Tuesday, 18 November 2014

DELIRIUM (MERACAU)

Delirium


No. ICPC II : P71 Organic psychosis other
No. ICD X : F05.9 Delirium, unspecified
Tingkat Kemampuan: 3A

Masalah Kesehatan

Delirium adalah gangguan kesadaran yang ditandai dengan berkurangnya
kemampuan memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan penurunan kesadaran, ditandai dengan:
  a. Berkurangnya atensi
  b. Gangguan psikomotor
  c. Gangguan emosi
  d. Arus dan isi pikir yang kacau
  e. Gangguan siklus bangun tidur
  f. Gejala diatas terjadi dalam jangka waktu yang pendek dan cenderung
     berfluktuasi dalam sehari

Hasil yang dapat diperoleh pada autoanamnesis, yaitu:
a. Pasien tidak mampu menjawab pertanyaan dokter sesuai dengan apa
    yang diharapkan, ditanyakan.
b. Adanya perilaku yang tidak terkendali.

Alloanamnesis, yaitu:
Adanya gangguan medik lain yang mendahului terjadinya gejala delirium,
misalnya gangguan medik umum, atau penyalahgunaan zat.

Faktor Risiko
Adanya gangguan medik umum, seperti:
   a. Penyakit SSP (trauma kepala, tumor, pendarahan, TIA)
   b. Penyakit sistemik, seperti: infeksi, gangguan metabolik, penyakit
       jantung, COPD, gangguan ginjal, gangguan hepar
   c. Penyalahgunaan zat

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik generalis terutama sesuai penyakit
utama.

Pemeriksaan penunjang
Tidak dilakukan pada layanan primer.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk delirium, adalah:
a. Mini-mental State Examination (MMSE).
b. Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk mencari Diagnosis penyakit
    utama, yaitu:
    Hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, gula darah, elektrolit
    (terutama natrium), SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, urinalisis, analisis
     gas darah, foto toraks, elektrokardiografi, dan CT Scan kepala, jika
     diperlukan.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

 
Kriteria Diagnosis untuk delirium dalam DSM-IV-TR (Diagnosis and Statistical
Manual for Mental Disorder – IV – Text Revised), adalah:
a. Gangguan kesadaran disertai dengan menurunnya kemampuan untuk
    memusatkan, mempertahankan, dan mengubah perhatian;
b. Gangguan Perubahan kognitif (seperti defisit memori, disorientasi,
    gangguan berbahasa) atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak
    berkaitan dengan demensia sebelumnya, yang sedang berjalan atau
    memberat;
c. Perkembangan dari gangguan selama periode waktu yang singkat
    (umumnya jam sampai hari) dan kecenderungan untuk berfluktuasi
    dalam perjalanan hariannya;
d. Bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium, bahwa
    gangguan tersebut disebabkan oleh: (a) kondisi medis umum, (b)
    intoksikasi, efek samping, putus obat dari suatu substansi.

Diagnosis Banding

a. Demensia.
b. Psikosis fungsional.
c. Kelainan neurologis.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Tujuan Terapi
a. Mencari dan mengobati penyebab delirium
b. Memastikan keamanan pasien
c. Mengobati gangguan perilaku terkait delirium, misalnya agitasi
    psikomotor

Penatalaksanaan
a. Kondisi pasien harus dijaga agar terhindar dari risiko kecelakaan selama
    perawatan.
b. Apabila pasien telah memperoleh pengobatan, sebaiknya tidak
    menambahkan obat pada terapi yang sedang dijalanin oleh pasien.
c. Bila belum mendapatkan pengobatan, pasien dapat diberikan obat anti
    psikotik. Obat ini diberikan apabila ditemukan gejala psikosis dan atau
    agitasi, yaitu: Haloperidol injeksi 2-5 mg IntraMuskular (IM)/ IntraVena
    (IV). Injeksi dapat diulang setiap 30 menit, dengan dosis maksimal 20
    mg/hari.

Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi terhadap keluarga/ care giver agar mereka dapat
memahami tentang delirium dan terapinya.

Kriteria Rujukan

Bila gejala agitasi telah terkendali, pasien dapat segera dirujuk ke fasilitas
pelayanan rujukan sekunder untuk memperbaiki penyakit utamanya.

Sarana Prasarana : -

Prognosis

Prognosis delirium dapat diprediksi berdasarkan dari penyakit yang
mendasarinya.



Monday, 17 November 2014

VERTIGO (PUSING TUJUH KELILING)

Vertigo



No. ICPC II : N17 Vertigo/dizziness
No. ICD X : R42 Dizziness and giddiness
Tingkat Kemampuan: 4A
(Vertigo Vestibular/ Benign Paroxismal Positional Vertigo (BPPV))

Masalah Kesehatan

Vertigo adalah persepsi yang salah dari gerakan seseorang atau lingkungan
sekitarnya. Persepsi gerakan bisa berupa:
a. Vertigo vestibular adalah rasa berputar yang timbul pada gangguan
     vestibular.
b. Vertigo non vestibular adalah rasa goyang, melayang, mengambang yang
     timbul pada gangguan sistem proprioseptif atau sistem visual

Berdasarkan letak lesinya dikenal 2 jenis vertigo vestibular, yaitu:
a. Vertigo vestibular perifer.
    Terjadi pada lesi di labirin dan nervus vestibularis
b. Vertigo vestibular sentral.
    Timbul pada lesi di nucleus vestibularis batang otak, thalamus sampai
    ke korteks serebri.

Vertigo merupakan suatu gejala dengan berbagai penyebabnya, antara lain:
akibat kecelakaan,stres, gangguan pada telinga bagian dalam, obat-obatan,
terlalu sedikit atau banyak aliran darah ke otak dan lain-lain.

Secara spesifik, penyebab vertigo, adalah:
a. Vertigo vestibular
    Vertigo perifer disebabkan oleh Benign Paroxismal Positional Vertigo
    (BPPV), Meniere’s Disease, neuritis vestibularis, oklusi arteri labirin,
    labirhinitis, obat ototoksik, autoimun, tumor nervus VIII, microvaskular
    compression, fistel perilimfe.
    Vertigo sentral disebabkan oleh migren, CVD, tumor, epilepsi,
    demielinisasi, degenerasi.
b. Vertigo non vestibular
    Disebabkan oleh polineuropati, mielopati, artrosis servikalis, trauma
     leher, presinkop, hipotensi ortostatik, hiperventilasi, tension headache,
    penyakit sistemik.

BPPV adalah gangguan klinis yang sering terjadi dengan karakteristik
serangan vertigo di perifer, berulang dan singkat, sering berkaitan dengan
perubahan posisi kepala dari tidur, melihat ke atas, kemudian memutar
kepala.
BPPV adalah penyebab vertigo dengan prevalensi 2,4% dalam kehidupan
seseorang. Studi yang dilakukan oleh Bharton 2011, prevalensi akan
meningkat setiap tahunnya berkaitan dengan meningkatnya usia sebesar 7
kali atau seseorang yang berusia di atas 60 tahun dibandingkan dengan 18-39
tahun. BPPV lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
a. Vertigo vestibular
    Menimbulkan sensasi berputar, timbulnya episodik, diprovokasi oleh
    gerakan kepala, bisa disertai rasa mual atau muntah.
    1. Vertigo vestibular perifer timbulnya lebih mendadak setelah
        perubahan posisi kepala dengan rasa berputar yang berat, disertai
        mual atau muntah dan keringat dingin. Bisa disertai gangguan
        pendengaran berupa tinitus, atau ketulian, dan tidak disertai gejala
        neurologik fokal seperti hemiparesis, diplopia, perioralparestesia,
        paresis fasialis.
    2. Vertigo vestibular sentral timbulnya lebih lambat, tidak terpengaruh
        oleh gerakan kepala. Rasa berputarnya ringan, jarang disertai rasa
        mual dan muntah, tidak disertai gangguan pendengaran. Keluhan
        dapat disertai dengan gejala neurologik fokal seperti hemiparesis,
        diplopia, perioralparestesia, paresis fasialis.
b. Vertigo non vestibular
    Sensasi bukan berputar, melainkan rasa melayang, goyang, berlangsung
    konstan atau kontinu, tidak disertai rasa mual dan muntah, serangan
    biasanya dicetuskan oleh gerakan objek sekitarnya seperti di tempat
    keramaian misalnya lalu lintas macet.

Pada anamnesis perlu digali penjelasan mengenai:
Deskripsi jelas keluhan pasien. Pusing yang dikeluhkan dapat berupa sakit
kepala, rasa goyang, pusing berputar, rasa tidak stabil atau melayang.
a. Bentuk serangan vertigo:
    1. Pusing berputar.
    2. Rasa goyang atau melayang.
b. Sifat serangan vertigo:
    1. Periodik.
    2. Kontinu.
    3. Ringan atau berat.
c. Faktor pencetus atau situasi pencetus dapat berupa:
    1. Perubahan gerakan kepala atau posisi.
    2. Situasi: keramaian dan emosional.
    3. Suara.
d. Gejala otonom yang menyertai keluhan vertigo:
    1. Mual, muntah, keringat dingin.
    2. Gejala otonom berat atau ringan.
e. Ada atau tidaknya gejala gangguan pendegaran seperti : tinitus atau tuli.
f. Obat-obatan yang menimbulkan gejala vertigo seperti: streptomisin,
    gentamisin, kemoterapi.
g. Tindakan tertentu: temporal bone surgery, transtympanal treatment.
h. Penyakit yang diderita pasien: DM, hipertensi, kelainan jantung.
i. Defisit neurologis: hemihipestesi, baal wajah satu sisi, perioral
    numbness, disfagia, hemiparesis, penglihatan ganda, ataksia serebelaris.

Gambaran klinis BPPV:
Vertigo timbul mendadak pada perubahan posisi, misalnya miring ke satu sisi
Pada waktu berbaring, bangkit dari tidur, membungkuk. atau menegakkan
kembali badan, menunduk atau menengadah. Serangan berlangsung dalam
waktu singkat, biasanya kurang dari 10-30 detik. Vertigo pada BPPV
dirasakan berputar, bisa disertai rasa mual, kadang-kadang muntah. Setelah
rasa berputar menghilang, pasien bisa merasa melayang dan diikuti disekulibrium
selama beberapa hari sampai minggu. BPPV dapat muncul
kembali.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan umum
b. Pemeriksaan system kardiovaskuler yang meliputi pemeriksaan tekanan
    darah pada saat baring, duduk dan berdiri dengan perbedaan lebih dari
    30 mmHg.
c. Pemeriksaan neurologis
1. Kesadaran : kesadaran baik untuk vertigo vestibuler perifer dan
    vertigo non vestibuler, namun dapat menurun pada vertigo vestibuler
    sentral.
2. Nervus kranialis : pada vertigo vestibularis sentral dapat mengalami
    gangguan pada nervus kranialis III, IV, VI, V sensorik, VII, VIII, IX, X,
    XI, XII.
3. Motorik : kelumpuhan satu sisi (hemiparesis).
4. Sensorik : gangguan sensorik pada satu sisi (hemihipestesi).
5. Keseimbangan (pemeriksaan khusus neuro-otologi) :
   • Tes nistagmus:


      Nistagmus disebutkan berdasarkan komponen cepat, sedangkan
      komponen lambat menunjukkan lokasi lesi: unilateral, perifer,
      bidireksional, sentral.

   • Tes rhomberg:

     Jika pada keadaan mata terbuka pasien jatuh, kemungkinan
     kelainan pada serebelum. Jika pada mata tertutup pasien
     cenderung jatuh ke satu sisi, kemungkinan kelainan pada system
     vestibuler atau proprioseptif.

   • Tes rhomberg dipertajam (Sharpen Rhomberg):
     Jika pada keadaan mata terbuka pasien jatuh, kemungkinan
     kelainan pada serebelum. Jika pada mata tertutup pasien
     cenderung jatuh ke satu sisi, kemungkinan kelainan pada system
     vestibuler atau proprioseptif.
   • Tes jalan tandem:


     pada kelainan serebelar, pasien tidak dapat
     melakukan jalan tandem dan jatuh ke satu sisi. Pada kelaianan
     vestibuler, pasien akan mengalami deviasi.

   • Tes Fukuda, dianggap abnormal jika deviasi ke satu sisi lebih dari
     30 derajat atau maju mundur lebih dari satu meter.

   • Tes past pointing, pada kelainan vestibuler ketika mata tertutup


      maka jari pasien akan deviasi ke arah lesi. Pada kelainan serebelar
      akan terjadi hipermetri atau hipometri.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan etiologi.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan
neurologis.





Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Pasien dilakukan latihan vestibular (vestibular exercise) dengan metode
    brand Daroff.
b. Pasien duduk tegak di pinggir tempat tidur dengan kedua tungkai
    tergantung, dengan kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan cepat
    ke salah satu sisi, pertahankan selama 30 detik. Setelah itu duduk
    kembali. Setelah 30 detik, baringkan dengan cepat ke sisi lain.
    Pertahankan selama 30 detik, lalu duduk kembali. Lakukan latihan ini 3
    kali pada pagi, siang dan malam hari masing-masing diulang 5 kali serta
    dilakukan selama 2 minggu atau 3 minggu dengan latihan pagi dan sore
    hari.
c. Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita sering kali
    merasa sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali
    menggunakan pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan
    bervariasi. Sebagian besar kasus terapi dapat dihentikan setelah
    beberapa minggu. Beberapa golongan yang sering digunakan:
   1. Antihistamin (dimenhidrinat, difenhidramin, meksilin, siklisin)
       • Dimenhidrinat lama kerja obat ini ialah 4 – 6 jam. Obat dapat
         diberi per oral atau parenteral (suntikan intramuskular dan
         intravena), dengan dosis 25 mg – 50 mg (1 tablet), 4 kali sehari.
      • Difenhidramin HCl. Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam,
         diberikan dengan dosis 25 mg (1 kapsul) – 50 mg, 4 kali sehari per
         oral.
      • Senyawa Betahistin (suatu analog histamin):
        a) Betahistin Mesylate dengan dosis 12 mg, 3 kali sehari per oral.
        b) Betahistin HCl dengan dosis 8-24 mg, 3 kali sehari. Maksimum
            6 tablet dibagi dalam beberapa dosis.
   2. Kalsium Antagonis
       Cinnarizine, mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular dan
       dapat mengurangi respons terhadap akselerasi angular dan linier.
       Dosis biasanya ialah 15-30 mg, 3 kali sehari atau 1x75 mg sehari.

Terapi BPPV:
a. Komunikasi dan informasi:
    Karena gejala yang timbul hebat, pasien menjadi cemas dan khawatir
     akan adanya penyakit berat seperti stroke atau tumor otak. Oleh karena
     itu, pasien perlu diberikan penjelasan bahwa BPPV bukan sesuatu yang
     berbahaya dan prognosisnya baik serta hilang spontan setelah beberapa
     waktu, namun kadang-kadang dapat berlangsung lama dan dapat
     kambuh kembali.
b. Obat antivertigo seringkali tidak diperlukan namun apabila terjadi disekuilibrium
     pasca BPPV, pemberian betahistin akan berguna untuk
     mempercepat kompensasi.

Terapi BPPV kanal posterior:
a. Manuver Epley

b. Prosedur Semont

c. Metode Brand Daroff


Rencana Tindak Lanjut

Vertigo pada pasien perlu pemantauan untuk mencari penyebabnya kemudian
dilakukan tatalaksana sesuai penyebab.

Konseling dan Edukasi
a. Keluarga turut mendukung dengan memotivasi pasien dalam mencari
    penyebab vertigo dan mengobatinya sesuai penyebab.
b. Mendorong pasien untuk teratur melakukan latihan vestibular.

Kriteria Rujukan

a. Vertigo vestibular tipe sentral harus segera dirujuk.
b. Tidak terdapat perbaikan pada vertigo vestibular setelah diterapi
     farmakologik dan non farmakologik.

Sarana Prasarana

a. Palu reflex
b. Spygmomanometer
c. Termometer
d. Garpu tala (penala)
e. Obat antihistamin
f. Obat antagonis kalsium

Prognosis

Pada BPPV, prognosis umumnya baik, namun BPPV sering terjadi berulang.



sumber gambar :
http://www.oidonarizygarganta.es/wp-content/uploads/2013/02/Romberg.jpg
http://i.ytimg.com/vi/F-iizUEk2oA/hqdefault.jpg
http://www.acbrown.com/neuro/Lectures/Motr/AVFigs/NrMotr25.gif
http://www.midatlanticneurology.com/scan/epley.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjy_RkuqeEIz0nUAsTW9Madqn-Q857i-nLl82ADLp_gtsbdTZ1HT6eWbtjxE6aHx2wtR456JJ16zbGEkVpb-pqAbclVbv469jJzbe3YK56FQfFAHnOWrCi9Tw4ZQi-NUckWWWrynWGnVzI/s1600/Brandt+Darrof.png
https://encrypted-tbn3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSl5P3DdsosgsjZHQhnF33JCXttp0WxV5dzVS1cS3UMkiSKqyFD


Saturday, 15 November 2014

KEJANG DEMAM

 Kejang Demam

No. ICPC II : N07 Convulsion/Seizure
No. ICD X : R56.0 Febrile convulsions
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Kejang Demam (KD) adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal > 38o C) akibat dari suatu proses ekstra kranial. Kejang
berhubungan dengan demam, tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial
atau penyebab lain.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Keluhan utama adalah kejang. Anamnesis dimulai dari riwayat perjalanan
penyakit sampai terjadinya kejang,kemudian mencari kemungkinan adanya
faktor pencetus atau penyebab kejang.
Umumnya kejang demam pada anak
dan berlangsung pada permulaan demam akut, berupa serangan kejang klonik
umum atau tonik klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda neurologi post iktal.
Penting untuk ditanyakan riwayat kejang sebelumnya, kondisi medis yang
berhubungan, obat-obatan, trauma, gejala infeksi, keluhan neurologis, nyeri
atau cedera akibat kejang.

Faktor risiko

a. Demam
   1. Demam yang berperan pada KD, akibat:
       • Infeksi saluran pernafasan
       • Infeksi saluran pencernaan
       • Infeksi saluran air seni
       • Roseola infantum
       • Paska imunisasi
  2. Derajat demam:
       • 75% dari anak dengan demam ≥ 390C
       • 25% dari anak dengan demam > 400C
b. Usia
   1. Umumnya terjadi pada usia 6 bulan – 6 tahun
   2. Puncak tertinggi pada usia 17 – 23 bulan
   3. Kejang demam sebelum 5 – 6 bulan mungkin disebabkan oleh infeksi
       SSP
   4. Kejang demam diatas umur 6 tahun, perlu dipertimbangkan febrile
       seizure plus (FS+).
c. Gen
   1. Risiko meningkat 2 – 3x bila saudara kejang demam
   2. Risiko meningkat 5% bila orang tua menderita kejang demam

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan
- tanda-tanda vital,
- mencari tanda-tanda trauma akut kepala, dan
- adanya kelainan sistemik, terpapar zat toksik, infeksi, atau
- adanya kelainan neurologis fokal.
Bila terjadi penurunan kesadaran diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk
mencari faktor penyebab.

Pemeriksaan penunjang
Untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada anak,
diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang antara lain, yaitu:
a. Laboratorium darah, seperti: kadar gula darah, elektrolit, dan hitung
    jenis. Pemeriksaan ini dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama.
b. Pemeriksaan urin direkomendasikan pada pasien yang tidak memiliki
    kecurigaan fokus infeksi.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Klasifikasi kejang demam terbagi menjadi 2, yaitu:

a. Kejang demam sederhana
   1. Kejang generalisata
   2. Durasi: < 15 menit
   3. Kejang tidak disebabkan oleh adanya meningitis, encephalitis, atau
       penyakit yang berhubungan dengan gangguan di otak
   4. Kejang tidak berulang dalam 24 jam.

b. Kejang demam kompleks
   1. Kejang fokal
   2. Durasi: > 15 menit
   3. Dapat terjadi kejang berulang dalam 24 jam.

Diagnosis Banding

a. Meningitis
b. Ensefalitis
c. Epilepsi
d. Gangguan metabolik, seperti: gangguan elektrolit.

Komplikasi

a. Kerusakan sel otak
b. Risiko kejang atipikal apabila kejang demam sering berulang

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Keluarga pasien diberikan informasi selengkapnya mengenai kejang
    demam dan prognosisnya.
b. Pemberian farmakoterapi untuk mengatasi kejangnya adalah dengan:
   1. Diazepam per rektal (0,5mg/kg) atau lorazepam (0,1 mg/kg) harus
       segera diberikan jika akses intravena tidak dapat dibangun dengan
       mudah.
   2. Buccal midazolam (0,5 mg/kg, dosis maksimal = 10 mg) lebih efektif
       daripada diazepam per rektal untuk anak.
   3. Lorazepam intravena, setara efektivitasnya dengan diazepam
       intravena dengan efek samping yang lebih minimal (termasuk depresi
       pernapasan) dalam pengobatan kejang tonik klonik akut. Bila akses
       intravena tidak tersedia, midazolam adalah pengobatan pilihan.

Tabel 27. Farmakoterapi untuk mengatasi kejang

Konseling dan Edukasi
Konseling dan edukasi dilakukan untuk membantu pihak keluarga mengatasi
pengalaman menegangkanakibat kejang demam dengan memberikan informasi
mengenai:
  a. Prognosis dari kejang demam.
  b. Tidak ada peningkatan risiko keterlambatan sekolah atau kesulitan
       intelektual akibat kejang demam.
  c. Kejang demam kurang dari 30 menit tidak mengakibatkan kerusakan
      otak.
  d. Risiko kekambuhan penyakit yang sama di masa depan.
  e. Rendahnya risiko terkena epilepsi dan kurangnya manfaat
      menggunakan terapi obat antiepilepsi dalam mengubah risiko itu.

Kriteria Rujukan

a. Apabila kejang tidak membaik setelah diberikan obat antikonvulsi.
b. Apabila kejang demam sering berulang disarankan EEG.

Sarana Prasarana

a. Tabung O2
b. Diazepam per rektal

Prognosis

Prognosis umumnya dubia ad bonam, namun sangat tergantung dari kondisi
pasien saat tiba, ada/tidaknya komplikasi, dan pengobatannya.

LIPOMA

Lipoma



No. ICPC II : S78 Lipoma
No.ICD X : D17.9 Benign lipomatous neoplasm
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Benjolan di kulit.

Hasil Anamnesis

Keluhan
Benjolan di kulit tanpa disertai nyeri.
Biasanya tanpa gejala apa-apa (asimptomatik). Hanya dikeluhkan timbulnya
benjolan yang membesar perlahan dalam waktu yang lama. Bisa menimbulkan
gejala nyeri jika tumbuh dengan menekan saraf. Untuk tempat predileksi
seperti di leher bisa menimbulkan keluhan menelan dan sesak.

Faktor Risiko

  a. Adiposisdolorosis
  b. Riwayat keluarga dengan lipoma
  c. Sindrom Gardner
  d. Usia menengah dan usia lanjut

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik Patologis
KU : tampak sehat bisa sakit ringan - sedang
Kulit : ditemukan benjolan, teraba empuk, bergerak jika ditekan.



Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan tusukan jarum halus untuk mengetahui isi massa.

Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Massa bergerak di bawah kulit, bulat, yang memiliki karakteristik lembut,
terlihat pucat. Ukuran diameter kurang dari 6 cm, pertumbuhan sangat lama.

Diagnosis Banding
  a. Epidermoidkista
  b. Abses
  c. Liposarcoma
  d. Limfadenitis tuberkulosis

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang lain merupakan pemeriksaan rujukan, seperti biopsi
jarum halus.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan



Biasanya Lipoma tidak perlu dilakukan tindakan apapun.
  a. Pembedahan
     Dengan indikasi: kosmetika tanpa keluhan lain.
     Cara: Eksisi Lipoma.
     Dilakukan sayatan di atas benjolan, lalu mengeluarkan jaringan lipoma
b. Terapi pasca eksisi: antibiotik, anti nyeri
    Simptomatik: obat anti nyeri

Kriteria rujukan:

a. Ukuran massa > 6 cm dengan pertumbuhan yang cepat.
b. Ada gejala nyeri spontan maupun tekan.
c. Predileksi di lokasi yang berisiko bersentuhan dengan pembuluh darah
    atau saraf.

Prognosis

Prognosis umumnya adalah bonam, namun ini tergantung dari letak dan
ukuran lipoma, serta ada/tidaknya komplikasi.




Sumber gambar :
https://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=0CAcQjRw&url=http%3A%2F%2Fwww.clevelandclinicmeded.com%2Fmedicalpubs%2Fdiseasemanagement%2Fdermatology%2Fcommon-benign-growths%2F&ei=pCloVNPmMNGguQSSyYFY&bvm=bv.79142246,d.c2E&psig=AFQjCNH90gmrf6rnTkw_04mpM-IiX-reaA&ust=1416198912480005

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/8/8f/Lipoma_03.jpg

http://wakdjunkaga.files.wordpress.com/2010/10/img_0273.jpg

Sunday, 26 October 2014

ARTHRITIS/OSTEOARTHRITIS

Artritis, Osteoartritis

No. ICPC II : L91 Osteoarthrosis other
No. ICD X : M19.9 Osteoarthrosis other
Tingkat Kemampuan: 3A

Masalah Kesehatan

Penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi.
Pasien sering datang berobat pada saat sudah ada deformitas sendi yang
bersifat permanen.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
  a. Nyeri sendi
  b. Hambatan gerakan sendi
  c. Kaku pagi
  d. Krepitasi
  e. Pembesaran sendi
  f. Perubahan gaya berjalan

Faktor Risiko
  a. Usia > 60 tahun
  b. Wanita, usia >50 tahun atau menopouse
  c. Kegemukan/ obesitas
  d. Pekerja berat dengen penggunaan satu sendi terus menerus

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Tanda Patognomonis
  a. Hambatan gerak
  b. Krepitasi
  c. Pembengkakan sendi yang seringkali asimetris
  d. Tanda-tanda peradangan sendi
  e. Deformitas sendi yang permanen
  f. Perubahan gaya berjalan

Pemeriksaan Penunjang
Radiografi

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan radiografi.

Diagnosis Banding
  a. Artritis Gout
  b. Rhematoid Artritis

Komplikasi

Deformitas permanen

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Pengelolaan OA berdasarkan atas distribusinya (sendi mana yang
    terkena) dan berat ringannya sendi yang terkena.
b. Pengobatan bertujuan untuk mencegah progresivitas dan meringankan
    gejala yang dikeluhkan.
c. Modifikasi gaya hidup, dengan cara:
   1. Menurunkan berat badan
   2. Melatih pasien untuk tetap menggunakan sendinya dan melindungi
       sendi yang sakit
d. Pengobatan Medikamentosa
   1. Analgesik topikal
   2. NSAID (oral):
      • non selective: COX1 (Diklofenak, Ibuprofen, Piroksikam,
         Mefenamat, Metampiron)
      • selective: COX2 (Meloksikam)

Kriteria Rujukan

a. Bila ada komplikasi, termasuk komplikasi terapi COX 1
b. Bila ada komorbiditas

Sarana Prasarana : -

Prognosis

Prognosis umumnya tidak mengancam jiwa, namun fungsi sering terganggu
dan sering mengalami kekambuhan.



sumber gambar : https://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=0CAcQjRw&url=https%3A%2F%2Fmyhealth.alberta.ca%2Fhealth%2Fpages%2Fconditions.aspx%3Fhwid%3Dhw125723&ei=NgJNVJr3H4L38QW19ILQAw&bvm=bv.77880786,d.dGc&psig=AFQjCNH4CEwgdQDtuvH_-6uRbKar7kvTvg&ust=1414419320758993
 http://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=0CAcQjRw&url=http%3A%2F%2Fwww.thno.org%2Fv02p0198.htm&ei=UQJNVLDOCsXy8QXe0IH4CA&bvm=bv.77880786,d.dGc&psig=AFQjCNH4CEwgdQDtuvH_-6uRbKar7kvTvg&ust=1414419320758993

Thursday, 23 October 2014

ARTHRITIS REUMATOID

Artritis Reumatoid


No. ICPC II : L99 Musculosceletal disease other
No. ICD X : M53.3 Polymyalgia rheumatica
Tingkat Kemampuan: 3A

Masalah Kesehatan

Penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetrik
yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali juga
melibatkan organ tubuh lainnya.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Gejala pada awal onset
Gejala prodromal: lelah (malaise), anoreksia, seluruh tubuh terasa lemah yang
                                 berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
Gejala spesifik pada beberapa sendi (poliartrikular) secara simetris, terutama
sendi : - PIP (proximal interphalangeal),
            - MCP (metacarpophalangeal),pergelangan tangan, lutut, dan kaki.
Gejala sinovitis pada sendi yang terkena: bengkak, nyeri yang diperburuk
dengan gerakan sehingga gerakan menjadi terbatas, kekakuan pada pagi hari
> 1 jam.
Gejala ekstraartikular: mata (episkleritis), saluran nafas atas (nyeri tenggorok,
nyeri menelan atau disfonia yang terasa lebih berat pada pagi hari),
kardiovaskular (nyeri dada pada perikarditis), hematologi (anemia).

Faktor Risiko
a. Usia > 60 tahun.
b. Wanita, usia >50 tahun atau menopause.
c. Kegemukan.
d. Pekerja berat dengan penggunaan satu sendi terus menerus.
e. Faktor genetik.
f. Hormon seks.
g. Infeksi tubuh.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Manifestasi artikular:
Pada lebih dari 3 sendi (poliartritis) terutama di sendi tangan, simetris,
immobilisasi sendi, pemendekan otot seperti pada vertebra servikalis,
gambaran deformitas sendi tangan (swan neck, boutonniere).

Manifestasi ekstraartikular:
a. Kulit: terdapat nodul rheumatoid pada daerah yg banyak menerima
    penekanan, vaskulitis.
b. Soft tissue rheumatism, seperti carpal tunnel syndrome atau frozen
    shoulder.
c. Mata dapat ditemukan kerato-konjungtivitis sicca yang merupakan
    manifestasi sindrom Sjorgen, episkleritis/ skleritis. Konjungtiva tampak
    anemia akibat penyakit kronik.
d. Sistem respiratorik dapat ditemukan adanya radang sendi
    krikoaritenoid, pneumonitis interstitial, efusi pleura, atau fibrosis paru
    luas.
e. Sistem kardiovaskuler dapat ditemukan perikarditis konstriktif,
    disfungsi katup, fenomena embolisasi, gangguan konduksi, aortritis,
    kardiomiopati.

Pemeriksaan Penunjang

LED
Pemeriksaan di layanan sekunder atau rujukan horizontal:
a. Faktor reumatoid (RF) serum.
b. Radiologi tangan dan kaki. Gambaran dini berupa pembengkakan
    jaringan lunak, diikuti oleh osteoporosis juxta-articular dan erosi pada
    bare area tulang. Keadaan lanjut terlihat penyempitan celah sendi,
    osteoporosis difus, erosi meluas sampai daerah subkondral.


sumber: http://www.myvistahealth.com/wp-content/uploads/2012/04/rheumatoid-arthritisdiet-
and-nutrition-rontgen.jpg

c. ACPA (anti-cyclic citrullinated peptide antibody) / anti-CCP.
d. CRP.
e. Analisis cairan sendi.
f. Biopsi sinovium/ nodul rheumatoid.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis RA biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis.

Kriteria Diagnosis
Berdasarkan ACR tahun 1987:
a. Kaku pagi, sekurangnya 1 jam.
b. Artritis pada sekurangnya 3 sendi.
c. Artritis pada sendi pergelangan tangan, metacarpophalanx (MCP) dan
    Proximal Interphalanx (PIP).
d. Artritis yang simetris.
e. Nodul rheumatoid.
f. Faktor reumatoid serum positif. Hasil positif dijumpai pada sebagian
    besar kasus (85%), sedangkan hasil negatif tidak menyingkirkan adanya
    RA.
g. Gambaran radiologik yang spesifik.
h. LED dan CRP meningkat.
i. Analisis cairan sendi: terdapat gambaran inflamasi ringan-sedang.

Untuk diagnosis RA, diperlukan 4 dari 7 kriteria tersebut di atas. Kriteria 1-4
harus minimal diderita selama 6 minggu.

Tabel 26. Sistem penilaian klasifikasi kriteria RA (American College of Rheumatology/European
League Against Rheumatism, 2010)


Catatan:
a. Kriteria tersebut ditujukan untuk klasifikasi pasien baru.
    Sebagai tambahan, pasien dengan penyakit erosif tipikal RA dengan
    riwayat yang sesuai dengan kriteria 2010 ini harus diklasifikasikan ke
    dalam RA. Pasien dengan penyakit lama, termasuk yang tidak aktif
    (dengan atau tanpa pengobatan), yang berdasarkan data retrospektif
    yang dimiliki memenuhi kriteria 2010 ini harus diklasifikasikan ke
    dalam RA.
b. Diagnosis banding bervariasi diantara pasien dengan manifestasi yang
    berbeda, tetapi boleh memasukkan kondisi seperti SLE, artritis psoriatic,
    dan gout. Jika diagnosis banding masih belum jelas, hubungi ahli
    reumatologi.
c. Walaupun pasien dengan skor < 6 dari tidak diklasifikasikan ke dalam
    RA, status mereka dapat dinilai ulang dan kriteria ini bisa dipenuhi
    secara kumulatif seiring waktu.
d. Keterlibatan sendi merujuk pada sendi yang bengkak atau nyeri pada
    pemeriksaan, yang dikonfirmasi oleh bukti pencitraan akan adanya
    sinovitis. Sendi interfalang distal, sendi karpometakarpal I, dan sendi
    metatarsofalangeal I tidak dimasukkan dalam pemeriksaan. Kategori
    distribusi sendi diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan jumlah sendi
    yang terlibat, ditempatkan ke dalam kategori tertinggi berdasarkan pola
    keterlibatan sendi.
e. Sendi-sendi besar merujuk pada bahu, siku, pinggul, lutut, dan
    pergelangan kaki.
f. Sendi-sendi kecil merujuk pada sendi metakarpofalangeal, sendi
    interfalang proksimal, sendi metatarsophalangeal II-V, sendi interfalang
    ibu jari, dan pergelangan tangan.
g. Dalam kategori ini, minimal 1 dari sendi yg terlibat harus sendi kecil;
    sendi lainnya dapat berupa kombinasi dari sendi besar dan sendi kecil
    tambahan, seperti sendi lainnya yang tidak terdaftar secara spesifik
    dimanapun (misal temporomandibular, akromioklavikular,
    sternoklavikular dan lain-lain).
h. Negatif merujuk pada nilai IU yg ≤ batas atas nilai normal (BAN)
    laboratorium dan assay; positif rendah merujuk pada nilai IU yang ≥
    BAN tetapi ≤ 3x BAN laboratorium dan assay; positif tinggi merujuk
    pada nilai IU yg > 3x BAN laboratorium dan assay. Ketika RF hanya
    dapat dinilai sebagai positif atau negatif, hasil positif harus dinilai
    sebagai positif rendah untuk RA. ACPA = anti-citrullinated protein
    antibody.
i. Normal/ tidak normal ditentukan oleh standar laboratorium setempat.
   CRP = C-reactive protein; LED = Laju Endap Darah.
j. Durasi gejala merujuk pada laporan dari pasien mengenai durasi gejala
    dan tanda sinovitis (misal nyeri, bengkak, dan nyeri pada penekanan)
   dari sendi yang secara klinis terlibat pada saat pemeriksaan, tanpa
    memandang status pengobatan.

Diagnosis Banding

a. Penyebab arthritis lainnya
b. Spondiloartropati seronegatif
c. Lupus eritematosus sistemik
d. Sindrom Sjogren

Komplikasi

a. Deformitas sendi (boutonnierre, swan neck, deviasi ulnar)
b. Sindrom terowongan karpal (TCS)
c. Sindrom Felty (gabungan gejala RA, splenomegali, leukopenia, dan ulkus
    pada tungkai; juga sering disertai limfadenopati dan trombositopenia)

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Pasien diberikan informasi untuk memproteksi sendi, terutama pada
    stadium akut dengan menggunakan decker.
b. Pemberian obat anti inflamasi non-steroid, seperti: diklofenak 50-100 mg
    2x/hari, meloksikam 7,5–15 mg/hari, celecoxib 200-400 mg/sehari.
c. Pemberian golongan steroid, seperti: prednison atau metil prednisolon
    dosis rendah (sebagai bridging therapy).
d. Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis.

Kriteria rujukan

a. Tidak membaik dengan pemberian obat anti inflamasi dan steroid dosis
    rendah.
b. RA dengan komplikasi.
c. Rujukan pembedahan jika terjadi deformitas.

Sarana Prasarana

Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah.

Prognosis

Prognosis adalah dubia ad bonam, sangat tergantung dari perjalanan penyakit
dan penatalaksanaan selanjutnya.



 sumber gambar :http://www.rheumtutor.com/wp-content/uploads/2013/06/Rheumatoid-Arthritis-1e.jpg

Friday, 17 October 2014

POLIMIALGIA RHEUMATIK

Polimialgia Reumatik


No. ICPC II : L99 Musculosceletal disease other
No. ICD X : M53.3 Polymyalgia rheumatica
Tingkat Kemampuan: 3A

Masalah Kesehatan

Polymyalgia rheumatica (PMR) adalah suatu sindrom klinis dengan etiologi
yang tidak diketahui yang mempengaruhi individu usia lanjut. Hal ini ditandai
dengan mialgia proksimal dari pinggul dan gelang bahu dengan kekakuan pagi
hari yang berlangsung selama lebih dari 1 jam.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pada sekitar 50 % pasien berada dalam kesehatan yang baik sebelum onset
penyakit yang tiba-tiba. Pada kebanyakan pasien, gejala muncul pertama kali
pada bahu. Sisanya, pinggul atau leher yang terlibat saat onset. Gejala terjadi
mungkin pada satu sisi tetapi biasanya menjadi bilateral dalam beberapa
minggu.

Gejala-gejala termasuk nyeri dan kekakuan bahu dan pinggul. Kekakuan
mungkin begitu parah sehingga pasien mungkin mengalami kesulitan bangkit
dari kursi, berbalik di tempat tidur, atau mengangkat tangan mereka di atas
bahu tinggi. Kekakuan setelah periode istirahat (fenomena gel) serta kekakuan
pada pagi hari lebih dari 1 jam biasanya terjadi. Pasien juga mungkin
menggambarkan sendi distal bengkak atau, lebih jarang, edema tungkai.

Carpal tunnel syndrome dapat terjadi pada beberapa pasien. Kebanyakan
pasien melaporkan fitur sistemik sebagaimana tercantum di bawah. Selain itu,
pasien selalu lebih tua dari 50 tahun dan biasanya lebih tua dari 65 tahun.

Kriteria diagnostik untuk PMR adalah sebagai berikut:
  a. Usia onset 50 tahun atau lebih tua
  b. Laju endap darah ≥ 40 mm / jam
  c. Nyeri bertahan selama ≥ 1 bulan dan melibatkan 2 dari daerah berikut:
      leher, bahu, dan korset panggul
  d. Tidak adanya penyakit lain dapat menyebabkan gejala muskuloskeletal
  e. Kekakuan pagi berlangsung ≥ 1 jam
  f. Respon cepat terhadap prednison (≤ 20 mg)

Faktor Risiko: -

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik Patognomonis
Tanda-tandadan gejala polymyalgia rheumatic tidak spesifik, dan temuan
obyektif pada pemeriksaan fisik sering kurang.

Gejala umum sebagai berikut:
  a. Penampilan lelah
  b. Pembengkakan ekstremitas distal dengan pitting edema.

Temuan muskuloskeletal sebagai berikut:
a. Kekuatanotot normal, tidak ada atrofi otot
b. Nyeri padabahudan pinggul dengangerakan
c. SinovitisTransientpada lutut, pergelangan tangan, dan
sendisternoklavikula.

Pemeriksaan Penunjang
LED

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan satu set kriteria diagnostik berikut, yaitu:
 a. Usia onset 50 tahun atau lebih tua
 b. Laju endap darah ≥ 40 mm / jam
 c. Nyeri bertahan selama ≥ 1 bulan dan melibatkan 2 dari daerah berikut:
     leher, bahu, dan korset panggul
 d. Tidak adanya penyakit lain dapat menyebabkan gejala muskuloskeletal
 e. Kekakuan pagi berlangsung ≥ 1 jam
 f. Respon cepat terhadap prednison (≤ 20 mg)

Diagnosis Banding

a. Amiloidosis, AA (Inflammatory)
b. Depresi
c. Fibromialgia
d. Giant Cell Arteritis
e. Hipotiroidism
f. Multipel mieloma
g. Osteoartritis
h. Sindroma paraneoplastik
i. Artritis reumatoid

Komplikasi : -

Rencana Penatalaksanaan komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Prednison dengan dosis 10-15 mgoral setiap hari, biasanya
    menghasilkan perbaikan klinis dalam beberapa hari.
b. ESR biasanya kembali ke normal selama pengobatan awal, tetapi
     keputusan terapi berikutnya harus berdasarkan status ESRdan klinis.
c. Terapi glukokortikoid dapat diturunkan secara bertahap dengan dosis
    pemeliharaan 5-10mg peroral setiap hari tetapi harus dilanjutkan
    selama minimal 1 tahun untuk meminimalkan risiko kambuh.
d. NSAID dapat memfasilitasi penurunan dosis prednison. Modifikasi gaya
    hidup dalam aktivitas fisik.

Konsultasi dan Edukasi

Edukasi keluarga bahwa penyakit ini mungkin menimbulkan gangguan dalam
aktivitas penderita, sehingga dukungan keluarga sangatlah penting.

Kriteria Rujukan

Setelah ditegakkan dugaan diagnosis, pasien dirujuk ke spesialis penyakit
dalam.

Sarana Prasarana

Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah

Prognosis

Prognosis adalah dubia ad bonam, tergantung dari ada/tidaknya komplikasi.




SUMBER GAMBAR : http://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=0CAcQjRw&url=http%3A%2F%2Fpaginas.seccionamarilla.com.mx%2Fcentro-de-artritis-y-reumatismo-tepeyac%2Ftratamiento-para-artritis%2Fdistrito-federal%2Fciudad-de-mexico%2Fgustavo-a-madero%2Ftepeyac-insurgentes%2F&ei=kQ5CVN_oG4KEuwTBiYLYDA&psig=AFQjCNHFIJliE7Ggd1kuv5Jug6QCCzVTiA&ust=1413701559366006