Tuesday, 6 May 2014

PENYAKIT CACING TAMBANG

Penyakit Cacing Tambang

No. ICPC II : D96 Worms/other parasites
No. ICD X : B76.0 Ankylostomiasis
B76.1 Necatoriasis
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Penyakit cacing tambang adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infestasi parasit Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Hospes parasit ini adalah manusia, cacing ini menyebabkan nekatoriasis dan
ankilostomiasis. Diperkirakan sekitar 576 – 740 juta orang di dunia terinfeksi dengan cacing tambang. Di Indonesia insiden tertinggi ditemukan terutama didaerah pedesaan khususnya perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah, mendapat infeksi lebih dari 70%.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pada infestasi ringan cacing tambang umumnya belum menimbulkan gejala.
Namun bila infestasi tersebut sudah berlanjut sehingga menimbulkan banyak kehilangan darah, maka akan menimbulkan gejala seperti pucat dan lemas.

Faktor Risiko
a. Kurangnya penggunaan jamban keluarga.
b. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk.
c. Tidak menggunakan alas kaki saat bersentuhan dengan tanah.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Gejala dan tanda klinis infestasi cacing tambang bergantung pada jenis spesies cacing, jumlah cacing, dan keadaan gizi penderita.

Pemeriksaan Fisik
a. Konjungtiva pucat
b. Perubahan pada kulit (telapak kaki) bila banyak larva yang menembus kulit, disebut sebagai ground itch.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikroskopik pada tinja segar ditemukan telur dan atau larva.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Klasifikasi :
  a. Nekatoriasis
  b. Ankilostomiasis

Diagnosis Banding : -

Komplikasi : anemia, jika menimbulkan perdarahan.

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Memberi pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan, antara lain:
   1. Masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga.
   2. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk
   3. Menggunakan alas kaki, terutama saat berkontak dengan tanah.
b. Farmakologis
   1. Pemberian pirantel pamoat selama 3 hari, atau
   2. Mebendazole 500 mg dosis tunggal atau 100 mg, 2x sehari, selama 3 hari, atau
   3. Albendazole 400 mg, dosis tunggal, tidak diberikan pada wanita hamil.
   4. Sulfasferosus

Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara lain:
a. Sebaiknya masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga. Sehingga kotoran manusia tidak menimbulkan pencemaran pada tanah di sekitar lingkungan tempat tinggal kita.
b. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk.
c. Menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja manusia.
d. Menggunakan sarung tangan jika ingin mengelola limbah/sampah.
e. Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukkan aktifitas dengan menggunakan sabun.
f. Menggunakan alas kaki saat berkontak dengan tanah.

Kriteria Rujukan : -

Sarana Prasarana

a. Laboratorium mikroskopis sederhana untuk pemeriksaan specimen tinja.
b. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin.

Prognosis

Penyakit ini umumnya memiliki prognosis bonam, jarang menimbulkan kondisi klinis yang berat, kecuali terjadi perdarahan dalam waktu yang lama sehingga terjadi anemia.



Sumber Gambar : http://crocodilusdaratensis.files.wordpress.com/2010/08/21.jpg

SKISTOSOMIASIS (CACING PIPIH)


Skistosomiasis

                       
No. ICPC II : D96 Worm/outer parasite
No. ICD X : B65.9 Skistosomiasisunspecified
B65.2 Schistomiasis due to S. japonicum
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Schistosoma adalah salah satu penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh cacing trematoda dari genus schistosoma (blood fluke). Terdapat tiga spesies cacing trematoda utama yang menjadi penyebab skistosomiasis yaitu Schistosoma japonicum, schistosoma haematobium dan schistosoma mansoni.
Spesies yang kurang dikenal yaitu Schistosoma mekongi dan Schistosoma intercalatum. Di Indonesia spesies yang paling sering ditemukan adalah Schistosoma japonicum khususnya di daerah lembah Napu dan sekitar danau Lindu di Sulawesi Tengah. Untuk menginfeksi manusia, Schistosoma memerlukan keong sebagai intermediate host. Penularan Schistosoma terjadi melalui serkaria yang berkembang dari host dan menembus kulit pasien dalam air. Skistosomiasis terjadi karena reaksi imunologis terhadap telur cacing yang terperangkap dalam jaringan.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
a. Pada fase akut, pasien biasanya datang dengan keluhan demam, nyeri kepala, nyeri tungkai, urtikaria, bronchitis, nyeri abdominal.Biasanya terdapat riwayat terpapar dengan air misalnya danau atau sungai 4-8
minggu sebelumnya, yang kemudian berkembang menjadi ruam kemerahan (pruritic rash)




b. Pada fase kronis, keluhan pasien tergantung pada letak lesi misalnya:
1. Buang air kecil darah (hematuria), rasa tak nyaman hingga nyeri saat berkemih, disebabkan oleh urinary schistosomiasis biasanya disebabkan oleh S. hematobium.
2. nyeri abdomen dan diare berdarah biasanya disebabkan oleh intestinal skistosomiasisoleh biasanya disebabkan oleh S. mansoni, S. Japonicum juga S. Mekongi.
3. Pembesaran perut, kuning pada kulit dan mata disebabkan oleh hepatosplenic skistosomiasis yang biasanya disebabkan oleh S. Japonicum.


Faktor Risiko :
Orang-orang yang tinggal atau datang berkunjung ke daerah endemik di sekitar lembah Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah dan mempunyai kebiasaan terpajan dengan air, baik di sawah maupun danau di wilayah tersebut.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a. Pada skistosomiasis akut dapat ditemukan:
   1. Limfadenopati
   2. Hepatosplenomegaly
   3. Gatal pada kulit
   4. Demam
   5. Urtikaria
   6. Buang air besar berdarah (bloody stool)
b. Pada skistosomiasis kronik bisa ditemukan:
   1. Hipertensi portal dengan distensi abdomen, hepatosplenomegaly
   2. Gagal ginjal dengan anemia dan hipertensi
   3. Gagal jantung dengan gagal jantung kanan
   4. Intestinal polyposis
   5. Ikterus

Pemeriksaan Penunjang
Penemuan telur cacing pada spesimen tinja dan pada sedimen urin.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan juga penemuan telur cacing pada pemeriksaan tinja dan juga sedimen urine.

Diagnosis Banding : -

Komplikasi:
 a. Gagal ginjal
 b. Gagal jantung

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Pengobatan diberikan dengan dua tujuan yakni untuk menyembuhkan pasien atau meminimalkan morbiditas dan mengurangi penyebaran penyakit
b. Prazikuantel adalah obat pilihan yang diberikan karena dapat membunuh semua spesies Schistosoma. Walaupun pemberian single terapi sudah bersifat kuratif, namun pengulangan setelah 2 sampai 4
minggu dapat meningkatkan efektifitas pengobatan. Pemberian prazikuantel dengan dosis sebagai berikut:
Tabel 20. Dosis prazikuantel






                


Rencana Tindak Lanjut

a. Setelah 4 minggu dapat dilakukan pengulangan pengobatan.
b. Pada pasien dengan telur cacing positif dapat dilakukan pemeriksaan ulang setelah satu bulan untuk memantau keberhasilan pengobatan.

Konseling dan Edukasi

a. Hindari berenang atau menyelam di danau atau sungai di daerah endemik skistosomiasis.
b. Minum air yang sudah dimasak untuk menghindari penularan lewat air yang terkontaminasi.

Kriteria Rujukan

Pasien yang didiagnosis dengan skistosomiasis (kronis) disertai komplikasi.

Sarana Prasarana

Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan tinja dan sedimen urine (pada S.haematobium)

Prognosis

Pada skistosomiasis akut, prognosis adalah dubia ad bonam, sedangkan yang kronis, prognosis menjadi dubia ad malam.


 Sumber gambar :
 http://www.rayur.com/wp-content/uploads/2012/08/Schistosomiasis.jpg
 http://africanxmag.com/new-13.jpg
 http://www.tabletsmanual.com/img/wiki/swimmers_itch.jpg
 http://9diseasewiki.wikispaces.com/file/view/13._Untreated_Schistosomiasis.png/247626269/714x278/13._Untreated_Schistosomiasis.png

Monday, 5 May 2014

ASKARIASIS (CACING GELANG)

Askariasis


No. ICPC II : D96 Worms/ other parasites
No. ICD X : B77.9 Ascariaris unspecified
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Askariasis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infestasi parasit Ascaris lumbricoides.
Di Indonesia prevalensi ascariasis tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya antara 60-90%. Diperkirakan 807-1,221 juta orang di dunia terinfeksi Ascaris lumbricoides.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Nafsu makan menurun, perut membuncit, lemah, pucat, berat badan menurun, mual, muntah.

Gejala Klinis
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva.
Gangguan karena larva: biasanya terjadi pada saat berada diparu. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam, dan eosinofilia. Pada foto thoraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut sindrom Loeffler.
Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan, dan sangat tergantung dari banyaknya cacing yang menginfeksi di usus. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare, atau konstipasi.
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus).
Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu, apendiks, atau ke bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang-kadang perlu tindakan operatif.



Faktor Risiko
a. Kebiasaan tidak mencuci tangan.
b. Kurangnya penggunaan jamban.
c. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk.
d. Kebiasaan tidak menutup makanan sehingga dihinggapi lalat

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana(Objective)

Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan tanda vital
b. Pemeriksaan generalis tubuh: konjungtiva anemis, terdapat tanda-tanda malnutrisi, nyeri abdomen jika terjadi obstruksi.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk penyakit ini adalah dengan melakukan pemeriksaan tinja secara langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis Ascarisis.

Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya larva atau cacing dalam tinja.

Diagnosis Banding: jenis kecacingan lainnya

Komplikasi: anemia defisiensi besi

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Memberi pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan, antara lain:
   1. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun.
   2. Menutup makanan.
   3. Masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga.
   4. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk.
   5. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar tetap bersih dan tidak lembab.
b. Farmakologis
   1. Pirantel pamoat 10 mg /kg BB, dosis tunggal, atau
   2. Mebendazol, 500 mg, dosis tunggal, atau
   3. Albendazol, 400 mg, dosis tunggal. Tidak boleh diberikan pada ibu hamill.
Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara massal pada masyarakat.
Syarat untuk pengobatan massal antara lain :
   a. Obat mudah diterima dimasyarakat
   b. Aturan pemakaian sederhana
   c. Mempunyai efek samping yang minim
   d. Bersifat polivalen, sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing
   e. Harga mudah dijangkau.

Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara lain:
  a. Masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga. Sehingga kotoran manusia tidak menimbulkan pencemaran pada tanah disekitar lingkungan tempat tinggal kita.
  b. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk.
  c. Menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja manusia.
  d. Menggunakan sarung tangan jika ingin mengelola limbah/sampah.
  e. Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukkan aktifitas dengan menggunakan sabun.
  f. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar tetap bersih dan tidak lembab.

Kriteria Rujukan: -

Sarana Prasarana

Laboratorium mikroskopik sederhana untuk pemeriksaan spesimen tinja.

Prognosis

Pada umumnya prognosis adalah bonam, karena jarang menimbulkan kondisi yang berat secara klinis.


Sumber gambar :  http://img2.tfd.com/mk/A/X2604-A-65.png
http://www.facmed.unam.mx/deptos/microbiologia/parasitologia/images/ascaris_adultos.jpg

Saturday, 3 May 2014

PAROTITIS

Parotitis


No. ICPC II : D83 Mouth/tounge/lip disease
No. ICD X : K11.2 Sialoadenitis
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Parotitis adalah peradanganyang terjadi pada kelenjar saliva atau yang lebih dikenal dengan kelenjar parotis.Kematian akibat penyakit parotitis sangat jarang ditemukan.Parotitis paling sering merupakan bentuk komplikasi dari penyakit yang mendasarinya.
Parotitis Sindrom Sjögren memiliki rasio laki-perempuan 1:9. Parotitis dapat berulang saat masa kecil lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan.
Parotitis viral (gondongan) paling sering terjadipada anak-anak

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
a. Demam
b. Pembengkakan pada kelenar parotis mulai dari depan telinga hingga rahang bawah
c. Nyeri terutama saat mengunyah makanan dan mulut terasa kering.

Tanda dan gejala pada penyakit parotitis berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
a. Parotitis akut
1. Parotitis bakteri akut: bengkak, nyeri pada kelenjar dan demam, mengunyah menambah rasa sakit.
2. Parotitis virus akut (gondong): Nyeri, bengkak pad akelenjar 5-9 hari terakhir. Malaise moderat, anoreksia, dan demam.
3. Parotitis tuberkulosis: nyeri tekan, bengkak pada salah satukelenjar parotid, gejala tuberkulosis dapat ditemukan dibeberapa kasus.

b. Parotitis kronik
1. Sjogren syndrome: pembengkakan salah satu atau kedua kelenjar parotis tanpa sebab yang jelas, sering berulang, dan bersifat kronik, mata dan mulut kering.
2. Sarkoidosis: nyeri tekan pada pembengkakan kelenjar parotis.

Faktor Risiko: -

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada kelenjarparotis dapat ditemukan tanda-tanda berupa:
  a. Demam
  b. Pembengkakan kelenjar parotis
  c. Eritema pada kulit.
  d. Nyeri tekan di kelenjar parotis.
  e. Terdapat air liur purulen.

Pemeriksaan Penunjang–dilakukan di layanan sekunder:
Pemeriksaan laboratorium : untuk menganalisa cairan saliva, dengan
dilakukan pemeriksaan anti-SS-A, anti-SS-B, dan faktor rhematoid yang dapat mengetahui adanya penyakit autoimun.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.

Diagnosis Banding
a. Neoplasma kelenjar saliva
b. Pembesaran kelenjar getah bening karena penyebab lain

Komplikasi

a. Infeksi gigi dan karies
b. Infeksi ke kelenjar gonad

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Memberikan informasi selengkapnya kepada pasien / orang tua pasien, dan keluarga mengenai penyakit parotitis. Menjaga kebersihan gigi dan mulut sangat efektif untuk mencegah parotitis yang disebakan oleh
bakteri dan virus.
b. Farmakologis:
   1. Tatalaksana simptomatis sesuai gejala yang dirasakan.
   2. Antibiotik: Antibiotik spektrum luas dapat diberikan pada kasus parotitis bakteri akut yang disebabkanoleh bakteri.
   3. Bila kondisi tidak membaik, segera rujuk ke layanan sekunder.

Konseling dan Edukasi

Pendekatan keluarga dapat dilakukan dengan membantu pihak keluarga untuk memahami penyakit parotitis ini, dengan menjelaskan kepada keluarga pentingnya melakukkan vaksin parotitis yang dapat mencegah terjadinya penularan penyakit ini.

Kriteria Rujukan

Bila kasus tidak membaik dengan pengobatan adekuat di layanan primer, segera rujuk ke layanan sekunder dengan dokter spesialis anak atau dokter spesialis penyakit dalam.

Sarana Prasarana

Obat antibiotik

Prognosis

Prognosis umumnya bonam, namun sanationam dapat dubia, karena keluhan dapat terjadi berulang.



Sumber gambar : http://blog.jilbab-muslimah.com/wp-content/uploads/2013/08/gondongan1.jpg

HEPATITIS B

Hepatitis B

No. ICPC II : D72 Viral Hepatitis
No. ICD X :
Tingkat Kemampuan: 3A

Masalah Kesehatan

Hepatitis B adalah virus yang menyerang hati, masuk melalui darah atau pun cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi seperti halnya virus HIV. Virus ini tersebar luas di seluruh dunia dengan angka kejadian yang berbeda-beda.
Tingkat prevalensi hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi berkisar 2,5% di Banjarmasin sampai 25,61% di Kupang, sehingga termasuk dalam kelompok negara dengan endemisitas sedang sampai tinggi.
Infeksi hepatitis B dapat berupa keadaan yang akut dengan gejala yang berlangsung kurang dari 6 bulan. Apabila perjalanan penyakit berlangsung lebih dari 6 bulan maka kita sebut sebagai hepatitis kronik (5%). Hepatitis B kronik dapat berkembang menjadi penyakit hati kronik yaitu sirosis hepatis (pengerasan hati), 10% dari penderita sirosis hepatis akan berkembang menjadi kanker hati (hepatoma).

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
a. Umumnya tidak menimbulkan gejala terutama pada anak-anak.
b. Gejala baru timbul apabila seseorang telah terinfeksi selama 6 minggu, antara lain:
    1. gangguan gastrointestinal, seperti : malaise, anoreksia, mual dan muntah;
    2. gejala flu : batuk, fotofobia, sakit kepala, mialgia (nyeri otot).
c. Gejala prodromal (awal) seperti diatas akan menghilang pada saat timbul kuning, tetapi keluhan anoreksia (tidak nafsu makan), malaise (lesu), dan kelemahan dapat menetap.
d. Ikterus didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap (seperti air teh). Pruritus (biasanya ringan dan sementara) dapat timbul ketika ikterus (kuning) meningkat.
Pada saat badan kuning, biasanya diikuti oleh pembesaran hati yang diikuti oleh rasa sakit bila ditekan di bagian perut kanan atas. Setelah gejala tersebut akan timbul fase resolusi.
e. Pada sebagian kasus hepatitis B kronik terdapat pembesaran hati dan limpa.

Faktor Risiko
Setiap orang tidak tergantung kepada umur, ras, kebangsaan, jenis kelamin dapat terinfeksi hepatitis B, akan tetapi faktor risiko terbesar adalah apabila:
a. Mempunyai hubungan kelamin yang tidak aman dengan orang yang sudah terinfeksi hepatitis B.
b. Memakai jarum suntik secara bergantian terutama kepada penyalahgunaan obat suntik.
c. Menggunakan alat-alat yang biasa melukai bersama-sama dengan penderita hepatitis B.
d. Orang yang bekerja pada tempat-tempat yang terpapar dengan darah manusia.
e. Orang yang pernah mendapat transfusi darah sebelum dilakukan pemilahan terhadap donor.
f. Penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis.
g. Anak yang dilahirkan oleh ibu yang menderita hepatitis B.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)



Pemeriksaan Fisik
a. Konjungtiva ikterus (kuning)
b. pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada hati,
c. Splenomegali (pembesaran limpa) dan limfadenopati pada 15-20% pasien.

Pemeriksaan Penunjang
a. Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam urin)
b. Pemeriksaan darah : peningkatan kadar bilirubin dalam darah, kadar SGOT dan SGPT ≥ 2x nilai normal tertinggi, dilakukan pada fasilitas primer yang lebih lengkap.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis Banding
a. Perlemakan hati
b. Penyakit hati oleh karena obat atau toksin
c. Hepatitis autoimun
d. Hepatitis alkoholik
e. Obstruksi akut traktus biliaris

Komplikasi

a. Sirosis Hati
b. Ensefalopati Hepatik
c. Kanker Hati

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Asupan kalori dan cairan yang adekuat
b. Tirah baring
c. Tata laksana Farmakologi sesuai dengan gejala yang dirasakan oleh pasien
d. Antipiretik bila demam; Paracetamol 500 mg (3-4x sehari) (pemberiannya harus penuh pertimbangan mengingat parasetamol bersifat hepatotoxic)
e. Apabila ada keluhan gastrointestinal seperti:
   1. Mual : Antiemetik seperti Metoklopropamid 3x10 mg/hari atau Domperidon 3x10mg/hari
   2. Perut perih dan kembung : H2 Blocker (Simetidin 3x200 mg/hari atau Ranitidin 2x 150mg/hari)
        atau Proton Pump Inhibitor (Omeprazol 1 x 20 mg/hari)

Rencana Tindak Lanjut
Kontrol secara berkala terutama bila muncul kembali gejala kearah penyakit hepatitis.

Konseling dan Edukasi
a. Pada hepatitis B kronis karena pengobatan cukup lama, keluarga ikut mendukung pasien agar teratur minum obat.
b. Pada fase akut, keluarga ikut menjaga asupankaloridancairan yang adekuat, dan membatasi aktivitasfisik pasien.
c. Pencegahan penularan pada anggota keluarga dengan modifikasi pola hidup untuk pencegahan transmisi, dan imunisasi.

Kriteria Rujukan

Pasien yang telah terdiagnosis Hepatitis B dirujuk ke pelayanan sekunder (spesialis penyakit dalam)

Sarana Prasarana

a. Laboratorium darah dan urin rutin untuk pemeriksaan fungsi hati
b. Obat Antipiretik, Antiemetik, H2 Bloker atau Proton Pump Inhibitor

Prognosis

Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi, dan pengobatannya. Pada umumnya, prognosis pada hepatitis B adalah dubia, untuk fungsionam dan sanationam dubia ad malam.

Catatan : temulawak (curcuma) bisa dijadikan terapi tambahan.


Sumber gambar :  https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLFPxYMR5-5DeXrQMsgx4PWHhFhEYYKllQlMZTBiMukroK2DIj8Vsz4B7yKSkywJuPwZlTgoXVwr9iQloeFbxns2p4bK0jhbdPNXF2VODm6tn0V3CxlM24NYRN0dZIIYUk0JsWk19eh9YF/s1600/Hati.jpg

Friday, 2 May 2014

HEPATITIS A (SAKIT KUNING/LIVER)

Hepatitis A


No. ICPC II : D72 Viral Hepatitis
No. ICD X :
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Hepatitis A adalahsebuahkondisipenyakitinfeksiakut di liver yang disebabkan oleh hepatitis A virus (HAV), sebuah virus RNA yang disebarkan melalui rute fecal oral. Periode inkubasi rata-rata 28 hari (15 – 50 hari). Lebih dari 75% orang dewasa simtomatik, sedangkan pada anak < 6 tahun 70% asimtomatik (tanpa gejala).
Kurang dari 1% penderita Hepatitis A dewasa berkembang menjadi Hepatitis A fulminan.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
   a. Demam
   b. Mata dan kulit kuning
   c. Penurunan nafsu makan
   d. Nyeri otot dan sendi
   e. Lemah, letih, lesu.
   f. Mual, muntah
   g. Warna urine seperti teh

Faktor Risiko:
Sering mengkonsumsi makanan atau minuman yang kurang terjaga sanitasinya (kebersihannya).
Menggunakan alat makan dan minum dari penderita hepatitis.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
   a. Febris,
   b. Sclera ikterik, jaundice,
   c. Hepatomegali,
   d. Warna urine seperti teh

Pemeriksaan Penunjang
   a. Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam urin)
   b. Pemeriksaan darah : peningkatan kadar bilirubin dalam darah, kadar SGOT dan SGPT ≥ 2x nilai normal tertinggi, dilakukan pada fasilitas primer yang lebih lengkap.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis Banding
   a. Kolesistitis
   b. Abseshepar
   c. Sirrosishepar
   d. Hepatitis virus lainnya

Komplikasi

   a. Hepatitis A Fulminan
   b. Sirosis Hati
   c. Ensefalopati Hepatik
   d. Koagulopati

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Asupan kalori dan cairan yang adekuat
b. Tirah baring
c. Tata laksana Farmakologi sesuai dengan gejala yang dirasakan oleh pasien:
    Antipiretik bila demam; ibuprofen 2x400mg/hari.
    Apabila ada keluhan gastrointestinal, seperti:
     1. Mual : Antiemetik seperti Metoklopropamid 3x10 mg/hari atau Domperidon 3x10mg/hari.
     2. Perut perih dan kembung : H2 Bloker (Simetidin 3x200 mg/hari atau Ranitidin 2x 150mg/hari)
         atau Proton Pump Inhibitor (Omeprazol 1 x 20 mg/hari).

Rencana Tindak Lanjut
Kontrol secara berkala untuk menilai hasil pengobatan.

Konseling dan Edukasi

a. Sanitasi dan higiene mampu mencegah penularan virus.
b. Vaksinasi Hepatitis A diberikan kepada orang-orang yang berisiko tinggi terinfeksi.
c. Keluarga ikut menjaga asupankaloridancairan yang adekuat, dan membatasi aktivitasfisik pasien selama fase akut.

Kriteria Rujukan

a. Penderita Hepatitis A dengan keluhan ikterik yang menetap tanpa disertai keluhan yang lain.
b. Penderita Hepatitis A dengan penurunan kesadaran dengan kemungkinan ke arah ensefalopati hepatik.

Sarana Prasarana

a. Laboratorium darah dan urin rutin untuk pemeriksaan fungsi hati
b. Obat Antipiretik, Antiemetik, H2 Bloker atau Proton Pump Inhibitor

Prognosis

Prognosis umumnya adalah bonam.


Sumber gambar : http://www.lacapital.com.ar/export/sites/core/imagenes/28-05-hepa.jpg_141358524.jpg
http://obatpenyakithepatisisa.bloginformasiteraktual.com/wp-content/uploads/sites/652/2013/11/465958-hepatitis-a-facts.jpg

Thursday, 1 May 2014

HEMOROID GRADE 1 - 2 (WASIR/AMBEYEN)

Hemoroid Grade 1-2


No. ICPC II : D95 Anal fissure/perianal abscess
No. ICD X : K64
Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Hemoroid adalah pelebaran vena-vena didalam pleksus hemoroidalis. (kumpulan vena di daerah anus)

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
a. Perdarahan pada waktu defekasi (BAB), darah berwarna merah segar. Darah dapat menetes keluar dari anus beberapa saat setelah defekasi. Biasanya tanpa rasa sakit.
b. Prolaps (penonjolan ) suatu massa pada waktu defekasi. Massa ini mula-mula dapat kembali spontan sesudah defekasi, tetapi kemudian harus dimasukkan secara manual dan akhirnya tidak dapat dimasukkan lagi.
c. Pengeluaran lendir.
d. Iritasi didaerah kulit perianal. kadang-kadang gatal.
e. Gejala-gejela anemia (seperti : pusing, lemah, pucat,dll).

Faktor Risiko
a. Penuaan
b. Lemahnya dinding pembuluh darah
c. Wanita hamil
d. Konstipasi
e. Konsumsi makanan rendah serat
f. Peningkatan tekanan intraabdomen
g. Batuk kronik
h. Sering mengedan
i. Penggunaan toilet yang berlama-lama (misal : duduk dalam waktu yang lama di toilet)

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a. Periksa tanda-tanda anemia.
b. Pemeriksaan status lokalis
1. Inspeksi:
Hemoroid derajat 1, biasanya tidak menunjukkan adanya suatu kelainan diregio anal yang dapat dideteksi dengan inspeksi saja.

Hemoroid derajat 2, tidak terdapat benjolan mukosa yang keluar melalui anus, akan tetapi bagian hemoroid yang tertutup kulit dapat terlihat sebagai pembengkakan.

Hemoroid derajat 3 dan 4 yang besar akan segera dapat dikenali dengan adanya massa yang menonjol dari lubang anus yang bagian luarnya ditutupi kulit dan bagian dalamnya oleh mukosa yang berwarna keunguan atau merah.

2. Palpasi:
• Hemoroid interna pada stadium awal merupaka pelebaran vena yang lunak dan mudah kolaps sehingga tidak dapat dideteksi dengan palpasi.
• Setelah hemoroid berlangsung lama dan telah prolaps, jaringan ikat mukosa mengalami fibrosis sehingga hemoroid dapat diraba ketika jari tangan meraba sekitar rektum bagian bawah.

Pemeriksaan Penunjang
a. Anoskopi
b. Untuk menilai hemoroid interna yang tidak menonjol keluar.
c. Proktosigmoidoskopi.
d. Untuk memastikan bahwa keluhan bukan disebabkan oleh proses radang atau proses keganasan di tingkat tinggi
e. Pemeriksaan darah rutin, bertujuan untuk mengetahui adanya anemia dan infeksi.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Klasifikasi hemoroid, dibagi menjadi :
a. Hemoroid internal, yang berasal dari bagian proksimal dentate line dan dilapisi mukosa
Hemoroid internal dibagi menjadi 4 grade, yaitu :
1. Grade 1 : hemoroid mencapai lumen anal kanal
2. Grade 2 : hemoroid mencapai sfingter eksternal dan tampak pada saat pemeriksaan tetapi dapat masuk kembali secara spontan.
3. Grade 3 : hemoroid telah keluar dari anal canal dan hanya dapat masuk kembali secara manual oleh pasien.
4. Grade 4 : hemoroid selalu keluar dan tidak dapat masuk ke anal kanal meski dimasukkan secara manual

b. Hemoroid eksternal, berasal dari bagian dentate line dan dilapisi oleh epitel mukosa yang telah termodifikasi serta banyak persarafan serabut saraf nyeri somatik.

 Diagnosis Banding
a. Kondiloma Akuminata
b. Proktitis
c. Rektal prolaps

Komplikasi :Pendarahan, infeksi, incarserata

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan Hemoroid Internal:

a. Hemoroid grade 1
Dilakukan terapi konservatif medis dan menghindari obat-obat antiinflamasi non-steroid, serta makanan pedas atau berlemak.

b. Hemoroid grade 2 dan 3
Pada awalnya diobati dengan prosedur pembedahan.

c. Hemoroid grade 3 dan 4 dengan gejala sangat jelas
Penatalaksaan terbaik adalah tindakan pembedahan hemorrhoidectomy.

d. Hemoroid grade 4
 Hemoroid grade 4 atau dengan jaringan inkarserata membutuhkan konsultasi dan penatalaksanaan bedah yang cepat.

Penatalaksanaan grade 2-3-4 harus dirujuk ke dokter spesialis bedah.

Penatalaksanaan hemorrhoid eksternal
Hemoroid eksternal umumnya merespon baik dengan melakukkan eksisi.
Tindakan ini hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis bedah.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengurangi rasa nyeri dan konstipasi pada pasien hemoroid.

Konseling dan Edukasi:
Melakukan edukasi kepada pasien sebagai upaya pencegahan hemoroid.
Pencegahan hemoroid dapat dilakukan dengan cara:
a. Konsumsi serat 25-30 gram perhari. Hal ini bertujuan untuk membuat feses menjadi lebih lembek dan besar, sehingga mengurangi proses mengedan dan tekanan pada vena anus.
b. Minum air sebanyak 6-8 gelas sehari.
c. Mengubah kebiasaan buang air besar. Segerakan ke kamar mandi saat merasa akan buang air besar, janga ditahan karena akan memperkeras feses. Hindari mengedan.

Kriteria Rujukan

Jika dalam pemeriksaan diperkirakan sudah memasuki grade 2-3-4.

Sarana Prasarana

1. Pencahayaan yang cukup
2. Sarung tangan

 Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam

Sumber gambar :  http://kesehatanmuslim.com/wp-content/uploads/2013/06/tipe-wasir.jpg