atau orang lain.

Sarana Prasarana:

Tidak ada sarana prasarana khusus

Prognosis

Prognosis umumnya ad vitam adalah dubia ad bonam, sedangkan fungsi
adalah dubia ad malam. Ad sanationam adalah ad malam.



 Sumber gambar :
 http://www.aktual.co/images/content/2013/04/20/ab54f1b22f55a64260f1096ac4953fca_a.jpg
 https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcR-vMWC9KtdaFlTfHQrpFe5zum5cLyZXTfAmvJYB9mGDYZFuCiWEQ

Friday, 28 November 2014

INSOMNIA (SUSAH TIDUR)

Insomnia

No. ICPC II : P06 Sleep disturbance
No. ICD X : G47.0 Disorders of initiating and maintaining sleep (insomnias)
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Insomnia adalah gejala atau gangguan dalam tidur, dapat berupa kesulitan
berulang untuk mencapai tidur, atau mempertahankan tidur yang optimal,
atau kualitas tidur yang buruk. Pada kebanyakan kasus, gangguan tidur
adalah salah satu gejala dari gangguan lainnya, baik mental (psikiatrik) atau
fisik. Secara umum lebih baik membuat diagnosis gangguan tidur yang
spesifik bersamaan dengan diagnosis lain yang relevan untu menjelaskan
secara adekuat psikopatologi dan atau patofisiologinya.

Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Sulit masuk tidur, sering terbangun di malam hari atau mempertahankan
tidur yang optimal, atau kualitas tidur yang buruk.

Faktor Risiko
a. Adanya gangguan organik (seperti gangguan endokrin, penyakit
    jantung).
b. Adanya gangguan psikiatrik seperti gangguan psikotik, gangguan
    depresi, gangguan cemas, dan gangguan akibat zat psikoaktif.
 
Faktor Predisposisi
a. Sering bekerja di malam hari .
b. Jam kerja tidak stabil.
c. Penggunaan alkohol, cafein atau zat adiktif yang berlebihan.
d. Efek samping obat.
e. Kerusakan otak, seperti: encephalitis, stroke, penyakit Alzheimer

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
Pada status generalis, pasien tampak lelah dan mata cekung. Bila terdapat
gangguan organik, ditemukan kelainan pada organ.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan spesifik tidak diperlukan.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis.

Pedoman Diagnosis

a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur
    atau kualitas tidur yang buruk
b. Gangguan terjadi minimal tiga kali seminggu selama minimal satu
    bulan.
c. Adanya preokupasi tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap
    akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari.
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur
    menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi
    dalam sosial dan pekerjaan.

Diagnosis Banding

a. Gangguan psikiatri.
b. Gangguan medik umum.
c. Gangguan neurologis.
d. Gangguan lingkungan.
e. Gangguan ritme sirkadian.

Komplikasi

Dapat terjadi penyalahgunaan zat.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a. Pasien diberikan penjelasan tentang faktor-faktor risiko yang dimilikinya
    dan pentingnya untuk memulai pola hidup yang sehat dan mengatasi
    masalah yang menyebabkan terjadinya insomnia.
b. Untuk obat-obatan, pasien dapat diberikan Lorazepam 0,5 – 2 mg atau
    Diazepam 2 - 5 mg pada malam hari. Pada orang yang berusia lanjut
    atau mengalami gangguan medik umum diberikan dosis minimal efektif.
 
Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga agar mereka dapat
memahami tentang insomnia dan dapat menghindari pemicu terjadinya
insomnia.

Kriteria Rujukan

Apabila setelah 2 minggu pengobatan tidak menunjukkan perbaikan, atau
apabila terjadi perburukan walaupun belum sampai 2 minggu, pasien dirujuk
ke fasilitas kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis kedokteran
jiwa.

Sarana Prasarana

Tidak ada sarana prasarana khusus

Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam

Tuesday, 25 November 2014

TENSION HEADACHE (SAKIT KEPALA TEGANG)

Tension Headache


No. ICPC II : N95 Tension Headache
No. ICD X : G44.2 Tension–type headache
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Tension Headache atau Tension Type Headache (TTH) atau nyeri kepala tipe
tegang adalah bentuk sakit kepala yang paling sering dijumpai dan sering
dihubungkan dengan jangka waktu dan peningkatan stres. Sebagian besar
tergolong dalam kelompok yang mempunyai perasaan kurang percaya diri,
selalu ragu akan kemampuan diri sendiri dan mudah menjadi gentar dan
tegang. Pada akhirnya, terjadi peningkatan tekanan jiwa dan penurunan
tenaga. Pada saat itulah terjadi gangguan dan ketidakpuasan yang
membangkitkan reaksi pada otot-otot kepala,leher, bahu, serta vaskularisasi
kepala sehingga timbul nyeri kepala.

Nyeri kepala ini lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki
dengan perbandingan 3:1. TTH dapat mengenai semua usia, namun sebagian
besar pasien adalah dewasa muda yang berusiasekitar antara 20-40 tahun.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan nyeri yang tersebar secara difus dan sifat
nyerinya mulai dari ringan hingga sedang.Nyeri kepala tegang otot biasanya
berlangsung selama 30 menit hingga 1 minggu penuh. Nyeri bisa dirasakan
kadang-kadang atau terus menerus. Nyeri pada awalnya dirasakan pasien
pada leher bagian belakang kemudian menjalar ke kepala bagian belakang
selanjutnya menjalar ke bagian depan. Selain itu, nyeri ini jugadapat menjalar
ke bahu. Nyeri kepala dirasakan seperti kepala berat, pegal, rasa kencang
pada daerah bitemporal dan bioksipital, atau seperti diikat di sekeliling kepala.
Nyeri kepala tipe ini tidak berdenyut.
Pada nyeri kepala ini tidak disertai mual ataupun muntah tetapi anoreksia
mungkin saja terjadi. Gejala lain yang juga dapat ditemukan seperti insomnia
(gangguan tidur yang sering terbangun atau bangun dini hari), nafas pendek,
konstipasi, berat badan menurun, palpitasi dan gangguan haid.
Pada nyeri kepala tegang otot yang kronis biasanya merupakan manifestasi
konflik psikologis yang mendasarinya seperti kecemasan dan depresi.

Faktor Risiko: -

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
Tidak ada pemeriksaan fisik yang berarti untuk mendiagnosis nyeri
kepalategang otot ini. Pada pemeriksaan fisik, tanda vital harus normal,
pemeriksaan neurologis normal.
Pemeriksaan yang dilakukan berupa pemeriksaan kepala dan leher serta
pemeriksaan neurologis yang meliputi kekuatan motorik, refleks, koordinasi,
dansensoris.
Pemeriksaan mata dilakukan untuk mengetahui adanya peningkatan tekanan
pada bola mata yang bisa menyebabkan sakit kepala.
Pemeriksaan daya ingat jangka pendek dan fungsi mental pasien juga
dilakukan dengan menanyakan beberapa pertanyaan. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk menyingkirkan berbagai penyakit yang serius yang memiliki
gejala nyeri kepala seperti tumor atau aneurisma dan penyakit lainnya.
 
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
normal. Anamnesis yang mendukung adalah adanya faktor psikis yang
melatar belakangi dan karakteristik gejala nyeri kepala (tipe, lokasi, frekuensi
dan durasi nyeri) harus jelas.
 
Klasifikasi
Menurut lama berlangsungnya, nyeri kepala tegang otot ini dibagi
menjadinyeri kepala episodik jika berlangsungnya kurang dari 15 hari dengan
serangan yang terjadi kurang dari1 hari perbulan (12 hari dalam 1 tahun).
Apabila nyeri kepala tegang otot tersebut berlangsung lebih dari 15 hari
selama 6 bulan terakhir dikatakan nyeri kepala tegang otot kronis.

Diagnosis Banding

a. Migren
b. Cluster-type hedache (nyeri kepala kluster)

Komplikasi : -

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Pembinaan hubungan empati awal yang hangat antara dokter dan
    pasien merupakan langkah pertama yang sangat penting untuk
    keberhasilan pengobatan. Penjelasan dokter yang meyakinkan pasien
    bahwa tidak ditemukan kelainan fisik dalam rongga kepala atau
    otaknya dapat menghilangkan rasa takut akan adanya tumor otak atau
    penyakit intrakranial lainnya. Penilaian adanya kecemasan atau depresi
    harus segera dilakukan. Sebagian pasien menerima bahwa kepalanya
    berkaitan dengan penyakit depresinya dan bersedia ikut program
    pengobatan sedangkan pasien lain berusaha menyangkalnya. Oleh
    sebab itu, pengobatan harus ditujukan kepada penyakit yang mendasari
    dengan obat anti cemas atau anti depresi serta modifikasi pola hidup
    yang salah, disamping pengobatan nyeri kepalanya.
b. Saat nyeri timbul dapat diberikan beberapa obat untuk menghentikan
    atau mengurangi sakit yang dirasakan saat serangan muncul.
    Penghilang sakit yang sering digunakan adalah: acetaminophen dan
    NSAID seperti aspirin, ibuprofen, naproxen,dan ketoprofen. Pengobatan
    kombinasi antara acetaminophen atau aspirin dengan kafein atau obat
    sedatif biasa digunakan bersamaan. Cara ini lebih efektif untuk
    menghilangkan sakitnya, tetapi jangan digunakan lebih dari 2 hari
    dalam seminggu dan penggunaannya harus diawasi oleh dokter.
c. Pemberian obat-obatan antidepresi yaitu amitriptilin
    Tabel 37. Analgesik nonspesifik untuk TTH

    * Respon terapi dalam 2 jam (nyeri kepala residual menjadi ringan atau hilang dalam
       2 jam).

Konseling dan Edukasi
a. Keluarga ikut meyakinkan pasien bahwa tidak ditemukan kelainan fisik
    dalam rongga kepala atau otaknya dapat menghilangkan rasa takut
    akan adanya tumor otak atau penyakit intrakranial lainnya.
b. Keluarga ikut membantu mengurangi kecemasan atau depresi pasien,
    serta menilai adanya kecemasan atau depresi pada pasien.

Kriteria Rujukan

a. Bila nyeri kepala tidak membaik maka dirujuk ke fasilitas pelayanan
    kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf.
b. Bila depresi berat dengan kemungkinan bunuh diri maka pasien harus
    dirujuk ke pelayanan sekunder yang memiliki dokter spesialis jiwa.

Sarana Prasarana

Obat analgetik

Prognosis

Prognosis umumnya bonam karena dapat terkendali dengan pengobatan
pemeliharaan.

BELL'S PALSY

Bells’ Palsy

 



No. ICPC II : N91 Facial paralysis/Bells’ palsy
No. ICD X : G51.0 Bells’ palsy
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Bells’palsy adalah paralisis fasialis idiopatik, merupakan penyebab tersering
dari paralisis fasialis unilateral. Bells’ palsy merupakan kejadian akut,
unilateral, paralisis saraf fasial type LMN (perifer), yang secara gradual
mengalami perbaikan pada 80-90% kasus.

Penyebab Bells’ palsy tidak diketahui, diduga penyakit ini bentuk polineuritis
dengan kemungkinan virus, inflamasi, auto imun dan etiologi iskemik.
Peningkatan kejadian berimplikasi pada kemungkinan infeksi HSV type I dan
reaktivasi herpes zoster dari ganglia nervus kranialis.

Bells’ palsy merupakan satu dari penyakit neurologis tersering yang
melibatkan saraf kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus
paralisis fasialis unilateral akut) paralisis fasial di dunia.
Bells’ palsy lebih sering ditemukan pada usia dewasa, orang dengan DM, dan
wanita hamil.

Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Pasien datang dengan keluhan:
a. Paralisis otot fasialis atas dan bawah unilateral, dengan onset akut
   (periode 48 jam)
b. Nyeri auricular posterior
c. Penurunan produksi air mata
d. Hiperakusis
e. Gangguan pengecapan
f. Otalgia

Gejala awal:
a. Kelumpuhan muskulus fasialis
b. Tidak mampu menutup mata
c. Nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%)
d. Perubahan pengecapan (57%)
e. Hiperakusis (30%)
f. Kesemutan pada dagu dan mulut
g. Epiphora
h. Nyeri ocular
i. Penglihatan kabur

Onset
Onset Bells’ palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari 48
jam. Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir atau menakutkan
pasien, sering mereka berpikir terkena stroke atau terdapat tumor dan distorsi
wajah akan permanen. Karena kondisi ini terjadi secara mendadak dan cepat,
pasien sering datang langsung ke IGD. Kebanyakan pasien mencatat paresis
terjadi pada pagi hari. Kebanyakan kasus paresis mulai terjadi selama pasien
tidur.

Faktor Risiko: -

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung dan mulut harus
dilakukan pada semua pasien dengan paralisis fasial.
a. Kelemahan atau paralisis yang melibatkan saraf fasial (N VII) melibatkan
    kelemahan wajah satu sisi (atas dan bawah). Pada lesi UMN (lesi supra
    nuclear di atas nukleus pons), 1/3 wajah bagian atas tidak mengalami
    kelumpuhan. Muskulus orbikularis, frontalis dan korrugator diinervasi
    bilateral pada level batang otak. Inspeksi awal pasien memperlihatkan
    lipatan datar pada dahi dan lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan.
b. Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan terjadi distorsi dan
    lateralisasi pada sisi berlawanan dengan kelumpuhan.
c. Pada saat pasien diminta untuk mengangkat alis, sisi dahi terlihat datar.
d. Pasien juga dapat melaporkan peningkatan salivasi pada sisi yang
    lumpuh.

 




















Jika paralisis melibatkan hanya wajah bagian bawah, penyebab sentral harus
dipikirkan (supranuklear). Jika pasien mengeluh kelumpuhan kontra lateral
atau diplopia berkaitan dengan kelumpuhan fasial kontralateral supranuklear,
stroke atau lesi intra serebral harus sangat dicurigai.

Jika paralisis fasial onsetnya gradual, kelumpuhan pada sisi kontralateral,
atau ada riwayat trauma dan infeksi, penyebab lain dari paralisis fasial harus
sangat dipertimbangkan.

Progresifitas paresis masih mungkin,namun biasanya tidak memburuk pada
hari ke 7 sampai 10. Progresifitas antara hari ke 7-10 dicurigai diagnosis yang
berbeda.

Pasien dengan kelumpuhan fasial bilateral harus dievaluasi sebagai Sindroma
Guillain-Barre, penyakit Lyme, dan meningitis.

Manifestasi Okular
Komplikasi okular awal:
a. Lagophthalmos (ketidakmampuan untuk menutup mata total)
b. Corneal exposure
c. Retraksi kelopak mata atas
d. Penurunan sekresi air mata
e. Hilangnya lipatan nasolabial
f. Erosi kornea, infeksi dan ulserasi (jarang)

Manifestasi okular lanjut
a. Ringan: kontraktur pada otot fasial, melibatkan fisura palpebral.
b. Regenerasi aberan saraf fasialis dengan sinkinesis motorik.
c. Sinkinesis otonom (air mata buaya-tetes air mata saat mengunyah).
d. Dua pertiga pasien mengeluh masalah air mata. Hal ini terjadi karena
    penurunan fungsi orbicularis okuli dalam mentransport air mata.

Nyeri auricular posterior
Separuh pasien dengan Bells’ palsy mengeluh nyeri auricular posterior. Nyeri
sering terjadi simultan dengan paresis, tapi nyeri mendahului paresis 2-3 hari
sekitar pada 25% pasien. Pasien perlu ditanyakan apakah ada riwayat trauma,
yang dapat diperhitungkan menyebabkan nyeri dan paralisis fasial. Sepertiga
pasien mengalami hiperakusis pada telinga ipsilateral paralisis, sebagai akibat
kelumpuhan sekunder otot stapedius.

Gangguan pengecapan
Walaupun hanya sepertiga pasien melaporkan gangguan pengecapan, sekitar
80% pasien menunjukkan penurunan rasa pengecapan.
Kemungkinan pasien gagal mengenal penurunan rasa, karena sisi lidah yang
lain tidak mengalami gangguan. Penyembuhan awal pengecapan
mengindikasikan penyembuhan komplit.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium darah: Gula darah sewaktu

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan
neurologis (saraf kranialis, motorik, sensorik, serebelum). Bells’ palsy adalah
diagnosis eksklusi.
Gambaran klinis penyakit yang dapat membantu membedakan dengan
penyebab lain dari paralisis fasialis:
a. Onset yang mendadak dari paralisis fasial unilateral
b. Tidak adanya gejala dan tanda pada susunan saraf pusat, telinga, dan
     penyakit cerebellopontin angle.


Jika terdapat kelumpuhan pada saraf kranial yang lain, kelumpuhan motorik
dan gangguan sensorik, maka penyakit neurologis lain harus dipikirkan
(misalnya: stroke, GBS, meningitis basilaris, tumor Cerebello Pontine Angle).
Gejala tumor biasanya kronik progresif. Tumor CPA dapat melibatkan paralisis
saraf VII, VIII, dan V. Pasien dengan paralisis progresif saraf VII lebih lama dari
3 minggu harus dievaluasi sebagai neoplasma.

Klasifikasi
Sistem grading ini dikembangkan oleh House and Brackmann dengan skala I
sampai VI.
a. Grade I adalah fungsi fasial normal.
b. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
    1. Kelemahan ringan saat diinspeksi mendetil.
    2. Sinkinesis ringan dapat terjadi.
    3. Simetris normal saat istirahat.
    4. Gerakan dahi sedikit sampai baik.
    5. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit usaha.
    6. Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.
c. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karekteristik:
    1. Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal.
    2. Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat
       ditemukan.
    3. Simetris normal saat istirahat.
    4. Gerakan dahi sedikit sampai moderat.
    5. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha.
    6. Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal.
d. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai berat, dengan tandanya
    sebagai berikut:
    1. Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.
    2. Simetris normal saat istirahat.
    3. Tidak terdapat gerakan dahi.
    4. Mata tidak menutup sempurna.
    5. Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal.
e. Grade V adalah disfungsi berat. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
    1. Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan.
    2. Asimetris juga terdapat pada saat istirahat.
    3. Tidak terdapat gerakan pada dahi.
    4. Mata menutup tidak sempurna.
    5. Gerakan mulut hanya sedikit.
f. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya yaitu:
    1. Asimetris luas.
    2. Tidak ada gerakan.

Dengan sistem ini, grade I dan II menunjukkan hasil yang baik, grade III dan
IV terdapat disfungsi moderat, dan grade V dan VI menunjukkan hasil yang
buruk. Grade VI disebut dengan paralisis fasialis komplit. Grade yang lain
disebut sebagai inkomplit. Paralisis fasialis inkomplit dinyatakan secara
anatomis dan dapat disebut dengan saraf intak secara fungsional. Grade ini
seharusnya dicatat pada rekam medik pasien saat pertama kali datang
memeriksakan diri.

Diagnosis Banding

Penyakit-penyakit berikut dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, yaitu:
a. Acoustic neuroma danlesi cerebellopontine angle.
b. Otitis media akut atau kronik.
c. Amiloidosis.
d. Aneurisma A. vertebralis, A. basilaris, atau A. carotis.
e. Sindroma autoimun.
f. Botulismus.
g. Karsinomatosis.
h. Penyakit carotid dan stroke, termasuk fenomena emboli.
i. Cholesteatoma telinga tengah.
j. Malformasi congenital.
k. Schwannoma N. Fasialis.
l. Infeksi ganglion genikulatum

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
Karena prognosis pasien dengan Bells’ palsy umumnya baik, pengobatan
masih kontroversi. Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII
(saraf fasialis) dan menurunkan kerusakan saraf.

Pengobatan dipertimbangkan untuk pasien dalam 1-4 hari onset.
Hal penting yang perlu diperhatikan:
a. Pengobatan inisial
    1. Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk
       pengobatan Bells’ palsy (American Academy Neurology/AAN, 2011).
    2. Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan
       fungsi saraf kranial, jika diberikan pada onset awal (ANN, 2012).
    3. Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/day selama 6
       hari, diikuti penurunan bertahap total selama 10 hari.
    4. Antiviral: asiklovir diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari
       selama 10 hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800
       mg oral 5 kali/hari.
b. Lindungi mata
    Perawatan mata: lubrikasi okular topikal (artifisial air mata pada siang
    hari) dapat mencegah corneal exposure.
c. Fisioterapi atau akupunktur: dapat mempercepat perbaikan dan
    menurunkan sequele.

Rencana Tindak Lanjut

Pemeriksaan kembali fungsi nervus facialis untuk memantau perbaikan
setelah pengobatan.

Kriteria Rujukan

a. Bila dicurigai kelainan supranuklear
b. Tidak menunjukkan perbaikan

Sarana Prasarana

a. Palu reflex
b. Kapas
c. Obat steroid
d. Obat antiviral

Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam, kondisi terkendali dengan pengobatan
pemeliharaan.


Sumber gamabar : http://www.moveforwardpt.com/image.axd?id=e834ea63-ab87-4fb4-a384-29b7b7507045&t=634796060478870000
http://31.media.tumblr.com/tumblr_m9p1w05w3L1rn6pqko1_1280.gif

Saturday, 22 November 2014

MIGREN

Migren

No. ICPC II : N89 Migraine
No. ICD X : G43.9 Migraine, unspecified
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Migren adalah suatu istilah yang digunakan untuk nyeri kepala primer dengan
kualitas vaskular (berdenyut), diawali unilateral yang diikuti oleh mual,
fotofobia, fonofobia, gangguan tidur dan depresi. Serangan seringkali berulang
dan cenderung tidak akan bertambah parah setelah bertahun-tahun. Migren
bila tidak diterapi akan berlangsung antara 4-72 jam dan yang klasik terdiri
atas 4 fase yaitu fase prodromal (kurang lebih 25 % kasus), fase aura (kurang
lebih 15% kasus), fase nyeri kepala dan fase postdromal.

Pada wanita migren lebih banyak ditemukan dibanding pria dengan skala 2:1.
Wanita hamil tidak luput dari serangan migren, pada umumnya serangan
muncul pada kehamilan trimester I.

Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti faktor penyebab migren, diduga
sebagai gangguan neurobiologis, perubahan sensitivitas sistem saraf dan
avikasi sistem trigeminal-vaskular, sehingga migren termasuk dalam nyeri
kepala primer.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Suatu serangan migren dapat menyebabkan sebagian atau seluruh tanda dan
gejala, sebagai berikut:
a. Nyeri moderat sampai berat, kebanyakan penderita migren merasakan
    nyeri hanya pada satu sisi kepala, namun sebagian merasakan nyeri
    pada kedua sisi kepala.
b. Sakit kepala berdenyut atau serasa ditusuk-tusuk.
c. Rasa nyerinya semakin parah dengan aktivitas fisik.
d. Rasa nyerinya sedemikian rupa sehingga tidak dapat melakukan
    aktivitas sehari-hari.
e. Mual dengan atau tanpa muntah.
f. Fotofobia atau fonofobia.
g. Sakit kepalanya mereda secara bertahap pada siang hari dan setelah
    bangun tidur, kebanyakan pasien melaporkan merasa lelah dan lemah
    setelah serangan.
h. Sekitar 60 % penderita melaporkan gejala prodormal, seringkali terjadi
    beberapa jam atau beberapa hari sebelum onset dimulai. Pasien
    melaporkan perubahan mood dan tingkah laku dan bisa juga gejala
    psikologis, neurologis atau otonom.

Faktor Predisposisi
a. Menstruasi biasa pada hari pertama menstruasi atau sebelumnya/
    perubahan hormonal.
b. Puasa dan terlambat makan
c. Makanan misalnya akohol, coklat, susu, keju dan buah-buahan.
d. Cahaya kilat atau berkelip.
e. Banyak tidur atau kurang tidur
f. Faktor herediter
g. Faktor kepribadian

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, tanda vital harus normal, pemeriksaan neurologis
normal. Temuan-temuan yang abnormal menunjukkan sebab-sebab sekunder,
yang memerlukan pendekatan diagnostik dan terapi yang berbeda.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan, pemeriksaan ini dilakukan
    jika ditemukan hal-hal, sebagai berikut:
    1. Kelainan-kelainan struktural, metabolik dan penyebab lain yang
        dapat menyerupai gejala migren.
    2. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit penyerta yang dapat
        menyebabkan komplikasi.
    3. Menentukan dasar pengobatan dan untuk menyingkirkan
        kontraindikasi obat-obatan yang diberikan.
b. Pencitraan (dilakukan di rumah sakit rujukan).
c. Neuroimaging diindikasikan pada hal-hal, sebagai berikut:
    1. Sakit kepala yang pertama atau yang terparah seumur hidup
        penderita.
    2. Perubahan pada frekuensi keparahan atau gambaran klinis pada
        migren.
    3. Pemeriksaan neurologis yang abnormal.
    4. Sakit kepala yang progresif atau persisten.
    5. Gejala-gejala neurologis yang tidak memenuhi kriteria migren dengan
        aura atau hal-hal lain yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
    6. Defisit neurologis yang persisten.
    7. Hemikrania yang selalu pada sisi yang sama dan berkaitan dengan
        gejala-gejala neurologis yang kontralateral.
    8. Respon yang tidak adekuat terhadap terapi rutin.
    9. Gejala klinis yang tidak biasa.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan
fisik umum dan neurologis.

Kriteria Migren:
Nyeri kepala episodik dalam waktu 4-72 jam dengan gejala dua dari nyeri
kepala unilateral, berdenyut, bertambah berat dengan gerakan, intensitas
sedang sampai berat ditambah satu dari mual atau muntah, fonopobia atau
fotofobia.

Diagnosis Banding

a. Arteriovenous Malformations
b. Atypical Facial Pain
c. Cerebral Aneurysms
d. Childhood Migraine Variants
e. Chronic Paroxysmal Hemicrania
f. Cluster-type hedache (nyeri kepala kluster)

Komplikasi

a. Stroke iskemik dapat terjadi sebagai komplikasi yang jarang namun
    sangat serius dari migren. Hal ini dipengaruhi oleh faktor risiko seperti
    aura, jenis kelamin wanita, merokok, penggunaan hormon estrogen.
b. Pada migren komplikata dapat menyebabkan hemiparesis.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Pada saat serangan pasien dianjurkan untuk menghindari stimulasi
    sensoris berlebihan.
b. Bila memungkinkan beristirahat di tempat gelap dan tenang dengan
    dikompres dingin.
    1. Perubahan pola hidup dapat mengurangi jumlah dan tingkat
        keparahan migren, baik pada pasien yang menggunakan obat-obat
       preventif atau tidak.
    2. Menghindari pemicu, jika makanan tertentu menyebabkan sakit
       kepala, hindarilah dan makan makanan yang lain. Jika ada aroma
       tertentu yang dapat memicu maka harus dihindari. Secara umum
       pola tidur yang reguler dan pola makan yang reguler dapat cukup
       membantu.
   3. Berolahraga secara teratur, olahraga aerobik secara teratur
      mengurangi tekanan dan dapat mencegah migren.
   4. Mengurangi efek estrogen, pada wanita dengan migren dimana
      estrogen menjadi pemicunya atau menyebabkan gejala menjadi lebih
      parah, atau orang dengan riwayat keluarga memiliki tekanan darah
      tinggi atau stroke sebaiknya mengurangi obat-obatan yang
      mengandung estrogen.
  5. Berhenti merokok, merokok dapat memicu sakit kepala atau
      membuat sakit kepala menjadi lebih parah (dimasukkan di
      konseling).
  6. Penggunaan headache diary untuk mencatat frekuensi sakit kepala.
  7. Pendekatan terapi untuk migren melibatkan pengobatan akut
      (abortif) dan preventif (profilaksis).
c. Pengobatan Abortif:
    1. Analgesik spesifik adalah analgesik yang hanya bekerja sebagai
        analgesik nyeri kepala. Lebih bermanfaat untuk kasus yang berat
        atau respon buruk dengan OINS. Contoh: Ergotamin,
        Dihydroergotamin, dan golongan Triptan yang merupakan agonis
        selektif reseptor serotonin pada 5-HT1.
        Ergotamin dan DHE diberikan pada migren sedang sampai berat
        apabila analgesik non spesifik kurang terlihat hasilnya atau memberi
        efek samping. Kombinasi ergotamin dengan kafein bertujuan untuk
        menambah absorpsi ergotamin sebagai analgesik. Hindari pada
        kehamilan, hipertensi tidak terkendali, penyakit serebrovaskuler
        serta gagal ginjal.
        Sumatriptan dapat meredakan nyeri, mual, fotobia dan fonofobia.
        Obat ini diberikan pada migren berat atau yang tidak memberikan
        respon terhadap analgesik non spesifik. Dosis awal 50 mg dengan
        dosis maksimal 200 mg dalam 24 jam.
  2. Analgesik non spesifik yaitu analgesik yang dapat diberikan pada
      nyeri lain selain nyeri kepala, dapat menolong pada migren intensitas
      nyeri ringan sampai sedang.

Tabel 35. Regimen analgesik



     * Respon terapi dalam 2 jam (nyeri kepala residual ringan atau hilang dalam 2
        jam)
      Domperidon atau metoklopropamid sebagai antiemetic dapat diberikan saat
      serangan nyeri kepala atau bahkan lebih awal yaitu pada saat fase prodromal.
d. Pengobatan preventif:
    Pengobatan preventif harus selalu diminum tanpa melihat adanya
    serangan atau tidak. Pengobatan dapat diberikan dalam jangka waktu
    episodik, jangka pendek (subakut), atau jangka panjang (kronis). Pada
    serangan episodik diberikan bila factor pencetus dikenal dengan baik,
    sehingga dapat diberikan analgesik sebelumnya. Terapi prevenntif
    jangka pendek diberikan apabila pasien akan terkena faktor risiko yang
    telah dikenal dalam jangka waktu tertentu, misalnya migren menstrual.
    Terapi preventif kronis diberikan dalam beberapa bulan bahkan tahun
    tergantung respon pasien.

Farmakoterapi pencegahan migren:
Tabel 36. Farmakoterapi pencegah migren



Komplikasi

a. Obat-obat NSAID seperti ibuprofen dan aspirin dapat menyebabkan efek
    samping seperti nyeri abdominal, perdarahan dan ulkus, terutama jika
    digunakan dalam dosis besar dan jangka waktu yang lama.
b. Penggunaan obat-obatan abortif lebih dari dua atau tiga kali seminggu
    dengan jumlah yang besar, dapat menyebabkan komplikasi serius yang
    dinamakan rebound.

Konseling dan Edukasi
a. Pasien dan keluarga dapat berusaha mengontrol serangan.
b. Keluarga menasehati pasien untuk beristirahat dan menghindari
    pemicu, serta berolahraga secara teratur.
c. Keluarga menasehati pasien jika merokok untuk berhenti merokok
    karena merokok dapat memicu sakit kepala atau membuat sakit kepala
    menjadi lebih parah.

Kriteria Rujukan

Pasien perlu dirujuk jika migren terus berlanjut dan tidak hilang dengan
pengobatan analgesik non-spesifik. Pasien dirujuk ke layanan sekunder
(dokter spesialis saraf).

Sarana Prasarana

a. Alat pemerikaan neurologis
b. Obat antimigren

Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam, namun quo ad sanationam adalah dubia
karena sering terjadi berulang.






Thursday, 20 November 2014

STATUS EPILEPTIKUS

Status Epileptikus

No. ICPC II : N88 Epilepsy
No. ICD X : G41.9 Status epilepticus, unspecified
Tingkat Kemampuan: 3B

Masalah Kesehatan

Status epileptikus adalah bangkitan yang terjadi lebih dari 30 menit atau
adanya dua bangkitan atau lebih dimana diantara bangkitan-bangkitan tadi
tidak terdapat pemulihan kesadaran.
Status epileptikus merupakan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan
penanganan dan terapi segera guna menghentikan bangkitan (dalam waktu 30
menit). Diagnosis pasti status epileptikus bila pemberian benzodiazepin awal
tidak efektif dalam menghentikan bangkitan.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan kejang, keluarga pasien perlu ditanyakan mengenai
riwayatpenyakit epilepsi dan pernah mendapatkan obat antiepilepsi serta
penghentian obat secara tiba-tiba.
Riwayat penyakit tidak menular sebelumnya juga perlu ditanyakan, seperti
Diabetes Melitus, stroke, dan hipertensi.
Riwayat gangguan imunitas misalnya HIV yang disertai infeksi oportunistik
dan data tentang bentuk dan pola kejang juga perlu ditanyakan secara
mendetil.

Faktor Risiko: -

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

 

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan dapat ditemukan adanya kejang atau gangguan perilaku,
penurunan kesadaran, sianosis, diikuti oleh takikardi dan peningkatan
tekanan darah, dan sering diikuti hiperpireksia.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: pemeriksaan gula darah sewaktu.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

 

Diagnosis Klinis
Diagnosis Status Epileptikus (SE) ditegakkandari anamnesis dan pemeriksaan
fisik.

Diagnosis Banding
Pseudoseizure

Komplikasi

a. Asidosis metabolik
b. Aspirasi
c. Trauma kepala

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
Pasien dengan status epilektikus, harus dirujuk ke Fasilitas Pelayanan
Kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf. Pengelolaan SE
sebelum sampai fasilitas pelayanan kesehatan sekunder.
 
Stadium I (0-10 menit)
a. Memperbaiki fungsi kardiorespirasi
b. Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen, resusitasi bila perlu
c. Pemberian benzodiazepin rektal 10 mg
 
Stadium II (1-60 menit)
a. Pemeriksaan status neurologis
b. Pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu
c. Pemeriksaan EKG (bila tersedia)
d. Memasang infus pada pembuluh darah besar dengan NaCl 0,9 %.

Rencana Tindak Lanjut

Melakukan koordinasi dengan PPK II dalam hal pemantauan obat dan
bangkitan pada pasien.

Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi penyakit kepada individu dan keluarganya, tentang:
a. Penyakit dan tujuan merujuk.
b. Pencegahan komplikasi terutama aspirasi.
c. Pencegahan kekambuhan dengan meminum OAE secara teratur dan
    tidak menghentikannya secara tiba-tiba.
d. Menghindari aktifitas dan tempat-tempat yang berbahaya.

Kriteria Rujukan

Semua pasien dengan status epileptikus setelah ditegakkan diagnosis dan
telah mendapatkan penanganan awal segera dirujuk untuk:
a. Mengatasi serangan
b. Mencegah komplikasi
c. Mengetahui etiologi
d. Pengaturan obat

Sarana Prasarana

a. Oksigen
b. Kain kasa
c. Infus set
d. Spatel lidah
e. Alat pengukur gula darah sederhana

Prognosis

Prognosis umumnya dubia ad bonam untuk quo ad vitam dan fungsionam,
namun dubia ad malam untuk quo ad sanationam.

Wednesday, 19 November 2014

EPILEPSI (AYAN)

Epilepsi



















No. ICPC II : N88 Epilepsy
No. ICD X : G40.9 Epilepsy, unspecified
Tingkat Kemampuan: 3A

Masalah Kesehatan

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan
epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi,
sedangkan yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis
yang disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari
sekelompok neuron.

Etiologi epilepsi:
a. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis
   dan diperkirakan tidak mempunyai predisposisi genetik dan umumnya
   berhubungan dengan usia.
b. Kriptogenik: dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
   termasuk di sini syndrome west, syndrome Lennox-Gastatut dan epilepsi
   mioklonik.
c. Simptomatik: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi
   struktural pada otak, misalnya cedera kepala, infeksi SSP, kelainan
   kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
   (alkohol, obat), metabolik, kelainan neurodegeneratif.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Ada tiga langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:
a. Langkah pertama: memastikan apakah kejadian yang bersifat
   paroksismal merupakan bangkitan epilepsi. Pada sebagian besar kasus,
   diagnosis epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan informasi yang
   diperoleh dari anamnesis baik auto maupun allo-anamnesis dari orang
   tua maupun saksi mata yang lain.
   1. Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan
       • Keadaan penyandang saat bangkitan: duduk/ berdiri/ bebaring/
         tidur/ berkemih.
       • Gejala awitan (aura, gerakan/ sensasi awal/ speech arrest).
       • Pola/bentuk yang tampak selama bangkitan: gerakan
         tonik/klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit,
         pucat berkeringat, deviasi mata.
      • Keadaan setelah kejadian: bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur,
        gaduh gelisah, Todd’s paresis.
      • Faktor pencetus: alkohol, kurang tidur, hormonal.
      • Jumlah pola bangkitan satu atau lebih, atau terdapat perubahan
        pola bangkitan.
   2. Penyakit lain yang mungkin diderita sekarang maupun riwayat
      penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit
      sistemik yang mungkin menjadi penyebab.
   3. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar
      bangkitan.
   4. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi (dosis,
      kadar OAE, kombinasi terapi).
   5. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
   6. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologik lain, penyakit psikitrik
      atau sistemik.
   7. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan
      bayi/anak.
   8. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam.
   9. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP.
b. Langkah kedua: apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka
    tentukan bangkitan tersebut bangkitan yang mana (klasifikasi ILAE
    1981).
c. Langkah ketiga: menentukan etiologi, sindrom epilepsi, atau penyakit
    epilepsi apa yang diderita pasien dilakukan dengan memperhatikan
    klasifikasi ILAE 1989. Langkah ini penting untuk menentukan
    prognosis dan respon terhadap OAE (Obat Anti Epilepsi).

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah mengamati adanya tandatanda
dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma
kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol
atau obat terlarang, kelainan pada kulit, kanker, defisit neurologik fokal.

Pemeriksaan neurologis
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologik sangat tergantung dari
interval antara dilakukannya pemeriksaan dengan bangkitan terakhir.
a. Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka
    akan tampak tanda pasca iktal terutama tanda fokal seperti todds
    paresis (hemiparesis setelah kejang yang terjadi sesaat), trans aphasic
    syndrome (afasia sesaat) yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk
    lokalisasi.
b. Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan terakhir berlalu,
    sasaran utama adalah menentukan apakah ada tanda-tanda disfungsi
    system saraf permanen (epilepsi simptomatik) dan walaupun jarang
    apakah ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.

Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan di layanan sekunder yaitu EEG, pemeriksaan pencitraan
otak, pemeriksaan laboratorium lengkap dan pemeriksaan kadar OAE.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan
neurologis.

Klasifikasi Epilepsi

A. ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi

1. Bangkitan parsial/fokal
   1.1. Bangkitan parsial sederhana
     1.1.1. Dengan gejala motorik
     1.1.2. Dengan gejala somatosensorik
     1.1.3. Dengan gejala otonom
     1.1.4. Dengan gejala psikis
   1.2. Bangkitan parsial kompleks
   1.3. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder

2. Bangkitan umum
  2.1. Lena (absence)
    2.1.1 Tipikal lena
    2.1.2. Atipikal Lena
  2.2. Mioklonik
  2.3. Klonik
  2.4. Tonik
  2.5. Tonik-Klonik
  2.6. Atonik/astatik

3. Bangkitan tak tergolongkan

B. Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi
1. Fokal/partial (localized related)
  1.1. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
    1.1.1. Epilepsi beningna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal
    1.1.2. Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pasda
              daerah oksipital
    1.1.3. Epilepsi primer saat membaca
  1.2. Simptomatik
    1.2.1. Epilepsi parsial kontinu yang kronik progresif pada anakanak
              (kojenikow’s syndrome)
    1.2.2. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu
              rangsangan (kurang tidur, alcohol, obat-obatan,
              hiperventilasi, repleks epilepsi, stimulasi fungsi kortikal
              tinggi, membaca)
    1.2.3. Epilepsi lobus temporal
    1.2.4. Epilepsi lobus frontal
    1.2.5. Epilepsi lobus parietal
    1.2.6. Epilepsi lobus oksipital
  1.3. Kriptogenik
 
2. Epilepsi umum
  2.1. Idiopatik
    2.1.1. Kejang neonates familial benigna
    2.1.2. Kejang neonatus benigna
    2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
    2.1.4. Epilepsi lena pada anak
    2.1.5. Epilepsi lena pada remaja
    2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja
    2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat
               terjaga
    2.1.8. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah
              satu diatas
    2.1.9. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang
              spesifik
  2.2. Kriptogenik atau simptomatik
    2.2.1. Sindrom west (spasme infantile dan spasme salam)
    2.2.2. Sindrom lennox-gastaut
    2.2.3. Epilepsi mioklonik astatik
    2.2.4. Epilepsi mioklonik lena
  2.3. Simptomatik
    2.3.1. Etiologi non spesifik
              • Ensefalopati miklonik dini
              • Ensefalopati pada infantile dini dengan burst supresi
              • Epilepsi simptomatik umum lainnya yang tidak termasuk
                di atas
    2.3.2. Sindrom spesifik
    2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
 
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
  3.1. Bangkitan umum dan fokal
    3.1.1. Bangkitan neonatal
    3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
    3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur
              dalam
    3.1.4. Epilepsi afasia yang di dapat
    3.1.5. Epilepsi yang tidak termasuk dalam kalsifikasi diatas
  3.2. Tanpa gambaran tegas local atau umum

4. Sindrom khusus
  4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
    4.1.1. Kejang demam
    4.1.2. Bangkitan kejang/status epileptikus yang hanya sekali
    4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian
              metabolic akut atau toksis, alkohol, obat-obatan, eklampsia,
              hiperglikemik non ketotik
    4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi
              reflektorik)

Diagnosis Banding

a. Sinkop
b. Transient Ischemic Attack
c. Vertigo
d. Global amnesia
e. Tics dan gerakan involunter

Komplikasi: -

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
Sebagai dokter pelayanan primer, bila pasien terdiagnosis sebagai epilepsi,
untuk penanganan awal pasien harus dirujuk ke dokter spesialis saraf.
a. OAE diberikan bila:
   1. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
   2. Pastikan faktor pencetus dapat dihindari (alkohol, stress, kurang
        tidur, dan lain-lain)
   3. Terdapat minimum 2 bangkitan dalam setahun
   4. Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan
        terhadap tujuan pengobatan
   5. Penyandang dan/atau keluarganya telah diberitahu tentang
       kemungkinan efek samping yang timbul dari OAE
b. Terapi dimulai dengan monoterapi menggunakan OAE pilihan sesuai
    dengan jenis bangkitan (tabel 3) dan jenis sindrom epilepsi:

Tabel 32. OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan






 c. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap
     sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping. Kadar obat
     dalam darah ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis
    efektif. Bila diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (kehamilan,
    penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan absorpsi OAE), diduga
    penyandang epilepsi tidak patuh pada pengobatan. Setelah pengobatan
    dosis regimen OAE, dilihat interaksi antar OAE atau obat lain.
   Pemeriksaan interaksi obat ini dilakukan rutin setiap tahun pada
    penggunaan phenitoin.

Tabel 33. Dosis OAE


d. Bila pada penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
    bangkitan, maka dapat dirujuk kembali untuk mendapatkan
    penambahan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi,
    maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off) perlahan-lahan.
e. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan di layanan sekunder atau
    tersier setelah terbukti tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis
    maksimal kedua OAE pertama.
f. Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai
    terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi yaitu bila:
   1. Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG.
   2. Pada pemeriksaan CT-Scan atau MRI Otak dijumpai lesi yang
       berkorelasi dengan bangkitan: meningioma, neoplasma otak, AVM,
       abses otak, ensephalitis herpes.
   3. Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada
       adanya kerusakan otak.
   4. Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang
       tua).
   5. Riwayat bangkitan simptomatik.
   6. Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko tinggi seperti JME (Juvenile
       Myoclonic Epilepsi).
   7. Riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran, stroke, infeksi
       SSP.
   8. Bangkitan pertama berupa status epileptikus.
      Namun hal ini dapat dilakukan di fasyankes sekunder.
g. Efek samping perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan interaksi
    farmakokinetik antar OAE.

Tabel 34. Efek samping OAE





h. Strategi untuk mencegah efek samping:
   1. Mulai pengobatan dengan mempertimbangkan keuntungan dan
       kerugian pemberian terapi
   2. Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang
   3. Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil mengacu
       pada sindrom epilepsi dan karaktersitik penyandang epilepsi
i. OAE dapat dihentikan pada keadaan:
   1. Setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan.
   2. Gambaran EEG normal.
   3. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis
       semula setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
   4. Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1
       OAE yang bukan utama.
   5. Keputusan untuk menghentikan OAE dilakukan pada tingkat
       pelayanan sekunder/tersier.
j. Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar
   kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut:
   1. Semakin tua usia, kemungkinan kekambuhan semakin tinggi.
   2. Epilepsi simptomatik.
   3. Gambaran EEG abnormal.
   4. Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan.
   5. Penggunaan lebih dari satu OAE.
   6. Mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi.
   7. Mendapat terapi setelah 10 tahun.

Kriteria Rujukan

Setelah diagnosis epilepsi ditegakkan maka pasien segera dirujuk ke
pelayanan sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf.

Sarana Prasarana

Obat OAE

Prognosis

Prognosis umumnya bonam, tergantung klasifikasi epilepsi yang dideritanya,
sedangkan serangan epilepsi dapat berulang, tergantung kontrol terapi dari
pasien.





Sumber gambar :
 http://noropsikiyatri.blogspot.com/p/epilepsi-sara-olarak-da-bilinir.html
http://kateginnivan.files.wordpress.com/2013/03/purple-day-v.jpg
http://zelvikri.files.wordpress.com/2013/01/first-aid-for-seizures3_page_2.jpg