Pages

Thursday, 29 May 2014

BLEFARITIS (RADANG KELOPAK MATA)

Blefaritis

 
No. ICPC II : F72 Blepharitis/stye/chalazion
No. ICD X : H01.0 Blepharitis
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Blefaritis adalah radang pada tepi kelopak mata (margo palpebra) dapat
disertai terbentuknya ulkus/ tukak pada tepi kelopak mata, serta dapat
melibatkan folikel rambut.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan gatal pada tepi kelopak mata. Dapat disertai
keluhan lain berupa merasa ada sesuatu di kelopak mata, panas pada tepi
kelopak mata dan kadang-kadang disertai rontok bulu mata. Selama tidur,
sekresi mata mengering sehingga ketika bangun kelopak mata sukar dibuka.

Faktor Risiko
a. Kondisi kulit seperti dermatitis seboroik.
b. Higiene dan lingkungan yang tidak bersih.
c. Kesehatan atau daya tahan tubuh yang menurun.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a. Skuama atau krusta pada tepi kelopak.
b. Tampak bulu mata rontok.
c. Dapat ditemukan tukak yang dangkal pada tepi kelopak mata.
d. Dapat terjadi pembengkakan dan merah pada kelopak mata.
e. Dapat terbentuk keropeng yang melekat erat pada tepi kelopak mata;
jika keropeng dilepaskan, bisa terjadi perdarahan.

Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik

Komplikasi

a. Blefarokonjungtivitis
b. Madarosis
c. Trikiasis

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Memperbaiki kebersihan dan membersihkan kelopak dari kotoran dapat
menggunakan sampo bayi.
b. Kelopak mata dibersihkan dengan kapas lidi hangat dan kompres
hangat selama 5-10 menit.
c. Apabila ditemukan tukak pada kelopak mata, salep atau tetes mata
seperti eritromisin, basitrasin atau gentamisin 2 tetes setiap 2 jam
hingga gejala menghilang.

Konseling dan Edukasi
a. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga bahwa kulit kepala,
alis mata, dan tepi palpebra harus selalu dibersihkan terutama pada
pasien dengan dermatitis seboroik.
b. Memberitahu pasien dan keluarga untuk menjaga higiene personal dan
lingkungan.

Kriteria Rujukan

Apabila tidak membaik dengan pengobatan optimal.

Sarana Prasarana

a. Senter
b. Lup

Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam, namun hal ini tergantung dari kondisi
pasien, ada/tidaknya komplikasi, serta pengobatannya.



Sumber gambar : 
 http://getdryeyetreatment.com/blog/wp-content/uploads/2012/08/chronic-blepharitis-treatment.jpg

Wednesday, 21 May 2014

KONJUNGTIVITIS (BELEKAN)

Konjungtivitis

Konjungtivitis infeksi

No. ICPC II : F70 Conjunctivitis infectious
No. ICD X : H10.9 Conjunctivitis, unspecified

Konjungtivitis alergi

No. ICPC II : F71 Conjunctivitis allergic
No ICD X : H10.1 Acute atopic conjunctivitis
Tingkat Kemampuan: 4A


Masalah Kesehatan

Konjungtivitis adalah radang konjungtiva yang dapat disebabkan oleh mikroorganisme (virus, bakteri), iritasi atau reaksi alergi. Konjungtivitis ditularkan melalui kontak langsung dengan sumber infeksi. Penyakit ini dapat
menyerang semua umur.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan mata merah, rasa mengganjal, gatal dan berair, kadang disertai sekret. Umumnya tanpa disertai penurunan tajam penglihatan.

Faktor Risiko
a. Daya tahan tubuh yang menurun
b. Adanya riwayat atopi
c. Penggunaan kontak lens dengan perawatan yang tidak baik
d. Higiene personal yang buruk

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik Oftalmologi
a. Tajam penglihatan normal
b. Injeksi konjungtiva
c. Dapat disertai edema kelopak, kemosis
d. Eksudasi; eksudat dapat serous, mukopurulen atau purulen tergantung penyebab.
e. Pada konjungtiva tarsal dapat ditemukan folikel, papil atau papil raksasa, flikten, membran dan pseudomembran.

Pemeriksaan Penunjang (bila diperlukan)
a. Sediaan langsung swab konjungtiva dengan perwarnaan Gram atau Giemsa
b. Pemeriksaan sekret dengan perwarnaan metilen blue pada kasus konjungtivitis gonore

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Konjungtivitis berdasarkan etiologi.
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi.

Klasifikasi Konjungtivitis
a. Konjungtivitis bakterial
Konjungtiva hiperemis, secret purulent atau mukopurulen dapat disertai membrane atau pseudomembran di konjungtiva tarsal.
b. Konjungtivitis viral
Konjungtiva hiperemis, secret umumnya mukoserous, dan pembesaran kelenjar preaurikular
c. Konjungtivitis alergi
Konjungtiva hiperemis, riwayat atopi atau alergi, dan keluhan gatal.

Komplikasi

Keratokonjuntivitis

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Usahakan untuk tidak menyentuh mata yang sehat sesudah menangani mata yang sakit
b. Sekret mata dibersihkan.
c. Pemberian obat mata topikal
   1. Pada infeksi bakteri: Kloramfenikol tetes sebanyak 1 tetes 6 kali sehari atau salep mata 3 kali sehari selama 3 hari.
   2. Pada alergi diberikan flumetolon tetes mata dua kali sehari selama 2 minggu.
   3. Pada konjungtivitis gonore diberikan kloramfenikol tetes mata 0,5-
1%sebanyak 1 tetes tiap jam dan suntikan pada bayi diberikan 50.000 U/kgBB tiap hari sampai tidak ditemukan kuman GO pada sediaan apus selama 3 hari berturut-turut.
   4. Konjungtivitis viral diberikan salep Acyclovir 3% lima kali sehari selama 10 hari.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Tidak diperlukan

Konseling dan Edukasi

Memberi informasi pada keluarga dan pasien mengenai:
a. Konjungtivitis mudah menular, karena itu sebelum dan sesudah membersihkan atau mengoleskan obat, penderita harus mencuci tangannya bersih-bersih.
b. Jangan menggunakan handuk atau lap bersama-sama dengan penghuni rumah lainnya.
c. Menjaga kebersihan lingkungan rumah dan sekitar.

Kriteria rujukan

a. Pada bayi dengan konjungtivitis gonore jika terjadi komplikasi pada kornea dilakukan rujukan ke spesialis mata.
b. Konjungtivitis alergi dan viral tidak ada perbaikan dalam 2 minggu rujuk ke spesialis mata
c. Konjungtivitis bakteri tidak ada perbaikan dalam 1 minggu rujuk ke spesialis mata.

Sarana Prasarana

a. Lup
b. Laboratorium sederhanauntuk pemeriksaan Giemsa
c. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan Gram
d. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan dengan metilen blue

Prognosis

Penyakit ini jarang menimbulkan kondisi klinis yang berat sehingga pada umumnya prognosisnya bonam.



Sumber gambar :
 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4GfxwCWHXIZrHpPy2DurlbfTFJ8TvimCpbWaKxYpKlGl2pq6Ymw0ULh0Xc5LJ9UxP-6OT2gEfPtbzqxTQyNjuqT_isCHZw6bxqgaUSFnMz6aQpBxImJn2t9Sy0q_YnhgVXWSr945esMLa/s1600/AcuteBacterialConjunctivitis1.jpg

Saturday, 17 May 2014

HORDEOLUM (BINTITAN)

Hordeolum


No. ICPC II : F72 Blepharitis/stye/chalazion
No. ICD X : H00.0 Hordeolum and other deep inflammation of eyelid
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Hordeolum adalah peradangan supuratif kelenjar kelopak mata. Biasanya merupakan infeksi Staphylococcus pada kelenjar sebasea kelopak.
Dikenal dua bentuk hordeolum internum dan eksternum.
Hordolum eksternum merupakan infeksi pada kelenjar Zeiss atau Moll.
 
Hordeolum internum merupakan infeksi kelenjar Meibom yang terletak di dalam tarsus.
 
Hordeolum mudah timbul pada individu yang menderita blefaritis dan konjungtivitis menahun.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan kelopak yang bengkak disertai rasa sakit.
Gejala utama hordeolum adalah kelopak yang bengkak dengan rasa sakit dan mengganjal, merah dan nyeri bila ditekan, serta perasaan tidak nyaman dan sensasi terbakar pada kelopak mata

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik Oftalmologis
Ditemukan kelopak mata bengkak, merah, dan nyeri pada perabaan. Nanah dapat keluar dari pangkal rambut (hordeolum eksternum). Apabila sudah terjadi abses dapat timbul undulasi.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Diagnosis Banding
a. Selulitis preseptal
b. Kalazion
c. Granuloma piogenik

Komplikasi

a. Selulitis palpebra.
b. Abses palpebra.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Mata dikompres hangat 4-6 kali sehari selama 15 menit setiap kalinya untuk membantu drainase. Tindakan dilakukan dengan mata tertutup.
b. Kelopak mata dibersihkan dengan air bersih atau pun dengan sabun atau sampo yang tidak menimbulkan iritasi, seperti sabun bayi. Hal ini dapat mempercepat proses penyembuhan. Tindakan dilakukan dengan
mata tertutup.
c. Jangan menekan atau menusuk hordeolum, hal ini dapat menimbulkan infeksi yang lebih serius.
d. Hindari pemakaian make-up pada mata, karena kemungkinan hal itu menjadi penyebab infeksi.
e. Jangan memakai lensa kontak karena dapat menyebarkan infeksi ke kornea.
f. Pemberian terapi topikal dengan Oxytetrasiklin salep mata atau kloramfenikol salep mata setiap 8 jam. Apabila menggunakan kloramfenikol tetes mata sebanyak 1 tetes tiap 2 jam.
g. Pemberian terapi oral sistemik dengan eritromisin 500 mg pada dewasa dan anak sesuai dengan berat badan atau dikloksasilin 4 kali sehari selama 3 hari.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Tidak diperlukan

Konseling dan Edukasi
Penyakit hordeolum dapat berulang sehingga perlu diberi tahu pasien dan keluarga untuk menjaga higiene dan kebersihan lingkungan

Rencana Tindak Lanjut
Bila dengan pengobatan konservatif tidak berespon dengan baik, maka prosedur pembedahan mungkin diperlukan untuk membuat drainase pada hordeolum.

Kriteria rujukan

a. Bila tidak memberikan respon dengan pengobatan konservatif.
b. Hordeolum berulang.

Sarana Prasarana

Peralatan bedah minor

Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam




Sumber gambar :
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/7a/Hordeolum.JPG
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5zuRrRz6vs54pO0iyXVpAMBmoUpuRYVv_KjpOCbvGsgpZ1-AyYWHwvhZevy7eyA4tYotJTqh7-DzcxNVx4i6h1cm1PfdkJE4s4PBAwfPJVpsVHbE6YpcFYBtgdnedW4eHMIyY3tnU2wQ_/s1600/hordeolum_stye.jpg
https://encrypted-tbn3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTDZj2K52PHY_qwi0h-hWFj-F4_9oAl_4VIrl4EMsXj3JuypsbR

Thursday, 15 May 2014

BUTA SENJA (BUTA AYAM)

Buta Senja







No. ICPC II : F99 Eye/adnexa disease other
No. ICD X :
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Buta senja/ rabun senja disebut juga nyctalopia atau hemarolopia adalah ketidakmampuan untuk melihat dengan baik pada malam hari atau pada keadaan gelap. Kondisi ini lebih merupakan gejala dari kelainan yang mendasari. Hal ini terjadi karena kelainan sel batang retina untuk penglihatan gelap.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Penglihatan menurun pada malam hari atau pada keadaan gelap, sulit beradaptasi pada cahaya yang redup.

Faktor Risiko
a. Defisiensi vitamin A
b. Retinitis pigmentosa

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan tanda-tanda defisiensi vitamin A:
a. Terdapat bercak bitot pada konjungtiva.

b. Kornea mata kering/kornea serosis.

c. Kulit tampak kering dan bersisik.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
Bila disebabkan oleh defisiensi vitamin A diberikan vitamin A dosis tinggi.

Konseling dan Edukasi
Memberitahu keluarga adalah gejala dari suatu penyakit, antara lain; defisiensi vitamin A sehingga harus dilakukan pemberian vitamin A dan cukup kebutuhan gizi.

Sarana Prasarana

a. Lup
b. Oftalmoskop

Prognosis

Untuk quo ad vitam dan sanationam umumnya bonam, namun fungsionam dapat dubia ad bonam karena terganggunya fungsi penglihatan.



Sumber gambar :
http://medicastore.com/images/Keratomalasia.JPG
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAfukdbpCR-0bOGWjNhyphenhyphenkJIolZPa_RpAx32vpal9KKCT46T3AkzIiHl56y-rfCVNpRHocsI9e063MmsN3r1295CgLF9pRjtglgHsHBHu5NieU3IueGv5xmLM8IzRGdjkH3CnYPSJLDwSE/s1600/Foto-0024.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJ3JAg2uwar-JJQj7oEB-M1GgBPb5GTEzH_-6-UPKgvlAb-zfccV1A5CtFklCAtKs8vwnja4QAc3ZI1OWBT8qwyJbGQB7WosoKoICcJSEFgjDTfg8xEcQyMd44XbqObAypHzFDMH6It1c/s1600/Foto-0026.jpg

MATA KERING (DRY EYE)

Mata Kering/Dry eye



No. ICPC II : F99 Eye/adnexa disease other
No. ICD X : H04.1 Other disorders of lacrimal gland
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Mata kering adalah suatu keadaan keringnya permukaan kornea dan konjungtiva yang diakibatkan berkurangnya produksi komponen air mata (musin, akueous, dan lipid). Mata kering merupakan salah satu gangguan yang sering pada mata, persentase insiden sekitar 10-30% dari populasi, terutama pada orang yang usianya lebih dari 40 tahun dan 90% terjadi pada wanita.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan mata terasa gatal, seperti berpasir. Keluhan dapat disertai sensasi terbakar, merah, dan perih.

Faktor Risiko
a. Usia, makin lanjut usia semakin tinggi angka kejadiannya.
b. Penggunaan komputer dalam waktu lama.
c. Penyakit sistemik, seperti: sindrom Sjogren, sklerosis sistemik progresif, sarkoidosis, leukimia, limfoma, amiloidosis, hemokromatosis.
d. Penggunaan lensa kontak.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik Oftalmologis
a. Visus normal.
b. Terdapat foamy tears pada konjungtiva forniks.
c. Penilaian produksi air mata dengan tes Schirmer menunjukkan hasil <10 mm (N = >20 mm).


Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi.

Komplikasi

a. Keratitis
b. Penipisan kornea
c. Infeksi sekunder oleh bakteri
d. Neovaskularisasi kornea

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
Pemberian air mata buatan (karboksimetilselulosa tetes mata)

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Tidak diperlukan

Konseling dan Edukasi
Keluarga dan pasien harus mengerti bahwa mata kering adalah keadaan menahun dan pemulihan total sukar terjadi, kecuali pada kasus ringan, saat perubahan epitel pada kornea dan konjungtiva masih reversibel.

Kriteria rujukan

Dilakukan rujukan ke spesialis mata jika timbul komplikasi.

SaranaPrasarana

a. Lup
b. Strip Schirmer (kertas saring Whatman No. 41)

Prognosis

Prognosis pada umumnya adalah bonam, terkendali dengan pengobatan air mata buatan.

Sumber gambar :
http://optitecheyecare.com/images/schirmer_detail.jpg
http://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/atlas/photos/Schirmer-test.jpg



Saturday, 10 May 2014

KOLESISTITIS (RADANG KANDUNG EMPEDU)

Kolesistitis


No. ICPC II : D98 Cholecystitis/cholelithiasis
No. ICD X : K81.9 Cholecystitis, unspecified
Tingkat Kemampuan: 3B

Masalah Kesehatan

Kolesistitis adalah reaksi inflamasi akut atau kronis dinding kandung empedu.
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu.
Kolesistitis akut tanpa batu merupakan penyakit yang serius dan cenderung timbul setelah terjadinya cedera, pembedahan, luka bakar, sepsis, penyakit penyakit yang parah (terutama penderita yang menerima makanan lewat infus dalam jangka waktu yang lama).
Kolesistitis kronis adalah peradangan menahun dari dinding kandung empedu, yang ditandai dengan serangan berulang dari nyeri perut yang tajam dan hebat. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita dan angka
kejadiannya meningkat pada usia diatas 40 tahun.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan:
Kolesistitis akut:
  a. Demam
  b. Kolik perut di sebelah kanan atas atau epigastrium dan teralihkan ke bawah angulus scapula dexter, bahu kanan atau yang ke sisi kiri, kadang meniru nyeri angina pectoris, berlangsung 30-60 menit tanpa peredaan, berbeda dengan spasme yang cuma berlangsung singkat pada kolik bilier.
  c. Serangan muncul setelah konsumsi makanan besar atau makanan berlemak di malam hari malam.
  d. Flatulens dan mual

Kolesistitis kronik :
  a. Gangguan pencernaan menahun
  b. Serangan berulang namun tidak mencolok.
  c. Mual, muntah dan tidak tahan makanan berlemak
  d. Nyeri perut yang tidak jelas (samar-samar) disertai dengan sendawa.

Faktor risiko
Adanya riwayat kolesistitis akut sebelumnya.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
  a. Ikterik bila penyebab adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik
  b. Teraba massa kandung empedu
  c. Nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis lokal, tanda murphy positif

Pemeriksaan Penunjang
Leukositosis

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium.

Diagnosis Banding
a. Angina pectoris
b. Appendisitis akut
c. Ulkus peptikum perforasi
d. Pankreatitis akut

Komplikasi

a. Gangren atau empiema kandung empedu
b. Perforasi kandung empedu
c. Peritonitis umum
d. Abses hati

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
Pasien yang telah terdiagnosis kolesistitis dirujuk ke fasilitas kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis penyakit dalam. Penanganan di layanan primer, yaitu:
  a. Tirah baring
  b. Puasa
  c. Pasang infus
  d. Pemberian antibiotik:
     1. Golongan penisilin: ampisilin injeksi 500mg/6jam dan amoksilin 500mg/8jam IV, atau
     2. Sefalosporin: Cefriaxon 1 gram/ 12 jam, cefotaxime 1 gram/8jam, atau
     3. Metronidazol 500mg/8jam

Konseling dan Edukasi
Keluarga diminta untuk ikut mendukung pasien untuk menjalani diet rendah lemak dan menurunkan berat badan.

Rencana Tindak Lanjut
a. Pada pasien yang pernah mengalami serangan kolesistitis akut dan kandung empedunya belum diangkat kemudian mengurangi asupan lemak dan menurunkan berat badannya harus dilihat apakah terjadi
kolesistitis akut berulang.
b. Perlu dilihat ada tidak indikasi untuk dilakukan pembedahan.

Kriteria rujukan

Pasien yang telah terdiagnosis kolesistitis dirujuk ke spesialis penyakit dalam, sedangkan bila terdapat indikasi untuk pembedahan pasien dirujuk pula ke spesialis bedah.

Sarana Prasarana

Obat-obatan

Prognosis

Prognosis umumnya dubia ad bonam, tergantung komplikasi dan beratnya penyakit.



Sumber gambar : http://www.asiancancer.com/uploads/allimg/120707/1-20120FGAKO31.jpg
                               http://www.tanyadok.com/wp-content/uploads/2011/11/Biliary_System.png

PERITONITIS

Peritonitis

 
No. ICPC II : D99 Disease digestive system, other
No. ICD X : K65.9 Peritonitis, unspecified
Tingkat Kemampuan: 3B

Masalah Kesehatan

Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi rongga abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya). Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi apendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
a. Nyeri hebat pada abdomen yang dirasakan terus-menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat ataupun tersebar di seluruh abdomen. Intensitas nyeri semakin kuat saat penderita bergerak seperti
jalan, bernafas, batuk, atau mengejan.
b. Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.
c. Mual dan muntah timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera atau akibat iritasi peritoneum.
d. Kesulitan bernafas disebabkan oleh adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma.

Faktor Risiko : -

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
  a. Pasien tampak letargik dan kesakitan
  b. Dapat ditemukan adanya demam
  c. Distensi abdomen disertai nyeri tekan dan nyeri lepas abdomen
  d. Adanya defans muskular (otot perut kaku)
  e. Hipertimpani pada perkusi abdomen
  f. Pekak hati dapat menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma
  g. Bising usus menurun atau menghilang
  h. Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi akibat kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai respon/antisipasi terhadap penekanan pada dinding abdomen ataupun involunter sebagai respon terhadap iritasi peritoneum.
  i. Pada rectal toucher akan terasa nyeri di semua arah, dengan tonus muskulus sfingter ani menurun dan ampula rekti berisi udara.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan di layanan primer untuk menghindari keterlambatan dalam melakukan rujukan.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik dari tandatanda khas yang ditemukan pada pasien.

Diagnosis Banding : -

Komplikasi

a. Septikemia
b. Syok

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
Pasien segera dirujuk setelah penegakan diagnosis dan penatalaksanaan awal seperti berikut:
  a. Memperbaiki keadaan umum pasien
  b. Pasien puasa
  c. Dekompresi saluran cerna dengan pipa nasogastrik atau intestinal
  d. Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena
  e. Pemberian antibiotik spektrum luas intravena.
  f. Tindakan-tindakan menghilangkan nyeri dihindari untuk tidak menyamarkan gejala

Pemeriksaan penunjang lanjutan
Pemeriksaan lainnya untuk persiapan operasi.

Kriteria Rujukan

Rujuk ke fasilitas kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis bedah.

Sarana Prasarana

Tidak ada sarana prasarana khusus

Prognosis

Prognosis untuk peritonitis adalah dubia ad malam.


Sumber gambar :  http://cdn.medindia.net/health-images/bacterial-peritonitis.jpg

Thursday, 8 May 2014

CUTANEUS LARVA MIGRANS

Cutaneus Larva Migrans




No. ICPC II : D96 Worms/other parasites
No. ICD X : B76.9 Hookworm disease, unspecified
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Cutaneus Larva Migrans (Creeping Eruption) merupakan kelainan kulit berupa peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, yang disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing. Penularan melalui kontak langsung dengan larva.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien mengeluh gatal dan panas pada tempat infeksi. Pada awal infeksi, lesi berbentuk papul yang kemudian diikuti dengan lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok yang terus menjalar memanjang. Keluhan dirasakan muncul sekitar empat hari setelah terpajan.

Faktor Risiko
Orang yang berjalan tanpa alas kaki, atau yang sering berkontak dengan tanah atau pasir.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)




Pemeriksaan Fisik Patognomonis
Lesi awal berupa papul eritema yang menjalar dan tersusun linear atau berkelok-kelok meyerupai benang dengan kecepatan 2 cm per hari.
Predileksi penyakit ini terutama pada daerah telapak kaki, bokong, genital dan tangan.

Gambar 13. Cutaneous Larva Migrans
Sumber: http://health.allrefer.com/pictures-images/cutaneous-larva-migrans.html

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang khusus tidak ada.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan Pemeriksaan Fisik.

Diagnosis Banding
a. Dermatofitosis
b. Dermatitis
c. Dermatosis

Komplikasi

Dapat terjadi infeksi sekunder.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Memodifikasi gaya hidup dengan menggunakan alas kaki dan sarung tangan pada saat melakukan aktifitas yang berkontak dengan tanah, seperti berkebun dan lain-lain.
b. Terapi farmakologi dengan: Tiabendazol 50mg/kgBB/hari, 2x sehari, selama 2 hari; atau Albendazol 400 mg sekali sehari, selama 3 hari.
c. Untuk mengurangi gejala pada penderita dapat dilakukan penyemprotan Etil Klorida pada lokasi lesi, namun hal ini tidak membunuh larva.
d. Bila terjadi infeksi sekunder, dapat diterapi sesuai dengan tatalaksana pioderma.

Konseling dan Edukasi
Edukasi pasien dan keluarga untuk pencegahan penyakit dengan menjaga kebersihan diri.

Kriteria rujukan

Pasien dirujuk apabila dalam waktu 8 minggu tidak membaik dengan terapi.

Sarana Prasarana

Lup

Prognosis

Prognosis umumnya bonam. Penyakit ini bersifat self-limited, karena sebagian besar larva mati dan lesi membaik dalam 2-8 minggu, jarang hingga 2 tahun.



Wednesday, 7 May 2014

STRONGILODIASIS

Strongiloidiasis


No. ICPC II : D96 Worms/other parasites
No. ICD X : B78.9 Strongyloidiasis
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Strongyloidiasis adalah penyakit kecacingan yang disebabkan oleh Strongyloides stercoralis, cacing yang biasanya hidup di kawasan tropic dan subtropik. Sekitar 300 juta orang diperkirakan terkena penyakit ini di seluruh dunia. Infeksi cacing ini bisa menjadi sangat berat dan berbahaya pada mereka yang immunokompromais.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pada infestasi ringan Strongyloides pada umumnya tidak menimbulkan gejala khas.

Gejala klinis
a. Rasa gatal pada kulit.
b. Pada infeksi sedang dapat menimbulkan gejala seperti ditusuk-tusuk didaerah epigastrium dan tidak menjalar.
c. Mual
d. Muntah
e. Diare dan konstipasi saling bergantian

Faktor Risiko
a. Kurangnya penggunaan jamban.
b. Tanah yang terkontaminasi dengan tinja yang mengandung larva Strongyloides stercoralis.
c. Penggunaan tinja sebagai pupuk.
d. Tidak menggunakan alas kaki saat bersentuhan dengan tanah.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana(Objective)

Pemeriksaan Fisik
   a. Timbul kelainan pada kulit “creeping eruption” berupa papul eritema yang menjalar dan tersusun linear atau berkelok-kelok meyerupai benang dengan kecepatan 2 cm per hari.
Predileksi penyakit ini terutama pada daerah telapak kaki, bokong, genital dan tangan.
   b. Pemeriksaan generalis: nyeri epigastrium

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium mikroskopik: menemukan larva rabditiform dalam tinja segar, atau menemukan cacing dewasa Strongyloides stercoralis.
b. Pemeriksaan laboratorium darah: dapat ditemukan eosinofilia atau hipereosinofilia, walaupun pada banyak kasus jumlah sel eosinofilia normal.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya larva atau cacing dalam tinja.

Diagnosis Banding : -

Komplikasi : -

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan, antara lain:
   1. Menggunakan jamban keluarga.
   2. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktifitas.
   3. Menggunakan alas kaki.
   4. Hindari penggunaan pupuk dengan tinja.
b. Farmakologi
   1. Pemberian albendazol menjadi terapi pilihan saat ini dengan dosis 400 mg, 1-2 x sehari, selama 3 hari, atau
2. Mebendazol 100 mg, 3 x sehari, selama 2 atau 4 minggu.

Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara lain:
  a. Sebaiknya setiap keluarga memiliki jamban keluarga.
  b. Menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja manusia.
  c. Menggunakan sarung tangan jika ingin mengelola limbah/sampah.
  d. Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan aktifitas dengan menggunakan sabun.
  e. Menggunakan alas kaki.

Kriteria Rujukan : -

Pasien strongyloidiasis dengan keadaan imunokompromais seperti penderita AIDS

Sarana Prasarana

Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah dan feses.

Prognosis

Pada umumnya prognosis penyakit ini adalah bonam, karena jarang menimbulkan kondisi klinis yang berat.

Catatan : Cara pengobatan lokal dengan menyemprotkan Chlor Ethyl sprai sampai terlihat beku pada ujung yang aktif


Gambar : http://dxline.info/img/new_ail/creeping-eruption_1.jpg

Tuesday, 6 May 2014

TAENIASIS (CACING PITA)

Taeniasis

      Gambar : PERHATIKAN SECARA DETAIL, DAGING YG TERINFEKSI CACING PITA


No. ICPC II : D96 Worms/other parasites
No. ICD X : B68.9 Taeniasis
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Taeniasis adalah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan oleh cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia saginata, Taenia solium, dan Taenia asiatica) pada manusia.
Taenia saginata adalah cacing yang sering ditemukan di negara yang penduduknya banyak makan daging sapi/kerbau. Infeksi lebih mudah terjadi bila cara memasak daging setengah matang.
Taenia solium adalah cacing pita yang ditemukan di daging babi. Penyakit ini ditemukan pada orang yang biasa memakan daging babi khususnya yang diolah tidak matang. Ternak babi yang tidak dipelihara kebersihannya, dapat berperan penting dalam penularan cacing Taenia solium.

 

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Gejala klinis taeniasis sangat bervariasi dan tidak khas. Sebagian kasus tidak menunjukkan gejala (asimptomatis). Gejala klinis dapat timbul sebagai akibat iritasi mukosa usus atau toksin yang dihasilkan cacing. Gejala tersebut antara lain:
  a. Rasa tidak enak pada lambung
  b. Mual
  c. Badan lemah
  d. Berat badan menurun
  e. Nafsu makan menurun
  f. Sakit kepala
  g. Konstipasi
  h. Pusing
  i. Pruritus ani
  j. Diare

Faktor Risiko
a. Mengkonsumsi daging yang dimasak setengah matang/mentah, dan mengandung larva sistiserkosis.
b. Higiene yang rendah dalam pengolahan makanan bersumber daging.
c. Ternak yang tidak dijaga kebersihan kandang dan makanannya.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan tanda vital.
b. Pemeriksaan generalis: nyeri ulu hati, ileus juga dapat terjadi jika strobila cacing membuat obstruksi usus.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium mikroskopik dengan menemukan telur dalam spesimen tinja segar.
b. Secara makroskopik dengan menemukan proglotid pada tinja
c. Pemeriksaan laboratorium darah tepi: dapat ditemukan eosinofilia, leukositosis, LED meningkat.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis Banding :-

Komplikasi : Sistiserkosis

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan, antara lain:
   1. Mengolah daging sampai matang dan menjaga kebersihan hewan ternak.
   2. Menggunakan jamban keluarga.
b. Farmakologi:
   1. Pemberian albendazol menjadi terapi pilihan saat ini dengan dosis 400 mg, 1-2 x sehari, selama 3 hari, atau
   2. Mebendazol 100 mg, 3 x sehari, selama 2 atau 4 minggu.

Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara lain:
  a. Mengolah daging sampai matang dan menjaga kebersihan hewan ternak
  b. Sebaiknya setiap keluarga memiliki jamban keluarga.

Kriteria Rujukan

Bila ditemukan tanda-tanda yang mengarah pada sistiserkosis

Sarana Prasarana

Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah dan feses.

Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam kecuali jika terdapat komplikasi berupa sistiserkosis

Catatan :  Sistiserkosis adalah infeksi jaringan oleh bentuklarva Taenia yang disebut sistiserkus akibat termakan telur cacing pita Taenia. [1] Cacing pita Babi dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia, sedangkan cacing pita sapi tidak dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia.[2] Sedangkan kemampuan Taenia asiatica dalam menyebabkan sistiserkosis belum diketahui secara pasti. (http://id.wikipedia.org/wiki/Sistiserkosis)


Sumber Gambar :  https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEifInRbjF6UmWLr33J_NeXqYX8rpSD4qb706LiJvFQzARvl5yXlupyQYlwwE0_jRh2tg0QCH5tbL0_wUVKlvJ3-Ib3DcDYH3QAwIfdU4UMmLuVFUHgqOpb6GJevxb_PHeS8DUiimlGAI6Q/s1600/Life+Cycle+Taenia+Solium.jpg
http://bioweb.uwlax.edu/bio203/s2008/geske_rich/images/OrgBioCystsInPigMuscle.jpg

PENYAKIT CACING TAMBANG

Penyakit Cacing Tambang

No. ICPC II : D96 Worms/other parasites
No. ICD X : B76.0 Ankylostomiasis
B76.1 Necatoriasis
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Penyakit cacing tambang adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infestasi parasit Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Hospes parasit ini adalah manusia, cacing ini menyebabkan nekatoriasis dan
ankilostomiasis. Diperkirakan sekitar 576 – 740 juta orang di dunia terinfeksi dengan cacing tambang. Di Indonesia insiden tertinggi ditemukan terutama didaerah pedesaan khususnya perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah, mendapat infeksi lebih dari 70%.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pada infestasi ringan cacing tambang umumnya belum menimbulkan gejala.
Namun bila infestasi tersebut sudah berlanjut sehingga menimbulkan banyak kehilangan darah, maka akan menimbulkan gejala seperti pucat dan lemas.

Faktor Risiko
a. Kurangnya penggunaan jamban keluarga.
b. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk.
c. Tidak menggunakan alas kaki saat bersentuhan dengan tanah.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Gejala dan tanda klinis infestasi cacing tambang bergantung pada jenis spesies cacing, jumlah cacing, dan keadaan gizi penderita.

Pemeriksaan Fisik
a. Konjungtiva pucat
b. Perubahan pada kulit (telapak kaki) bila banyak larva yang menembus kulit, disebut sebagai ground itch.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikroskopik pada tinja segar ditemukan telur dan atau larva.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Klasifikasi :
  a. Nekatoriasis
  b. Ankilostomiasis

Diagnosis Banding : -

Komplikasi : anemia, jika menimbulkan perdarahan.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Memberi pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan, antara lain:
   1. Masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga.
   2. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk
   3. Menggunakan alas kaki, terutama saat berkontak dengan tanah.
b. Farmakologis
   1. Pemberian pirantel pamoat selama 3 hari, atau
   2. Mebendazole 500 mg dosis tunggal atau 100 mg, 2x sehari, selama 3 hari, atau
   3. Albendazole 400 mg, dosis tunggal, tidak diberikan pada wanita hamil.
   4. Sulfasferosus

Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara lain:
a. Sebaiknya masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga. Sehingga kotoran manusia tidak menimbulkan pencemaran pada tanah di sekitar lingkungan tempat tinggal kita.
b. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk.
c. Menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja manusia.
d. Menggunakan sarung tangan jika ingin mengelola limbah/sampah.
e. Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukkan aktifitas dengan menggunakan sabun.
f. Menggunakan alas kaki saat berkontak dengan tanah.

Kriteria Rujukan : -

Sarana Prasarana

a. Laboratorium mikroskopis sederhana untuk pemeriksaan specimen tinja.
b. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin.

Prognosis

Penyakit ini umumnya memiliki prognosis bonam, jarang menimbulkan kondisi klinis yang berat, kecuali terjadi perdarahan dalam waktu yang lama sehingga terjadi anemia.



Sumber Gambar : http://crocodilusdaratensis.files.wordpress.com/2010/08/21.jpg

SKISTOSOMIASIS (CACING PIPIH)


Skistosomiasis

                       
No. ICPC II : D96 Worm/outer parasite
No. ICD X : B65.9 Skistosomiasisunspecified
B65.2 Schistomiasis due to S. japonicum
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Schistosoma adalah salah satu penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh cacing trematoda dari genus schistosoma (blood fluke). Terdapat tiga spesies cacing trematoda utama yang menjadi penyebab skistosomiasis yaitu Schistosoma japonicum, schistosoma haematobium dan schistosoma mansoni.
Spesies yang kurang dikenal yaitu Schistosoma mekongi dan Schistosoma intercalatum. Di Indonesia spesies yang paling sering ditemukan adalah Schistosoma japonicum khususnya di daerah lembah Napu dan sekitar danau Lindu di Sulawesi Tengah. Untuk menginfeksi manusia, Schistosoma memerlukan keong sebagai intermediate host. Penularan Schistosoma terjadi melalui serkaria yang berkembang dari host dan menembus kulit pasien dalam air. Skistosomiasis terjadi karena reaksi imunologis terhadap telur cacing yang terperangkap dalam jaringan.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
a. Pada fase akut, pasien biasanya datang dengan keluhan demam, nyeri kepala, nyeri tungkai, urtikaria, bronchitis, nyeri abdominal.Biasanya terdapat riwayat terpapar dengan air misalnya danau atau sungai 4-8
minggu sebelumnya, yang kemudian berkembang menjadi ruam kemerahan (pruritic rash)




b. Pada fase kronis, keluhan pasien tergantung pada letak lesi misalnya:
1. Buang air kecil darah (hematuria), rasa tak nyaman hingga nyeri saat berkemih, disebabkan oleh urinary schistosomiasis biasanya disebabkan oleh S. hematobium.
2. nyeri abdomen dan diare berdarah biasanya disebabkan oleh intestinal skistosomiasisoleh biasanya disebabkan oleh S. mansoni, S. Japonicum juga S. Mekongi.
3. Pembesaran perut, kuning pada kulit dan mata disebabkan oleh hepatosplenic skistosomiasis yang biasanya disebabkan oleh S. Japonicum.


Faktor Risiko :
Orang-orang yang tinggal atau datang berkunjung ke daerah endemik di sekitar lembah Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah dan mempunyai kebiasaan terpajan dengan air, baik di sawah maupun danau di wilayah tersebut.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a. Pada skistosomiasis akut dapat ditemukan:
   1. Limfadenopati
   2. Hepatosplenomegaly
   3. Gatal pada kulit
   4. Demam
   5. Urtikaria
   6. Buang air besar berdarah (bloody stool)
b. Pada skistosomiasis kronik bisa ditemukan:
   1. Hipertensi portal dengan distensi abdomen, hepatosplenomegaly
   2. Gagal ginjal dengan anemia dan hipertensi
   3. Gagal jantung dengan gagal jantung kanan
   4. Intestinal polyposis
   5. Ikterus

Pemeriksaan Penunjang
Penemuan telur cacing pada spesimen tinja dan pada sedimen urin.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan juga penemuan telur cacing pada pemeriksaan tinja dan juga sedimen urine.

Diagnosis Banding : -

Komplikasi:
 a. Gagal ginjal
 b. Gagal jantung

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Pengobatan diberikan dengan dua tujuan yakni untuk menyembuhkan pasien atau meminimalkan morbiditas dan mengurangi penyebaran penyakit
b. Prazikuantel adalah obat pilihan yang diberikan karena dapat membunuh semua spesies Schistosoma. Walaupun pemberian single terapi sudah bersifat kuratif, namun pengulangan setelah 2 sampai 4
minggu dapat meningkatkan efektifitas pengobatan. Pemberian prazikuantel dengan dosis sebagai berikut:
Tabel 20. Dosis prazikuantel






                


Rencana Tindak Lanjut

a. Setelah 4 minggu dapat dilakukan pengulangan pengobatan.
b. Pada pasien dengan telur cacing positif dapat dilakukan pemeriksaan ulang setelah satu bulan untuk memantau keberhasilan pengobatan.

Konseling dan Edukasi

a. Hindari berenang atau menyelam di danau atau sungai di daerah endemik skistosomiasis.
b. Minum air yang sudah dimasak untuk menghindari penularan lewat air yang terkontaminasi.

Kriteria Rujukan

Pasien yang didiagnosis dengan skistosomiasis (kronis) disertai komplikasi.

Sarana Prasarana

Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan tinja dan sedimen urine (pada S.haematobium)

Prognosis

Pada skistosomiasis akut, prognosis adalah dubia ad bonam, sedangkan yang kronis, prognosis menjadi dubia ad malam.


 Sumber gambar :
 http://www.rayur.com/wp-content/uploads/2012/08/Schistosomiasis.jpg
 http://africanxmag.com/new-13.jpg
 http://www.tabletsmanual.com/img/wiki/swimmers_itch.jpg
 http://9diseasewiki.wikispaces.com/file/view/13._Untreated_Schistosomiasis.png/247626269/714x278/13._Untreated_Schistosomiasis.png

Monday, 5 May 2014

ASKARIASIS (CACING GELANG)

Askariasis


No. ICPC II : D96 Worms/ other parasites
No. ICD X : B77.9 Ascariaris unspecified
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Askariasis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infestasi parasit Ascaris lumbricoides.
Di Indonesia prevalensi ascariasis tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya antara 60-90%. Diperkirakan 807-1,221 juta orang di dunia terinfeksi Ascaris lumbricoides.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Nafsu makan menurun, perut membuncit, lemah, pucat, berat badan menurun, mual, muntah.

Gejala Klinis
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva.
Gangguan karena larva: biasanya terjadi pada saat berada diparu. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam, dan eosinofilia. Pada foto thoraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut sindrom Loeffler.
Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan, dan sangat tergantung dari banyaknya cacing yang menginfeksi di usus. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare, atau konstipasi.
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus).
Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu, apendiks, atau ke bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang-kadang perlu tindakan operatif.



Faktor Risiko
a. Kebiasaan tidak mencuci tangan.
b. Kurangnya penggunaan jamban.
c. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk.
d. Kebiasaan tidak menutup makanan sehingga dihinggapi lalat

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana(Objective)

Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan tanda vital
b. Pemeriksaan generalis tubuh: konjungtiva anemis, terdapat tanda-tanda malnutrisi, nyeri abdomen jika terjadi obstruksi.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk penyakit ini adalah dengan melakukan pemeriksaan tinja secara langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis Ascarisis.

Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya larva atau cacing dalam tinja.

Diagnosis Banding: jenis kecacingan lainnya

Komplikasi: anemia defisiensi besi

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Memberi pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan, antara lain:
   1. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun.
   2. Menutup makanan.
   3. Masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga.
   4. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk.
   5. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar tetap bersih dan tidak lembab.
b. Farmakologis
   1. Pirantel pamoat 10 mg /kg BB, dosis tunggal, atau
   2. Mebendazol, 500 mg, dosis tunggal, atau
   3. Albendazol, 400 mg, dosis tunggal. Tidak boleh diberikan pada ibu hamill.
Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara massal pada masyarakat.
Syarat untuk pengobatan massal antara lain :
   a. Obat mudah diterima dimasyarakat
   b. Aturan pemakaian sederhana
   c. Mempunyai efek samping yang minim
   d. Bersifat polivalen, sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing
   e. Harga mudah dijangkau.

Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara lain:
  a. Masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga. Sehingga kotoran manusia tidak menimbulkan pencemaran pada tanah disekitar lingkungan tempat tinggal kita.
  b. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk.
  c. Menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja manusia.
  d. Menggunakan sarung tangan jika ingin mengelola limbah/sampah.
  e. Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukkan aktifitas dengan menggunakan sabun.
  f. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar tetap bersih dan tidak lembab.

Kriteria Rujukan: -

Sarana Prasarana

Laboratorium mikroskopik sederhana untuk pemeriksaan spesimen tinja.

Prognosis

Pada umumnya prognosis adalah bonam, karena jarang menimbulkan kondisi yang berat secara klinis.


Sumber gambar :  http://img2.tfd.com/mk/A/X2604-A-65.png
http://www.facmed.unam.mx/deptos/microbiologia/parasitologia/images/ascaris_adultos.jpg

Saturday, 3 May 2014

PAROTITIS

Parotitis


No. ICPC II : D83 Mouth/tounge/lip disease
No. ICD X : K11.2 Sialoadenitis
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Parotitis adalah peradanganyang terjadi pada kelenjar saliva atau yang lebih dikenal dengan kelenjar parotis.Kematian akibat penyakit parotitis sangat jarang ditemukan.Parotitis paling sering merupakan bentuk komplikasi dari penyakit yang mendasarinya.
Parotitis Sindrom Sjögren memiliki rasio laki-perempuan 1:9. Parotitis dapat berulang saat masa kecil lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan.
Parotitis viral (gondongan) paling sering terjadipada anak-anak

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
a. Demam
b. Pembengkakan pada kelenar parotis mulai dari depan telinga hingga rahang bawah
c. Nyeri terutama saat mengunyah makanan dan mulut terasa kering.

Tanda dan gejala pada penyakit parotitis berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
a. Parotitis akut
1. Parotitis bakteri akut: bengkak, nyeri pada kelenjar dan demam, mengunyah menambah rasa sakit.
2. Parotitis virus akut (gondong): Nyeri, bengkak pad akelenjar 5-9 hari terakhir. Malaise moderat, anoreksia, dan demam.
3. Parotitis tuberkulosis: nyeri tekan, bengkak pada salah satukelenjar parotid, gejala tuberkulosis dapat ditemukan dibeberapa kasus.

b. Parotitis kronik
1. Sjogren syndrome: pembengkakan salah satu atau kedua kelenjar parotis tanpa sebab yang jelas, sering berulang, dan bersifat kronik, mata dan mulut kering.
2. Sarkoidosis: nyeri tekan pada pembengkakan kelenjar parotis.

Faktor Risiko: -

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada kelenjarparotis dapat ditemukan tanda-tanda berupa:
  a. Demam
  b. Pembengkakan kelenjar parotis
  c. Eritema pada kulit.
  d. Nyeri tekan di kelenjar parotis.
  e. Terdapat air liur purulen.

Pemeriksaan Penunjang–dilakukan di layanan sekunder:
Pemeriksaan laboratorium : untuk menganalisa cairan saliva, dengan
dilakukan pemeriksaan anti-SS-A, anti-SS-B, dan faktor rhematoid yang dapat mengetahui adanya penyakit autoimun.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.

Diagnosis Banding
a. Neoplasma kelenjar saliva
b. Pembesaran kelenjar getah bening karena penyebab lain

Komplikasi

a. Infeksi gigi dan karies
b. Infeksi ke kelenjar gonad

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Memberikan informasi selengkapnya kepada pasien / orang tua pasien, dan keluarga mengenai penyakit parotitis. Menjaga kebersihan gigi dan mulut sangat efektif untuk mencegah parotitis yang disebakan oleh
bakteri dan virus.
b. Farmakologis:
   1. Tatalaksana simptomatis sesuai gejala yang dirasakan.
   2. Antibiotik: Antibiotik spektrum luas dapat diberikan pada kasus parotitis bakteri akut yang disebabkanoleh bakteri.
   3. Bila kondisi tidak membaik, segera rujuk ke layanan sekunder.

Konseling dan Edukasi

Pendekatan keluarga dapat dilakukan dengan membantu pihak keluarga untuk memahami penyakit parotitis ini, dengan menjelaskan kepada keluarga pentingnya melakukkan vaksin parotitis yang dapat mencegah terjadinya penularan penyakit ini.

Kriteria Rujukan

Bila kasus tidak membaik dengan pengobatan adekuat di layanan primer, segera rujuk ke layanan sekunder dengan dokter spesialis anak atau dokter spesialis penyakit dalam.

Sarana Prasarana

Obat antibiotik

Prognosis

Prognosis umumnya bonam, namun sanationam dapat dubia, karena keluhan dapat terjadi berulang.



Sumber gambar : http://blog.jilbab-muslimah.com/wp-content/uploads/2013/08/gondongan1.jpg

HEPATITIS B

Hepatitis B

No. ICPC II : D72 Viral Hepatitis
No. ICD X :
Tingkat Kemampuan: 3A

Masalah Kesehatan

Hepatitis B adalah virus yang menyerang hati, masuk melalui darah atau pun cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi seperti halnya virus HIV. Virus ini tersebar luas di seluruh dunia dengan angka kejadian yang berbeda-beda.
Tingkat prevalensi hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi berkisar 2,5% di Banjarmasin sampai 25,61% di Kupang, sehingga termasuk dalam kelompok negara dengan endemisitas sedang sampai tinggi.
Infeksi hepatitis B dapat berupa keadaan yang akut dengan gejala yang berlangsung kurang dari 6 bulan. Apabila perjalanan penyakit berlangsung lebih dari 6 bulan maka kita sebut sebagai hepatitis kronik (5%). Hepatitis B kronik dapat berkembang menjadi penyakit hati kronik yaitu sirosis hepatis (pengerasan hati), 10% dari penderita sirosis hepatis akan berkembang menjadi kanker hati (hepatoma).

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
a. Umumnya tidak menimbulkan gejala terutama pada anak-anak.
b. Gejala baru timbul apabila seseorang telah terinfeksi selama 6 minggu, antara lain:
    1. gangguan gastrointestinal, seperti : malaise, anoreksia, mual dan muntah;
    2. gejala flu : batuk, fotofobia, sakit kepala, mialgia (nyeri otot).
c. Gejala prodromal (awal) seperti diatas akan menghilang pada saat timbul kuning, tetapi keluhan anoreksia (tidak nafsu makan), malaise (lesu), dan kelemahan dapat menetap.
d. Ikterus didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap (seperti air teh). Pruritus (biasanya ringan dan sementara) dapat timbul ketika ikterus (kuning) meningkat.
Pada saat badan kuning, biasanya diikuti oleh pembesaran hati yang diikuti oleh rasa sakit bila ditekan di bagian perut kanan atas. Setelah gejala tersebut akan timbul fase resolusi.
e. Pada sebagian kasus hepatitis B kronik terdapat pembesaran hati dan limpa.

Faktor Risiko
Setiap orang tidak tergantung kepada umur, ras, kebangsaan, jenis kelamin dapat terinfeksi hepatitis B, akan tetapi faktor risiko terbesar adalah apabila:
a. Mempunyai hubungan kelamin yang tidak aman dengan orang yang sudah terinfeksi hepatitis B.
b. Memakai jarum suntik secara bergantian terutama kepada penyalahgunaan obat suntik.
c. Menggunakan alat-alat yang biasa melukai bersama-sama dengan penderita hepatitis B.
d. Orang yang bekerja pada tempat-tempat yang terpapar dengan darah manusia.
e. Orang yang pernah mendapat transfusi darah sebelum dilakukan pemilahan terhadap donor.
f. Penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis.
g. Anak yang dilahirkan oleh ibu yang menderita hepatitis B.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)



Pemeriksaan Fisik
a. Konjungtiva ikterus (kuning)
b. pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada hati,
c. Splenomegali (pembesaran limpa) dan limfadenopati pada 15-20% pasien.

Pemeriksaan Penunjang
a. Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam urin)
b. Pemeriksaan darah : peningkatan kadar bilirubin dalam darah, kadar SGOT dan SGPT ≥ 2x nilai normal tertinggi, dilakukan pada fasilitas primer yang lebih lengkap.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis Banding
a. Perlemakan hati
b. Penyakit hati oleh karena obat atau toksin
c. Hepatitis autoimun
d. Hepatitis alkoholik
e. Obstruksi akut traktus biliaris

Komplikasi

a. Sirosis Hati
b. Ensefalopati Hepatik
c. Kanker Hati

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Asupan kalori dan cairan yang adekuat
b. Tirah baring
c. Tata laksana Farmakologi sesuai dengan gejala yang dirasakan oleh pasien
d. Antipiretik bila demam; Paracetamol 500 mg (3-4x sehari) (pemberiannya harus penuh pertimbangan mengingat parasetamol bersifat hepatotoxic)
e. Apabila ada keluhan gastrointestinal seperti:
   1. Mual : Antiemetik seperti Metoklopropamid 3x10 mg/hari atau Domperidon 3x10mg/hari
   2. Perut perih dan kembung : H2 Blocker (Simetidin 3x200 mg/hari atau Ranitidin 2x 150mg/hari)
        atau Proton Pump Inhibitor (Omeprazol 1 x 20 mg/hari)

Rencana Tindak Lanjut
Kontrol secara berkala terutama bila muncul kembali gejala kearah penyakit hepatitis.

Konseling dan Edukasi
a. Pada hepatitis B kronis karena pengobatan cukup lama, keluarga ikut mendukung pasien agar teratur minum obat.
b. Pada fase akut, keluarga ikut menjaga asupankaloridancairan yang adekuat, dan membatasi aktivitasfisik pasien.
c. Pencegahan penularan pada anggota keluarga dengan modifikasi pola hidup untuk pencegahan transmisi, dan imunisasi.

Kriteria Rujukan

Pasien yang telah terdiagnosis Hepatitis B dirujuk ke pelayanan sekunder (spesialis penyakit dalam)

Sarana Prasarana

a. Laboratorium darah dan urin rutin untuk pemeriksaan fungsi hati
b. Obat Antipiretik, Antiemetik, H2 Bloker atau Proton Pump Inhibitor

Prognosis

Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi, dan pengobatannya. Pada umumnya, prognosis pada hepatitis B adalah dubia, untuk fungsionam dan sanationam dubia ad malam.

Catatan : temulawak (curcuma) bisa dijadikan terapi tambahan.


Sumber gambar :  https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLFPxYMR5-5DeXrQMsgx4PWHhFhEYYKllQlMZTBiMukroK2DIj8Vsz4B7yKSkywJuPwZlTgoXVwr9iQloeFbxns2p4bK0jhbdPNXF2VODm6tn0V3CxlM24NYRN0dZIIYUk0JsWk19eh9YF/s1600/Hati.jpg

Friday, 2 May 2014

HEPATITIS A (SAKIT KUNING/LIVER)

Hepatitis A


No. ICPC II : D72 Viral Hepatitis
No. ICD X :
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Hepatitis A adalahsebuahkondisipenyakitinfeksiakut di liver yang disebabkan oleh hepatitis A virus (HAV), sebuah virus RNA yang disebarkan melalui rute fecal oral. Periode inkubasi rata-rata 28 hari (15 – 50 hari). Lebih dari 75% orang dewasa simtomatik, sedangkan pada anak < 6 tahun 70% asimtomatik (tanpa gejala).
Kurang dari 1% penderita Hepatitis A dewasa berkembang menjadi Hepatitis A fulminan.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
   a. Demam
   b. Mata dan kulit kuning
   c. Penurunan nafsu makan
   d. Nyeri otot dan sendi
   e. Lemah, letih, lesu.
   f. Mual, muntah
   g. Warna urine seperti teh

Faktor Risiko:
Sering mengkonsumsi makanan atau minuman yang kurang terjaga sanitasinya (kebersihannya).
Menggunakan alat makan dan minum dari penderita hepatitis.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
   a. Febris,
   b. Sclera ikterik, jaundice,
   c. Hepatomegali,
   d. Warna urine seperti teh

Pemeriksaan Penunjang
   a. Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam urin)
   b. Pemeriksaan darah : peningkatan kadar bilirubin dalam darah, kadar SGOT dan SGPT ≥ 2x nilai normal tertinggi, dilakukan pada fasilitas primer yang lebih lengkap.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis Banding
   a. Kolesistitis
   b. Abseshepar
   c. Sirrosishepar
   d. Hepatitis virus lainnya

Komplikasi

   a. Hepatitis A Fulminan
   b. Sirosis Hati
   c. Ensefalopati Hepatik
   d. Koagulopati

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Asupan kalori dan cairan yang adekuat
b. Tirah baring
c. Tata laksana Farmakologi sesuai dengan gejala yang dirasakan oleh pasien:
    Antipiretik bila demam; ibuprofen 2x400mg/hari.
    Apabila ada keluhan gastrointestinal, seperti:
     1. Mual : Antiemetik seperti Metoklopropamid 3x10 mg/hari atau Domperidon 3x10mg/hari.
     2. Perut perih dan kembung : H2 Bloker (Simetidin 3x200 mg/hari atau Ranitidin 2x 150mg/hari)
         atau Proton Pump Inhibitor (Omeprazol 1 x 20 mg/hari).

Rencana Tindak Lanjut
Kontrol secara berkala untuk menilai hasil pengobatan.

Konseling dan Edukasi

a. Sanitasi dan higiene mampu mencegah penularan virus.
b. Vaksinasi Hepatitis A diberikan kepada orang-orang yang berisiko tinggi terinfeksi.
c. Keluarga ikut menjaga asupankaloridancairan yang adekuat, dan membatasi aktivitasfisik pasien selama fase akut.

Kriteria Rujukan

a. Penderita Hepatitis A dengan keluhan ikterik yang menetap tanpa disertai keluhan yang lain.
b. Penderita Hepatitis A dengan penurunan kesadaran dengan kemungkinan ke arah ensefalopati hepatik.

Sarana Prasarana

a. Laboratorium darah dan urin rutin untuk pemeriksaan fungsi hati
b. Obat Antipiretik, Antiemetik, H2 Bloker atau Proton Pump Inhibitor

Prognosis

Prognosis umumnya adalah bonam.


Sumber gambar : http://www.lacapital.com.ar/export/sites/core/imagenes/28-05-hepa.jpg_141358524.jpg
http://obatpenyakithepatisisa.bloginformasiteraktual.com/wp-content/uploads/sites/652/2013/11/465958-hepatitis-a-facts.jpg

Thursday, 1 May 2014

HEMOROID GRADE 1 - 2 (WASIR/AMBEYEN)

Hemoroid Grade 1-2


No. ICPC II : D95 Anal fissure/perianal abscess
No. ICD X : K64
Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Hemoroid adalah pelebaran vena-vena didalam pleksus hemoroidalis. (kumpulan vena di daerah anus)

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
a. Perdarahan pada waktu defekasi (BAB), darah berwarna merah segar. Darah dapat menetes keluar dari anus beberapa saat setelah defekasi. Biasanya tanpa rasa sakit.
b. Prolaps (penonjolan ) suatu massa pada waktu defekasi. Massa ini mula-mula dapat kembali spontan sesudah defekasi, tetapi kemudian harus dimasukkan secara manual dan akhirnya tidak dapat dimasukkan lagi.
c. Pengeluaran lendir.
d. Iritasi didaerah kulit perianal. kadang-kadang gatal.
e. Gejala-gejela anemia (seperti : pusing, lemah, pucat,dll).

Faktor Risiko
a. Penuaan
b. Lemahnya dinding pembuluh darah
c. Wanita hamil
d. Konstipasi
e. Konsumsi makanan rendah serat
f. Peningkatan tekanan intraabdomen
g. Batuk kronik
h. Sering mengedan
i. Penggunaan toilet yang berlama-lama (misal : duduk dalam waktu yang lama di toilet)

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a. Periksa tanda-tanda anemia.
b. Pemeriksaan status lokalis
1. Inspeksi:
Hemoroid derajat 1, biasanya tidak menunjukkan adanya suatu kelainan diregio anal yang dapat dideteksi dengan inspeksi saja.

Hemoroid derajat 2, tidak terdapat benjolan mukosa yang keluar melalui anus, akan tetapi bagian hemoroid yang tertutup kulit dapat terlihat sebagai pembengkakan.

Hemoroid derajat 3 dan 4 yang besar akan segera dapat dikenali dengan adanya massa yang menonjol dari lubang anus yang bagian luarnya ditutupi kulit dan bagian dalamnya oleh mukosa yang berwarna keunguan atau merah.

2. Palpasi:
• Hemoroid interna pada stadium awal merupaka pelebaran vena yang lunak dan mudah kolaps sehingga tidak dapat dideteksi dengan palpasi.
• Setelah hemoroid berlangsung lama dan telah prolaps, jaringan ikat mukosa mengalami fibrosis sehingga hemoroid dapat diraba ketika jari tangan meraba sekitar rektum bagian bawah.

Pemeriksaan Penunjang
a. Anoskopi
b. Untuk menilai hemoroid interna yang tidak menonjol keluar.
c. Proktosigmoidoskopi.
d. Untuk memastikan bahwa keluhan bukan disebabkan oleh proses radang atau proses keganasan di tingkat tinggi
e. Pemeriksaan darah rutin, bertujuan untuk mengetahui adanya anemia dan infeksi.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Klasifikasi hemoroid, dibagi menjadi :
a. Hemoroid internal, yang berasal dari bagian proksimal dentate line dan dilapisi mukosa
Hemoroid internal dibagi menjadi 4 grade, yaitu :
1. Grade 1 : hemoroid mencapai lumen anal kanal
2. Grade 2 : hemoroid mencapai sfingter eksternal dan tampak pada saat pemeriksaan tetapi dapat masuk kembali secara spontan.
3. Grade 3 : hemoroid telah keluar dari anal canal dan hanya dapat masuk kembali secara manual oleh pasien.
4. Grade 4 : hemoroid selalu keluar dan tidak dapat masuk ke anal kanal meski dimasukkan secara manual

b. Hemoroid eksternal, berasal dari bagian dentate line dan dilapisi oleh epitel mukosa yang telah termodifikasi serta banyak persarafan serabut saraf nyeri somatik.

 Diagnosis Banding
a. Kondiloma Akuminata
b. Proktitis
c. Rektal prolaps

Komplikasi :Pendarahan, infeksi, incarserata

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan Hemoroid Internal:

a. Hemoroid grade 1
Dilakukan terapi konservatif medis dan menghindari obat-obat antiinflamasi non-steroid, serta makanan pedas atau berlemak.

b. Hemoroid grade 2 dan 3
Pada awalnya diobati dengan prosedur pembedahan.

c. Hemoroid grade 3 dan 4 dengan gejala sangat jelas
Penatalaksaan terbaik adalah tindakan pembedahan hemorrhoidectomy.

d. Hemoroid grade 4
 Hemoroid grade 4 atau dengan jaringan inkarserata membutuhkan konsultasi dan penatalaksanaan bedah yang cepat.

Penatalaksanaan grade 2-3-4 harus dirujuk ke dokter spesialis bedah.

Penatalaksanaan hemorrhoid eksternal
Hemoroid eksternal umumnya merespon baik dengan melakukkan eksisi.
Tindakan ini hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis bedah.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengurangi rasa nyeri dan konstipasi pada pasien hemoroid.

Konseling dan Edukasi:
Melakukan edukasi kepada pasien sebagai upaya pencegahan hemoroid.
Pencegahan hemoroid dapat dilakukan dengan cara:
a. Konsumsi serat 25-30 gram perhari. Hal ini bertujuan untuk membuat feses menjadi lebih lembek dan besar, sehingga mengurangi proses mengedan dan tekanan pada vena anus.
b. Minum air sebanyak 6-8 gelas sehari.
c. Mengubah kebiasaan buang air besar. Segerakan ke kamar mandi saat merasa akan buang air besar, janga ditahan karena akan memperkeras feses. Hindari mengedan.

Kriteria Rujukan

Jika dalam pemeriksaan diperkirakan sudah memasuki grade 2-3-4.

Sarana Prasarana

1. Pencahayaan yang cukup
2. Sarung tangan

 Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam

Sumber gambar :  http://kesehatanmuslim.com/wp-content/uploads/2013/06/tipe-wasir.jpg