Wednesday, 21 September 2016

RHINITIS AKUT

Rhinitis Akut

No. ICPC II : R74 Upper respiratory infection acute
No. ICD X : J00 Acute nasopharingitis (common cold)
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Rhinitis akut adalah peradangan pada mukosa hidung yang berlangsung akut
(< 12 minggu). Hal ini dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, ataupun
iritan. Radang sering ditemukan karena manifestasi dari rhinitis simpleks
(common cold), influenza, penyakit eksantem (seperti morbili, variola, varicella,
pertusis), penyakit spesifik, serta sekunder dari iritasi lokal atau trauma.
Rhinitis akut merupakan penyebab morbiditas yang signifikan walaupun
sering dianggap sepele oleh para praktisi. Gejala-gejala rhinitis secara
signifikan mempengaruhi kualitas hidup pasien karena gejala-gejala sistemik
yang menyertainya seperti fatigue dan sakit kepala.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Pasien datang dengan keluhan keluar ingus dari hidung (rinorea), hidung
tersumbat disertai rasa panas dan gatal pada hidung.
a. Rhinitis simpleks: gejala berupa rasa panas di daerah belakang hidung
pada awalnya, lalu segera diikuti dengan hidung tersumbat, rinore, dan
bersin yang berulang-ulang. Pasien merasa dingin, dan terdapat demam
ringan. Pada infeksi bakteri ingus menjadi mukopurulen, biasanya
diikuti juga dengan gejala sistemik seperti demam, malaise dan sakit
kepala.
b. Rhinitis influenza: gejala sistemik umumnya lebih berat disertai sakit
pada otot.
c. Rhinitis eksantematous: gejala terjadi sebelum tanda karakteristik atau
ruam muncul.
d. Rhinitis iritan: gejala berupa ingus yang sangat banyak dan bersin.
e. Rhinitis difteria: gejala berupa demam, toksemia, terdapat limfadenitis,
dan mungkin ada paralisis otot pernafasan.

Faktor Risiko

a. Penurunan daya tahan tubuh.
b. Paparan debu, asap atau gas yang bersifat iritatif.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

a. Dapat ditemukan adanya demam.
b. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak kavum nasi sempit,
terdapat sekret serous atau mukopurulen dan mukosa udem dan
hiperemis.
c. Pada rhinitis difteri tampak ada ingus yang bercampur darah. Membran
keabu-abuan tampak menutup konka inferior dan kavum nasi bagian
bawah, membrannya lengket dan bila diangkat dapat terjadi perdarahan.

Pemeriksaan Penunjang : tidak diperlukan

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Klasifikasi berdasarkan etiologi:

a. Rhinitis Virus

1. Rhinitis simplek (pilek, Selesema, Comman Cold, Coryza)

Rhinitis simplek disebabkan oleh virus. Infeksi biasanya terjadi
melalui droplet di udara. Beberapa jenis virus yang berperan antara
lain, adenovirus, picovirus, dan subgrupnya seperti rhinovirus,
coxsakievirus, dan ECHO. Masa inkubasinya 1-4 hari dan berakhir
dalam 2-3 minggu.

2. Rhinitis Influenza

Virus influenza A, B atau C berperan dalam penyakit ini. Tanda dan
gejalanya mirip dengan common cold. Komplikasi berhubungan
dengan infeksi bakteri sering terjadi.

3. Rhinitis Eksantematous

Morbili, varisela, variola, dan pertusis, sering berhubungan dengan
rhinitis, di mana didahului dengan eksantema sekitar 2-3 hari.
Infeksi sekunder dan komplikasi lebih sering dijumpai dan lebih
berat.

b. Rhinitis Bakteri

1. Infeksi non spesifik
• Rhinitis Bakteri Primer. Infeksi ini tampak pada anak dan
biasanya akibat dari infeksi pneumococcus, streptococcus atau
staphylococcus. Membran putih keabu-abuan yang lengket dapat
terbentuk di rongga hidung, dan apabila diangkat dapat
menyebabkan pendarahan/epistaksis.
• Rhinitis Bakteri Sekunder merupakan akibat dari infeksi bakteri
pada rhinitis viral akut.

2. Rhinitis Difteri
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Rhinitis
difteri dapat berbentuk akut atau kronik dan bersifat primer pada
hidung atau sekunder pada tenggorokan. Dugaan adanya rhinitis
difteri harus dipikirkan pada penderita dengan riwayat imunisasi
yang tidak lengkap. Penyakit ini semakin jarang ditemukan karena
cakupan program imunisasi yang semakin meningkat.

c. Rhinitis Iritan

Tipe rhinitis akut ini disebabkan oleh paparan debu, asap atau gas yang
bersifat iritatif seperti ammonia, formalin, gas asam dan lain-lain. Selain
itu, dapat juga disebabkan oleh trauma yang mengenai mukosa hidung
selama masa manipulasi intranasal, contohnya pada pengangkatan
corpus alienum. Pada rhinitis iritan terdapat reaksi yang terjadi segera
yang disebut dengan “immediate catarrhal reaction” bersamaan dengan
bersin, rinore, dan hidung tersumbat. Gejalanya dapat sembuh cepat
dengan menghilangkan faktor penyebab atau dapat menetap selama
beberapa hari jika epitel hidung telah rusak. Pemulihan akan
bergantung pada kerusakan epitel dan infeksi yang terjadi.

Diagnosis Banding

a. Rhinitis alergi pada serangan akut
b. Rhinitis vasomotor pada serangan akut

Komplikasi

a. Otitis media akut.
b. Sinusitis paranasalis.
c. Infeksi traktus respiratorius bagian bawah seperti laring,
tracheobronchitis, pneumonia.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

a. Istirahat yang cukup.
b. Mengkonsumsi makanan dan minuman yang sehat.
c. Rhinitis akut merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri secara
spontan setelah kurang lebih 1 - 2 minggu. Karena itu umumnya terapi
yang diberikan lebih bersifat simptomatik, seperti analgetik, antipiretik,
dan nasal dekongestan disertai dengan istirahat yang cukup. Terapi
khusus tidak diperlukan kecuali bila terdapat komplikasi seperti infeksi
sekunder bakteri, maka antibiotik perlu diberikan.
1. Antipiretik dapat diberikan parasetamol.
2. Dekongestan oral dapat mengurangi sekret hidung yang banyak,
membuat pasien merasa lebih nyaman, seperti pseudoefedrin,
fenilpropanolamin, atau fenilefrin.
3. Antibiotik diberikan jika terdapat infeksi bakteri, seperti amoxicillin,
eritromisin, cefadroxil.
4. Pada rhinitis difteri terapinya meliputi isolasi pasien, penisilin
sistemik, dan antitoksin difteri.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan

Tidak diperlukan

Rencana Tindak Lanjut

Jika terdapat kasus rhinitis difteri dilakukan pelaporan ke dinkes setempat.
Konseling dan Edukasi
Memberitahu individu dan keluarga untuk:
a. Menjaga tubuh selalu dalam keadaan sehatdengan begitu dapat
terbentuknya sistem imunitas yang optimal yang dapat melindungi
tubuh dari serangan zat-zat asing.
b. Lebih sering mencuci tangan, terutama sebelum menyentuh wajah.
c. Memperkecil kontak dengan orang-orang yang telah terinfeksi.
d. Menutup mulut ketika batuk dan bersin.
e. Mengikuti program imunisasi lengkap, seperti vaksinasi influenza,
vaksinasi MMR untuk mencegah terjadinya rhinitis eksantematous.

Kriteria Rujukan

Pasien dengan rhinitis difteri.

Sarana Prasarana

a. Lampu kepala
b. Spekulum hidung
c. Obat-obatan: antipiretik, analgetik, antibiotik, dekongestan
Prognosis
Prognosis umumnya bonam. Pada rhinitis difteri, prognosis dapat menjadi
dubia.

Monday, 1 June 2015

RHINITIS ALERGIKA

Rhinitis Alergik


















No. ICPC II : R97 Allergic rhinitis
No. ICD X : J30.0 Vasomotor rhinitis
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi oleh alergen yang
sama serta dilepaskan suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut.
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and it’s Impact on Asthma), 2001,
rhinitis alergi adalah kelainan pada gejala bersin bersin, rinore, rasa gatal
dan tersumbat setelah mukosa hidung terpaparalergen yang diperantai oleh Ig E.

Rhinitis ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih sering terjadi
terutama anak laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki-laki dan
perempuan sama. Insidensi tertinggi terdapat pada anak-anak dan dewasa
muda dengan rerata pada usia 8-11 tahun, sekitar 80% kasus rhinitis alergi
berkembang mulai dari usia 20 tahun. Insidensi rhinitis alergi pada anak-anak
40% dan menurun sejalan dengan usia sehingga pada usia tua rhinitis alergi
jarang ditemukan.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Pasien datang dengan keluhan keluarnya ingus encer dari hidung (rinorea),
bersin, hidung tersumbat dan rasa gatal pada hidung (trias alergi).
Bersin merupakan gejala khas, biasanya terjadi berulang, terutama pada pagi
hari. Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap patologik dan perlu dicurigai
adanya rhinitis alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase cepat. Gejala lain
berupa mata gatal dan banyak air mata.

Faktor Risiko

a. Adanya riwayat atopi.
b. Lingkungan dengan kelembaban yang tinggi merupakan faktor risiko
    untuk untuk tumbuhnya jamur, sehingga dapat timbul gejala alergis.
c. Terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur,
    suhu yang tinggi.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

a. Perhatikan adanya allergic salute, yaitu gerakan pasien menggosok
    hidung dengan tangannya karena gatal.
b. Wajah
    1. Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan
       dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung.
    2. Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang melalui
       setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan menggosok hidung
       keatas dengan tangan.
   3. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
       sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi
      (facies adenoid).
c. Pada pemeriksaan faring: dinding posterior faring tampak granuler dan
    edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal.
    Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).
d. Pada pemeriksaan rinoskopi:
    1. Mukosa edema, basah, berwarna pucat atau kebiruan (livide), disertai
       adanya sekret encer, tipis dan banyak. Jika kental dan purulen
       biasanya berhubungan dengan sinusitis.
    2. Pada rhinitis alergi kronis atau penyakit granulomatous, dapat
       terlihat adanya deviasi atau perforasi septum.
    3. Pada rongga hidung dapat ditemukan massa seperti polip dan tumor,
       atau dapat juga ditemukan pembesaran konka inferior yang dapat
       berupa edema atau hipertropik. Dengan dekongestan topikal, polip
      dan hipertrofi konka tidak akan menyusut, sedangkan edema konka
      akan menyusut.
e. Pada kulit kemungkinan terdapat dermatitis atopi.

Pemeriksaan Penunjang

Bila diperlukan dan dapat dilakukan di layanan primer.
a. Hitung eosinofil dalam darah tepi dan sekret hidung.
b. Pemeriksaan Ig E total serum
c. Pemeriksaan feses untuk mendeteksi kecacingan

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang bila diperlukan.
Rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and it’s Impact on
Asthma), 2001, rhinitis alergi dibagi berdasarkan sifat berlangsungnya
menjadi:
a. Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari
   4 minggu.
b. Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan/atau lebih dari
    4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi
menjadi:
a. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas
    harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang
    mengganggu.
b. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan
    tersebut di atas.

Diagnosis Banding

a. Rhinitis vasomotor
b. Rhinitis akut

Komplikasi

a. Polip hidung
b. Sinusitis paranasal
c. Otitis media

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

a. Menghindari alergen spesifik
b. Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui
     berkhasiat dalam menurunkan gejala alergis
c. Terapi topikal dapat dengan dekongestan hidung topikal melalui semprot
    hidung. Obat yang biasa digunakan adalah oxymetazolin atau
    xylometazolin, namun hanya bila hidung sangat tersumbat dan dipakai
    beberapa hari (< 2 minggu) untuk menghindari rhinitis medikamentosa.
d. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat
    respons fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Obat yang
    sering dipakai adalah kortikosteroid topikal: beklometason, budesonid,
    flunisolid, flutikason, mometason furoat dan triamsinolon.
e. Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida yang
    bermanfaat untuk mengatasi rinorea karena aktivitas inhibisi reseptor
    kolinergik pada permukaan sel efektor.
f. Terapi oral sistemik
    1. Antihistamin
        • Anti histamin generasi 1: difenhidramin, klorfeniramin,
          siproheptadin.
        • Anti histamin generasi 2: loratadin, cetirizine
    2. Preparat simpatomimetik golongan agonis alfa dapat dipakai sebagai
        dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi antihistamin.
       Dekongestan oral: pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin.
g. Terapi lainnya dapat berupa operasi terutama bila terdapat kelainan
     anatomi, selain itu dapat juga dengan imunoterapi



Gambar 19. Algoritma penatalaksanaan Rinitis Alergi menurut WHO Initiative ARIA 2001
(dewasa)

Rencana Tindak Lanjut

Dilakukan sesuai dengan algoritma rhinitis alergi menurut WHO Initiative
ARIA.

Konseling dan Edukasi

Memberitahu individu dan keluarga untuk:
a. Menyingkirkan faktor penyebab yang dicurigai (alergen).
b. Menghindari suhu ekstrim panas maupun ekstrim dingin.
c. Selalu menjaga kesehatan dan kebugaran jasmani. Hal ini dapat
    menurunkan gejala alergi.

Pemeriksaan penunjang lanjutan

Bila diperlukan, dilakukan:
a. Uji kulit atau Prick Test, digunakan untuk menentukan alergen
    penyebab rhinitis alergi pada pasien.
b. Pemeriksaan radiologi dengan foto sinus paranasal.

Kriteria Rujukan

a. Bila perlu dilakukan Prick Test untuk mengetahui jenis alergen.
b. Bila perlu dilakukan tindakan operatif.

Sarana Prasarana

a. Lampu kepala
b. Spekulum hidung
c. Obat-obatan:
    Topikal:
    1. Dekongestan hidung topikal: oxymetazolin, xylometazolin.
    2. Preparat kortikosteroid topikal: beklometason, budesonid, flunisolid,
        flutikason, mometason furoat dan triamsinolon
    3. Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida
        Oral:
d. Antihistamin
    1. Anti histamin generasi 1: difenhidramin, klorfeniramin,
        siproheptadin.
    2. Anti histamin generasi 2: loratadin, cetirizine.
e. Preparat simpatomimetik golongan agonis alfa. Dekongestan oral :
    pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin.

Prognosis

Prognosis umumnya bonam, namun quo ad sanationam dubia ad bonam bila
alergen penyebab dapat dihindari.



Sumber gambar : http://nosephotographs.hawkelibrary.com/

RHINITIS VASOMOTOR

Rhinitis Vasomotor (Rhinitis Non Alergi)


























Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa
adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal, dan pajanan obat
(kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin, dan obat
topikal hidung dekongestan).
Rhinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila
adanya alergi/allergen spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan
alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi Ig E spesifik
serum).
Rhinitis non alergi dan mixed rhinitis lebih sering dijumpai pada orang dewasa
dibandingkan anak-anak, lebih sering dijumpai pada wanita
dan cenderung bersifat
menetap.

Sinonim: rhinitis non alergi, vasomotor catarrh, vasomotor rinorhea, nasal
vasomotor instability, dan non-allergic perennial rhinitis.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan
tergantung posisi tidur pasien. Pada pagi hari saat bangun tidur, kondisi
memburuk karena adanya perubahan suhu yang ekstrem, udara yang lembab,
dan karena adanya asap rokok.

Gejala lain rhinitis vasomotor dapat berupa:
a. Rinore yang bersifat serous atau mukus, kadang-kadang jumlahnya
    agak banyak.
b. Bersin-bersin lebih jarang dibandingkan rhinitis alergika.
c. Gejala rhinitis vasomotor ini

Faktor Predisposisi
a. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis
    antara lain: ergotamine, chlorpromazine, obat anti hipertensi dan obat
    vasokonstriktor topikal.
b. Faktor fisik seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban
    udara yang tinggi, serta bau yang menyengat (misalnya parfum) dan
    makanan yang pedas, panas, serta dingin (misalnya es krim).
c. Faktor endokrin, seperti kehamilan, masa pubertas, pemakaian
    kontrasepsi oral, dan hipotiroidisme.
d. Faktor psikis, seperti rasa cemas, tegang dan stress.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan rinoskopi anterior:
a. Tampak gambaran edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap
    atau merah tua tetapi dapat pula pucat.
b. Permukaan konka licin atau tidak rata.
c. Pada rongga hidung terlihat adanya sekret mukoid, biasanya jumlahnya
    tidak banyak. Akan tetapi pada golongan rinore tampak sekret serosa
    yang jumlahnya sedikit lebih banyak dengan konka licin atau berbenjolbenjol.

Pemeriksaan Penunjang
Bila diperlukan dan dapat dilaksanakan di layanan primer, yaitu:
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
rhinitis alergi.
a. Kadar eosinofil
b. Tes cukit kulit (skin prick test)
c. Kadar IgE spesifik

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang bila diperlukan.

Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3 golongan,
yaitu:
a. Golongan bersin (sneezer), gejala biasanya memberikan respon baik
    dengan terapi antihistamin dan glukokortikoid topikal.
b. Golongan rinore (runners) dengan gejala rinore yang jumlahnya banyak.
c. Golongan tersumbat (blockers) dengan gejala kongesti hidung dan
    hambatan aliran udara pernafasan yang dominan dengan rinore yang
    minimal.

Diagnosis Banding

a. Rhinitis alergika
b. Rhinitis medikamentosa
c. Rhinitis akut

Komplikasi

a. Rhinitis akut, jika terjadi infeksi sekunder
b. Sinusitis

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Menghindari faktor pencetus.
b. Menghindari terlalu lama di tempat yang ber-AC
c. Menghindari minum-minuman dingin
d. Tatalaksana dengan terapi kortikosteroid topikal dapat diberikan,
    misalnya :
    - budesonid, 1-2 x/hari dengan dosis 100-200 mcg/hari. Dosis
      dapat ditingkatkan sampai 400 mcg/hari. Hasilnya akan terlihat setelah
      pemakaian paling sedikit selama 2 minggu.
      Saat ini terdapat kortikosteroid topikal baru dalam aqua seperti
      flutikason propionate dengan pemakaian cukup 1 x/hari dengan
      dosis 200 mcg selama 1-2 bulan.
e. Pada kasus dengan rinorea yang berat, dapat ditambahkan
     antikolinergik topikal ipratropium bromide.
f. Kauterisasi konka yang hipertofi dapat menggunakan larutan AgNO3
    25% atau trikloroasetat pekat.
g. Tatalaksana dengan terapi oral dapat menggunakan preparat
    simpatomimetik golongan agonis alfa sebagai dekongestan hidung oral
    dengan atau tanpa kombinasi antihistamin. Dekongestan oral :
    pseudoefedrin, fenilpropanol-amin, fenilefrin.

Konseling dan Edukasi
Memberitahu individu dan keluarga untuk:
a. Menghindari faktor pencetus.
b. Menghindari terlalu lama di tempat yang ber-AC dan mengurangi
    minuman dingin.
c. Berhenti merokok.
d. Menghindari faktor psikis seperti rasa cemas, tegang dan stress.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Pemeriksaan radiologi: Foto sinus paranasal

Kriteria Rujukan

Jika diperlukan tindakan operatif

Sarana Prasarana

a. Lampu kepala
b. Spekulum hidung
c. Tampon hidung

Prognosis

Prognosis umumnya tidak mengancam jiwa, namun fungsi dan berulangnya
kejadian dapat dubia ad bonam jika pasien menghindari faktor pencetus.



sumber gambar : http://nosephotographs.hawkelibrary.com

Tuesday, 26 May 2015

FARINGITIS (RADANG TENGGOROKAN)

Faringitis

No. ICPC II : R74 Upper respiratory infection acute
No. ICD X : J02.9 Acute pharyngitis, unspecified
Tingkat Kemampuan: 4A





















Masalah Kesehatan

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus
(40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain.
Setiap tahunnya ± 40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan
karena faringitis. Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3-5 kali
infeksi virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis. Secara global
di dunia ini viral faringitis merupakan penyebab utama seseorang absen
bekerja atau sekolah.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan nyeri tenggorokan, sakit jika menelan dan
batuk.
Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme
yang menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala
umum seperti lemas, anorexia, demam, suara serak, kaku dan sakit pada otot
leher.
Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu:
a. Faringitis viral (umumnya oleh Rhinovirus): diawali dengan gejala
    rhinitis dan beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain
    demam disertai rinorea dan mual.


b. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang disertai demam
    dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.


c. Faringitis fungal: terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.


d. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal dan
    akhirnya batuk yang berdahak.
e. Faringitis kronik atrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal serta
    mulut berbau.
f. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak berespon
    dengan pengobatan bakterial non spesifik.
g. Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan
    riwayat hubungan seksual.

Faktor Risiko
a. Paparan udara yang dingin.
b. Menurunnya daya tahan tubuh.
c. Konsumsi makanan yang kurang gizi.
d. Iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, makanan, refluks asam
    lambung, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis,
    eksudat (virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak
    menghasilkan eksudat). Pada coxsachievirus dapat menimbulkan lesi
    vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash.
b. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring
    dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa
    hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring.
    Kadang ditemukan kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan
    nyeri pada penekanan.
c. Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih diorofaring dan
    pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.
d. Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa
    di bawah mukosa faring dan lateral lateral band hiperplasi. Pada
    pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan
    bergranular (cobble stone).
e. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring
    ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa
    kering.
f. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma perkejuan
    pada mukosa faring dan laring.
g. Faringitis luetika tergantung stadium penyakit:
   1. Stadium primer
       Pada lidah palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring
       berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi berlanjut timbul ulkus pada
       daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri. Juga
       didapatkan pembesaran kelenjar mandibula
   2. Stadium sekunder
       Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring terdapat eritema
       yang menjalar ke arah laring.
   3. Stadium tersier
       Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum.

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan darah lengkap.
b. Terinfeksi jamur, menggunakan slide dengan pewarnaan KOH.
c. Pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan gram.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang bila diperlukan.

Klasifikasi faringitis

a. Faringitis Akut
1. Faringitis Viral
    Dapat disebabkan oleh rinovirus, adenovirus, Epstein Barr Virus
    (EBV), virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus, dan lain-lain.
    Pada adenovirus juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama
    pada anak.
2. Faringitis Bakterial
    Infeksi grup A stereptokokus beta hemolitikus merupakan penyebab
    faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%).
    Faringitis akibat infeksi bakteri streptococcus group A dapat
    diperkirakan dengan menggunakan Centor criteria, yaitu :
    • Demam
    • Anterior Cervical lymphadenopathy
    • Eksudat tonsil
    • Tidak adanya batuk
    Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor 1. Bila skor 0-1 maka
    pasien tidak mengalami faringitis akibat infeksi streptococcus group
    A, bila skor 1-3 maka pasien memiliki kemungkian 40% terinfeksi
          streptococcus group A dan bila skor 4 pasien memiliki kemungkinan
         50% terinfeksi streptococcus group A.
3. Faringitis Fungal
    Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring.
4. Faringitis Gonorea
    Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital

b. Faringitis Kronik
1. Faringitis Kronik Hiperplastik
    Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding
    posterior faring.
2. Faringitis Kronik Atrofi
    Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis
    atrofi. Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta
    kelembapannya sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi
    pada faring.

c. Faringitis Spesifik
1. Faringitis Tuberkulosis
    Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Pada infeksi
    kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul tuberkulosis faring
    primer. Cara infeksi eksogen yaitu kontak dengan sputum yang
    mengandung kuman atau inhalasi kuman melalui udara. Cara infeksi
    endogen yaitu penyebaran melalui darah pada tuberculosis miliaris
2. Faringitis Luetika
    Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring,
    seperti juga penyakit lues di organ lain. Gambaran klinik tergantung
    stadium penyakitnya.

Diagnosis Banding: -

Komplikasi

a. Sinusitis
b. Otitis media
c. Epiglotitis
d. Abses peritonsilar
e. Abses retrofaringeal.
f. Septikemia
g. Meningitis
h. Glomerulonefritis
i. Demam rematik akut

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Istirahat cukup
b. Minum air putih yang cukup
c. Berkumur dengan air yang hangat dan berkumur dengan obat kumur
    antiseptik untuk menjaga kebersihan mulut. Pada faringitis fungal
    diberikan Nystatin 100.000-400.000 IU, 2 x/hari. Untuk faringitis kronik
    hiperplastik terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan
    memakai zat kimia larutan nitras argentin 25%.
d. Untuk infeksi virus, dapat diberikan anti virus metisoprinol
    (isoprenosine) dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari
    pada orang dewasa dan pada anak <5 tahun diberikan 50 mg/kgBB
    dibagi dalam 4-6 x/hari.
e. Untuk faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya
    streptococcus group A, diberikan antibiotik Penicillin G Benzatin 50.000
    U/kgBB/IM dosis tunggal bila pasien tidak alergi penisilin, atau
    Amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 x/hari selama 10 hari dan pada
    dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hari, atau Eritromisin 4 x 500 mg/hari.
f. Pada faringitis gonorea, dapat diberikan sefalosporin generasi ke-3,
    seperti Ceftriakson 2 gr IV/IM single dose.
g. Pada faringitis kronik hiperplastik, penyakit hidung dan sinus paranasal
    harus diobati. Pada faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada
    rhinitis atrofi. Sedangkan, pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan
    kaustik 1 x/hari selama 3-5 hari.
h. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran.
i. Selain antibiotik, kortikosteroid juga diberikan untuk menekan reaksi
    inflamasi sehingga mempercepat perbaikan klinis. Steroid yang
    diberikan dapat berupa deksametason 3 x 0,5 mg pada dewasa selama 3
    hari dan pada anak-anak 0,01 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 x/hari
    selama 3 hari.

Konseling dan Edukasi
Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
a. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan
    olahraga teratur.
b. Berhenti merokok bagi anggota keluarga yang merokok.
c. Menghindari makan makanan yang dapat mengiritasi tenggorok.
d. Selalu menjaga kebersihan mulut
e. Mencuci tangan secara teratur

Pemeriksaan penunjang lanjutan (bila diperlukan)
a. Kultur resistensi dari swab tenggorok.
b. GABHS rapid antigen detection test bila dicurigai faringitis akibat infeksi
    bakteri streptococcus group AKriteria

Rujukan

a. Faringitis luetika.
b. Timbul komplikasi: epiglotitis, abses peritonsiler, abses retrofaringeal,
    septikemia, meningitis, glomerulonefritis, demam rematik akut.

Sarana Prasarana

a. Lampu kepala
b. Spatula lidah
c. Lidi kapas
d. Pemeriksaan laboratorium sederhana
e. Larutan KOH
f. Pewarnaan gram
g. Obat-obatan: antibiotik, antiviral, obat batuk antitusif atau ekspektoran,
    obat kumur antiseptik.

Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam, namun hal ini bergantung pada jenis dan
komplikasinya.




sumber gambar : http://www.healthline.com/health/sore-throat#Overview1

Wednesday, 6 May 2015

TONSILITIS

Tonsilitis

No. ICPC II : R76 Tonsillitis acute
No. ICD X : Acute tonsillitis, unspecified
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina
(tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius
(lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil).
Penyakit ini banyak diderita oleh anak-anak berusia 3 sampai 10 tahun dan
anak remaja berusia 15 hingga 25 tahun.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada tenggorokan.
Gejala lainnya tergantung penyebab tonsilitis.

a. Penderita tonsilitis akut awalnya mengeluh rasa kering di tenggorokan,
kemudian berubah menjadi rasa nyeri di tenggorokan dan nyeri saat
menelan. Rasa nyeri semakin lama semakin bertambah sehingga anak
menjadi tidak mau makan. Nyeri hebat ini dapat menyebar sebagai
referred pain ke sendi-sendi dan telinga. Nyeri pada telinga (otalgia)
tersebut tersebar melalui nervus glossofaringeus (IX). Keluhan lainnya
berupa demam yang dapat sangat tinggi sampai menimbulkan kejang
pada bayi dan anak-anak. Rasa nyeri kepala, badan lesu dan nafsu
makan berkurang sering menyertai pasien tonsilitis akut. Suara pasien
terdengar seperti orang yang mulutnya penuh terisi makanan panas.
Keadaan ini disebut plummy voice/ hot potato voice. Mulut berbau (foetor
ex ore) dan ludah menumpuk dalam kavum oris akibat nyeri telan yang
hebat (ptialismus). Tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang
disertai rasa nyeri tenggorokan.

b. Pada tonsilitis kronik, pasien mengeluh ada penghalang/ mengganjal di
tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan pernafasan berbau
(halitosis).

c. Pada Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa) gejala yang
timbul adalah demam tinggi (39˚C), nyeri di mulut, gigi dan kepala, sakit
tenggorokan, badan lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi.

Faktor Risiko

a. Faktor usia, terutama pada anak.
b. Penurunan daya tahan tubuh.
c. Rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu).
d. Higiene rongga mulut yang kurang baik.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a. Tonsilitis akut: pada pemeriksaan ditemukan tonsil yang udem (ukuran
membesar), hiperemis dan terdapat detritus yang memenuhi permukaan
tonsil baik berbentuk folikel, lakuna, atau pseudomembran. Bentuk
tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis,
bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur alur maka
akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar
sehingga terbentuk membran semu (pseudomembran) yang menutupi
ruang antara kedua tonsil sehingga tampak menyempit. Palatum mole,
arkus anterior dan arkus posterior juga tampak udem dan hiperemis.
Kelenjar submandibula yang terletak di belakang angulus mandibula
terlihat membesar dan ada nyeri tekan.

b. Tonsilitis kronik: pada pemeriksaan fisik ditemukan tampak tonsil
membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar, dan
kriptus berisi detritus. Tanda klinis pada Tonsilitis Kronis yang sering
muncul adalah kripta yang melebar, pembesaran kelenjar limfe
submandibula dan tonsil yang mengalami perlengketan. Tanda klinis
tidak harus ada seluruhnya, minimal ada kripta yang melebar dan
pembesaran kelenjar limfe submandibular.

c. Tonsilitis difteri: pada pemeriksaan ditemukan tonsil membengkak
ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan
membentuk pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga
bila diangkat akan mudah berdarah.

d. Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan
mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak
permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat
dibagi menjadi:

1. T0: tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat.

2. T1: <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau
batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar
anterior uvula.

3. T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaringatau
batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½
jarak pilar anterior-uvula.

4. T3: 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
atau batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai
¾ jarak pilar anterior-uvula.

5. T4: > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau
batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula sampai
uvula atau lebih.

 
Gambar 20. Gradasi pembesaran tonsil

Pemeriksaan Penunjang: bila diperlukan
a. Darah lengkap
b. Usap tonsil untuk pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan gram

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan untuk
diagnosis definitif dengan pemeriksaan penunjang.

Klasifikasi tonsilitis:
a. Tonsilitis Akut
1. Tonsilitis viral
Virus Epstein Barr adalah penyebab paling sering. Jika terjadi
infeksivirus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan
tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri
dirasakan pasien.
2. Tonsilitis bakterial
Peradangan akut tonsil yang dapat disebabkan oleh kuman grup A
stereptococcus beta hemoliticus yang dikenal sebagai strept throat,
pneumococcus, streptococcus viridan dan streptococcus piogenes.
Haemophilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut
supuratif. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan
menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Masa inkubasi 2-4
hari.

b. Tonsilitis Membranosa
1. Tonsilitis difteri
     Tonsilitis ini disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.
     Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit.
     Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah. Titer
     antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup
     memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi menjadi 3 golongan
     besar, umum, lokal dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama
     seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak
     nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan.
     Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak
     putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk
     pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila
     diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat endotoksin dapat
     menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung
     dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf
     kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot
     pernafasan, pesudomembran yang meluas ke faringolaring dapat
     menyebabkan sumbatan jalan nafas atas yang merupakan keadaan
     gawat darurat serta pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.

2. Tonsilitis septik
     Penyebab tonsilitis septik adalah Streptococcus hemoliticus yang
     terdapat dalam susu sapi sehingga menimbulkan epidemi. Oleh
     karena itu di Indonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara
     pasteurisasi sebelum diminum maka penyakit ini jarang ditemukan.

3. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)
    Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema
    yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang
    dan defisiensi vitamin C.

4. Penyakit keganasan
    Pembesaran tonsil dapat merupakan manifestasi dari suatu
    keganasan seperti limfoma maligna atau karsinoma tonsil. Biasanya
    ditemukan pembesaran tonsil yang asimetris.

c. Tonsilitis Kronik
    Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok,
    beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
    kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

Diagnosis Banding

a. Faringitis.
b. Tumor tonsil.

Komplikasi

a. Komplikasi lokal
1. Abses peritonsil (Quinsy)
2. Abses parafaringeal
3. Otitis media akut

b. Komplikasi sistemik
1. Glomerulonephritis
2. Miokarditis
3. Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Istirahat cukup
b. Makan makanan lunak dan menghindari makan makanan yang
    mengiritasi
c. Menjaga kebersihan mulut
d. Pemberian obat topikal dapat berupa obat kumur antiseptik
e. Pemberian obat oral sistemik
    1. Pada tonsilitis viral istirahat, minum cukup, analgetika, antivirus
        diberikan bila gejala berat. Antivirus metisoprinol
        (isoprenosine)diberikan pada infeksi virus dengan dosis 60-
       100mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang
       dewasa dan pada anak <5tahun diberikan 50mg/kgBB dibagi dalam
       4-6 kali pemberian/hari.
    2. Tonsilitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya
         streptococcus group A, diberikan antibiotik yaitu Penicillin G
        Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau Amoksisilin 50 mg/
        kgBB dosis dibagi 3 kali/ hari selama 10 hari dan pada dewasa
        3x500 mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4x500 mg/hari. Selain
        antibiotik juga diberikan kortikosteroid karena steroid telah
         menunjukkan perbaikan klinis yang dapat menekan reaksi inflamasi.
        Steroid yang dapat diberikan berupa deksametason 3x0,5 mg pada
       dewasa selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01 mg/kgBB/hari dibagi
        3 kali pemberian selama 3 hari.
   3. Pada tonsilitis difteri, Anti Difteri Serum diberikan segera tanpa
       menunggu hasil kultur, dengan dosis 20.000-100.000 unit
        tergantung umur dan jenis kelamin. Antibiotik penisilin atau
         eritromisin 25-50 mg/kgBB/hari. Antipiretik untuk simptomatis dan
        pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat tidur
       selama 2-3 minggu.
   4. Pada Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa) diberikan
        antibiotik spektrum luas selama 1 minggu, dan pemberian vitamin C
         serta vitamin B kompleks.

Pengobatan tonsilitis kronik:

a. Diberikan obat-obatan simptomatik dan obat kumur yang
    mengandung desinfektan.
b. Indikasi tonsilektomi.
     Indikasi Tonsilektomi
      Menurut Health Technology Assessment, Kemenkes tahun 2004, indikasi
     tonsilektomi, yaitu:
     a. Indikasi Absolut:
         1. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran nafas,
              disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmonar
         2. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
             drainase
         3. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
         4. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
               anatomi
       b. Indikasi Relatif:
            1. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
                 antibiotik adekuat
            2. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
                 pemberian terapi medis
            3. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptococcus yang tidak
                membaik dengan pemberian antibiotik laktamase resisten.

Konseling dan Edukasi

Memberitahu individu dan keluarga untuk:
a. Melakukan pengobatan yang adekuat karena risiko kekambuhan cukup
    tinggi.
b. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan
     olahraga teratur.
c. Berhenti merokok.
d. Selalu menjaga kebersihan mulut.
e. Mencuci tangan secara teratur.
f. Menghindari makanan dan minuman yang mengiritasi.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan

Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri.

Rencana Tindak Lanjut

Memberikan laporan ke dinkes setempat jika terdapat kasus tonsilitis difteri.

Kriteria Rujukan

Segera rujuk jika terjadi:
a. Komplikasi tonsilitis akut: abses peritonsiler, septikemia, meningitis,
    glomerulonephritis, demam rematik akut.
b. Adanya indikasi tonsilektomi.
c. Pasien dengan tonsilitis difteri.

Sarana Prasarana

a. Lampu kepala
b. Spatula lidah
c. Lidi kapas
d. Pemeriksaan laboratorium sederhana
e. Larutan KOH
f. Pewarnaan gram
g. Termometer
h. Obat-obatan: antiviral, antibiotik, obat kumur antiseptic

Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam jika pengobatan adekuat dan kebersihan
mulut baik.


Friday, 26 December 2014

GANGGUAN PSIKOTIK

Gangguan Psikotik














 Sumber gambar :  http://www.istanafm.com/wp-content/uploads/2014/05/orang-gila.jpg


No. ICPC II : P98 Psychosis NOS/other
No. ICD X PC : F20# Chronic Psychotic Disorder
Tingkat Kemampuan: 3A

Masalah Kesehatan

Gangguan yang ditandai dengan ketidakmampuan atau hendaya berat dalam
menilai realita, berupa sindroma (kumpulan gejala), antara lain
dimanifestasikan dengan adanya halusinasi dan waham.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien mungkin datang dengan keluhan:
a. Sulit berpikir/sulit berkonsentrasi
b. Tidak dapat tidur, tidak mau makan
c. Perasaan gelisah, tidak dapat tenang, ketakutan
d. Bicara kacau yang tidak dapat dimengerti
e. Mendengar suara orang yang tidak dapat didengar oleh orang lain
f. Adanya pikiran aneh yang tidak sesuai realita
g. Marah tanpa sebab yang jelas, kecurigaan yang berat, perilaku kacau,
    perilaku kekerasan
h. Menarik diri dari lingkungannya dan tidak merawat diri dengan baik

Alo dan Auto Anamnesis tambahan:
Singkirkan adanya kemungkinan penyakit fisik (seperti demam tinggi, kejang,
trauma kepala) dan penggunaan zat psikoaktif sebagai penyebab timbulnya
keluhan.

Faktor Risiko
a. Adanya faktor biologis yang mempengaruhi, antara lain hiperaktivitas
    sistem dopaminergik dan faktor genetik.
b. Ciri kepribadian tertentu yang imatur, seperti ciri kepribadian skizoid,
    paranoid, dependen.
c. Adanya stresor kehidupan.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk menyingkirkan penyebab organik dari
psikotiknya (gangguan mental organik). Selain itu pasien dengan gangguan
psikotik juga sering terdapat gangguan fisik yang menyertai karena perawatan
diri yang kurang.

Pemeriksaan Penunjang
a. Dilakukan jika dicurigai adanya penyakit fisik yang menyertai untuk
    menyingkirkan diagnosis banding gangguan mental organik.
b. Apabila ada kesulitan dalam merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
    tingkat lanjut maka pada faskes primer yang mampu perlu dilakukan
    pemeriksaan penunjang yang sesuai seperti: darah perifer lengkap,
    elektrolit, gula darah, fungsi hati, fungsi ginjal, serta radiologi dan EKG.

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Kriteria diagnosis berdasarkan ICD 10-PC, yaitu:
a. Halusinasi (terutama halusinasi dengar); merupakan gangguan persepsi
    (persepsi palsu), tanpa adanya stimulus sensori eksternal. Halusinasi
    dapat terjadi pada setiap panca indra, yaitu halusinasi dengar, lihat,
    cium, raba, dan rasa.
b. Waham (delusi);merupakan gangguan pikiran, yaitu keyakinan yang
    salah, tidak sesuai dengan realita dan logika, namun tetap
    dipertahankan dan tidak dapat dikoreksi dengan cara apapun serta
    tidak sesuai dengan budaya setempat.
    Contoh: waham kejar, waham kebesaran, waham kendali, waham pengaruh.
    CONTOH : WAHAM KEBESARAN (MENJADI DA'I)
c. Perilaku kacau atau aneh
d. Gangguan proses pikir (terlihat dari pembicaraan yang kacau dan tidak
    dimengerti)
e. Agitatif
f. Isolasi sosial (social withdrawal)
g. Perawatan diri yang buruk

Diagnosis Banding
a. Gangguan Mental Organik (Delirium, Dementia, Psikosis Epileptik)
b. Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Zat (Napza)
c. Gangguan Afektif Bipolar/ Gangguan Manik
d. Gangguan Depresi (dengan gejala psikotik)

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a. Intervensi Psikososial
   1. Informasi penting bagi pasien dan keluarga
       • Agitasi dan perilaku aneh merupakan gejala gangguan mental,
          yang juga termasuk penyakit medis.
       • Episode akut sering mempunyai prognosis yang baik, tetapi
         perjalanan penyakit jangka panjang sulit diprediksi. Pengobatan
         perlu dilanjutkan meskipun setelah gejala mereda.
       • Gejala-gejala dapat hilang timbul. Diperlukan antisipasi dalam
         menghadapi kekambuhan. Obat merupakan komponen utama
         dalam pengobatan. Minum obat secara teratur akan mengurangi
         gejala-gejala dan mencegah kekambuhan.
       • Dukungan keluarga penting untuk ketaatberobatan (compliance)
         dan rehabilitasi.
       • Organisasi masyarakat dapat menyediakan dukungan yang
          berharga untuk pasien dan keluarga.
   2. Konseling pasien dan keluarga
      • Bicarakan rencana pengobatan dengan anggota keluarga dan
         minta dukungan mereka. Terangkan bahwa minum obat secara
         teratur dapat mencegah kekambuhan. Informasikan bahwa obat
         tidak dapat dikurangi atau dihentikan tiba-tiba tanpa persetujuan
        dokter. Informasikan juga tentang efek samping yang mungkin
         timbul dan cara penanggulangannya.
      • Dorong pasien untuk melakukan fungsinya dengan seoptimal
         mungkin di pekerjaan dan aktivitas harian lain.
      • Dorong pasien untuk menghargai norma dan harapan masyarakat
        (berpakaian, berpenampilan dan berperilaku pantas).
      • Menjaga keselamatan pasien dan orang yang merawatnya pada
        fase akut:
                a) Keluarga atau teman harus menjaga pasien.
                b) Pastikan kebutuhan dasar terpenuhi (misalnya makan dan
                     minum).
                c) Jangan sampai mencederai pasien.
      • Meminimalisasi stres dan stimulasi:
               a) Jangan mendebat pikiran psikotik (anda boleh tidak setuju
                   dengan keyakinan pasien, tetapi jangan mencoba untuk
                   membantah bahwa pikiran itu salah). Sedapat mungkin
                   hindari konfrontasi dan kritik.
               b) Selama masa gejala-gejala menjadi lebih berat, istirahat dan
                   menghindari stres dapat bermanfaat.
      • Agitasi yang berbahaya untuk pasien, keluarga dan masyarakat
         memerlukan rawat inap atau pengamatan ketat di tempat yang
         aman.

b. Farmakologi
1. Berikan obat antipsikotik:
    Haloperidol 2-3 x 2-5 mg/hari atau
    Risperidon 2x 1-3 mg/hari atau
    Klorpromazin 2-3 x 100-200mg/hari.
    Untuk haloperidol dan risperidon dapat digabungkan
    dengan benzodiazepin (contoh: diazepam 2-3 x 5 mg, lorazepam 1-3 x
    1-2 mg) untuk mengurangi agitasi dan memberikan efek sedasi.
     Benzodiazepin dapat ditappering-off setelah 2-4 minggu.
     Catatan: klorpromazin memiliki efek samping hipotensi ortostatik.
2. Intervensi sementara untuk gaduh gelisah dapat diberikan injeksi
    intra muskular haloperidol kerja cepat (short acting) 5 mg, dapat
    diulangi dalam 30 menit - 1 jam jika belum ada perubahan yang
    signifikan, dosis maksimal 30 mg/hari. Atau dapat juga dapat
    diberikan injeksi intra muskular klorpromazin 2-3 x 50 mg. Untuk
    pemberian haloperidol dapat diberikan tambahan injeksi intra
    muskular diazepam untuk mengurangi dosis antipsikotiknya dan
    menambah efektivitas terapi. Setelah stabil segera rujuk ke RS/RSJ.
3. Untuk pasien psikotik kronis yang tidak taat berobat, dapat
    dipertimbangkan untuk pemberian injeksi depo (jangka panjang)
    antipsikotik seperti haloperidol decanoas 50 mg atau fluphenazine
    decanoas 25 mg. Berikan injeksi I.M ½ ampul terlebih dulu untuk 2
    minggu, selanjutnya injeksi 1 ampul untuk 1 bulan. Obat oral jangan
    diberhentikan dahulu selama 1-2 bulan, sambil dimonitor efek
    samping, lalu obat oral turunkan perlahan.
4. Jika timbul efek samping ekstrapiramidal seperti tremor, kekakuan,
    akinesia, dapat diberikan triheksifenidil 2-4 x 2 mg; jika timbul
    distonia akut berikan injeksi diazepam atau difenhidramin, jika
    timbul akatisia (gelisah, mondar mandir tidak bisa berhenti bukan
    akibat gejala) turunkan dosis antipsikotik dan berikan beta-blocker,
    propranolol 2-3 x 10-20 mg.

c. Kunjungan Rumah (home visit)
    Kunjungan rumah dilakukan sesuai indikasi untuk:
    1. Memastikan kepatuhan dan kesinambungan pengobatan
    2. Melakukan asuhan keperawatan
    3. Melakukan pelatihan bagi pelaku rawat

Kriteria Rujukan

a. Pada kasus baru dapat dirujuk untuk konfirmasi diagnostik ke
    fasyankes sekunder yang memiliki pelayanan kesehatan jiwa setelah
    dilakukan penatalaksanaan awal.
b. Kondisi gaduh gelisah yang membutuhkan perawatan inap karena
    berpotensi membahayakan diri atau orang lain segera dirujuk setelah
    penatalaksanaan awal.

Sarana Prasarana

Alat restraint (fiksasi), alat transportasi untuk merujuk (bila tersedia).

Prognosis

Untuk ad Vitam adalah ad bonam, ad fungsionam adalah dubia, dan ad
sanationam adalah dubia.



Sumber gambar :  http://www.istanafm.com/wp-content/uploads/2014/05/orang-gila.jpg

Thursday, 25 December 2014

GANGGUAN CAMPURAN ANXIETAS DAN DEPRESI

Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi


No. ICPC II : P74 Anxiety Disorder (anxiety state)
No. ICD X : F41.2 Mixed Anxiety and Depression Disorder
Tingkat Kemampuan: 3A

Masalah Kesehatan

Gangguan yang ditandai oleh adanya gejala-gejala anxietas (kecemasan) dan
depresi bersama-sama, dan masing-masing gejala tidak menunjukkan
rangkaian gejala yang cukup berat untuk dapat ditegakkannya suatu
diagnosis tersendiri. Untuk gejala anxietas, beberapa gejala autonomik harus
ditemukan, walaupun tidak terus menerus, di samping rasa cemas atau
khawatir berlebihan.

Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Biasanya pasien datang dengan keluhan fisik seperti: nafas pendek/cepat,
berkeringat, gelisah, gangguan tidur, mudah lelah, jantung berdebar,
gangguan lambung, diare, atau bahkan sakit kepala yang disertai dengan rasa
cemas/khawatir berlebihan.

Allo dan Auto Anamnesis tambahan:
a. Adanya gejala seperti minat dalam melakukan aktivitas/semangat yang
    menurun, merasa sedih/murung, nafsu makan berkurang atau
    meningkat berlebihan, sulit berkonsentrasi, kepercayaan diri yang
    menurun, pesimistis.
b. Keluhan biasanya sering terjadi, atau berlangsung lama, dan terdapat
    stresor kehidupan.
c. Menyingkirkan riwayat penyakit fisik dan penggunaan zat (alkohol,
    tembakau, stimulan, dan lain-lain

Faktor Risiko
a. Adanya faktor biologis yang mempengaruhi, antara lain hiperaktivitas
    sistem noradrenergik, faktor genetik.
b. Ciri kepribadian tertentu yang imatur dan tidak fleksibel, seperti ciri
    kepribadian dependen, skizoid, anankastik, cemas menghindar.
c. Adanya stresor kehidupan.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
Respirasi meningkat, tekanan darah dapat meningkat, dan tanda lain sesuai
keluhan fisiknya.

Pemeriksaan penunjang
Laboratorium dan penunjang lainnya tidak ditemukan adanya tanda yang
bermakna. Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk menyingkirkan
diagnosis banding sesuai keluhan fisiknya.

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Kriteria diagnosis berdasarkan ICD 10, yaitu: adanya gejala-gejala kecemasan
dan depresi yang timbul bersama-sama, dan masing-masing gejala tidak
menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk dapat ditegakkannya
suatu diagnosis tersendiri.
a. Gejala-gejala kecemasan antara lain:
   1. Kecemasan atau khawatir berlebihan, sulit berkonsentrasi
   2. Ketegangan motorik: gelisah, sakit kepala, gemetaran, tegang, tidak
       dapat santai
   3. Aktivitas autonomik berlebihan: palpitasi, berkeringat berlebihan,
       sesak nafas, mulut kering,pusing, keluhan lambung, diare.
b. Gejala-gejala depresi antara lain:
   1. Suasana perasaan sedih/murung.
   2. Kehilangan minat/kesenangan (menurunnya semangat dalam
       melakukan aktivitas)
   3. Mudah lelah
   4. Gangguan tidur
   5. Konsentrasi menurun
   6. Gangguan pola makan
   7. Kepercayaan diri yang berkurang
   8. Pesimistis
   9. Rasa tidak berguna/rasa bersalah

Diagnosis Banding
a. Gangguan Cemas (Anxietas) Organik
b. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat
c. Gangguan Depresi
d. Gangguan Cemas Menyeluruh
e. Gangguan Panik
f. Gangguan Somatoform

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
a. Non-farmakologi
   1. Konseling dan edukasi pada pasien dan keluarga
       • Karena gangguan campuran cemas depresi dapat mengganggu
         produktivitas pasien, keluarga perlu memahami bahwa hal ini
         bukan karena pasien malas atau tidak mau mengerjakan
         tugasnya, melainkan karena gejala-gejala penyakitnya itu sendiri,
         antara lain mudah lelah serta hilang energi. Oleh sebab itu,
         keluarga perlu memberikan dukungan agar pasien mampu dan
         dapat mengatasi gejala penyakitnya.
       • Gangguan campuran anxietas dan depresi kadang-kadang
         memerlukan pengobatan yang cukup lama, diperlukan dukungan
         keluarga untuk memantau agar pasien melaksanakan
         pengobatan dengan benar, termasuk minum obat setiap hari.
   2. Intervensi Psikososial
      • Lakukan penentraman (reassurance) dalam komunikasi
         terapeutik, dorong pasien untuk mengekspresikan pikiran
         perasaan tentang gejala dan riwayat gejala.
      • Beri penjelasan adanya pengaruh antara faktor fisik dan
         psikologis, termasuk bagaimana faktor perilaku, psikologik dan
         emosi berpengaruh mengeksaserbasi gejala somatik yang
         mempunyai dasar fisiologik.
      • Bicarakan dan sepakati rencana pengobatan dan follow-up,
         bagaimana menghadapi gejala, dan dorong untuk kembali ke
         aktivitas normal.
      • Ajarkan teknik relaksasi (teknik nafas dalam)
      • Anjurkan untuk berolah raga teratur atau melakukan aktivitas
         yang disenangi serta menerapkan perilaku hidup sehat.
      • Ajarkan untuk selalu berpikir positif dan manajemen stres
         dengan baik.

b. Farmakologi:
   1. Untuk gejala kecemasan maupun depresinya, diberikan antidepresan
       dosis rendah, dapat dinaikkan apabila tidak ada perubahan yang
       signifikan setelah 2-3 minggu:
       fluoksetin 1x10-20 mg/hari atau
       sertralin 1x25-50 mg/hari atau
       amitriptilin 1x12,5-50 mg/hari atau
       imipramin1-2x10-25 mg/hari.
       Catatan: amitriptilin dan imipramin tidak boleh diberikan
       pada pasien dengan penyakit jantung, dan pemberian berhati-hati
       untuk pasien lansia karena efek hipotensi ortostastik
       (dimulai dengan dosis minimal efektif).
   2. Pada pasien dengan gejala kecemasan yang lebih dominan dan atau
       dengan gejala insomnia dapat diberikan kombinasi Fluoksetin atau
       sertralin dengan antianxietas benzodiazepin. Obat-obatan
       antianxietas jenis benzodiazepin yaitu: diazepam 1 x 2-5 mg atau
        lorazepam 1-2x0,5-1 mg atau klobazam 2 x 5-10 mg atau alprazolam
       2 x 0,25-0,5mg. Setelah kira-kira 2-4 minggu benzodiazepin
       ditappering-off perlahan, sementara antidepresan diteruskan hingga
       4-6 bulan sebelum di tappering-off. Hati-hati potensi penyalahgunaan
       pada alprazolam karena waktu paruh yang pendek.

Kriteria Rujukan

Pasien dapat dirujuk setelah didiagnosis mengalami gangguan ini, terutama
apabila gejala progresif dan makin bertambah berat yang menunjukkan gejala
depresi seperti pasien menolak makan, tidak mau merawat diri, ada
ide/tindakan bunuh diri; atau jika tidak ada perbaikan yang signifikan dalam
2-3 bulan terapi.

Sarana Prasarana

Tidak ada sarana prasarana khusus.

Prognosis

Pada umumnya prognosis gangguan ini adalah bonam.




Sumber gambar :  http://obatdepresi.com/wp-content/uploads/2012/09/depresi-hamilthebill-dalam.jpg