Pages

Monday, 1 June 2015

RHINITIS ALERGIKA

Rhinitis Alergik


















No. ICPC II : R97 Allergic rhinitis
No. ICD X : J30.0 Vasomotor rhinitis
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi oleh alergen yang
sama serta dilepaskan suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut.
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and it’s Impact on Asthma), 2001,
rhinitis alergi adalah kelainan pada gejala bersin bersin, rinore, rasa gatal
dan tersumbat setelah mukosa hidung terpaparalergen yang diperantai oleh Ig E.

Rhinitis ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih sering terjadi
terutama anak laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki-laki dan
perempuan sama. Insidensi tertinggi terdapat pada anak-anak dan dewasa
muda dengan rerata pada usia 8-11 tahun, sekitar 80% kasus rhinitis alergi
berkembang mulai dari usia 20 tahun. Insidensi rhinitis alergi pada anak-anak
40% dan menurun sejalan dengan usia sehingga pada usia tua rhinitis alergi
jarang ditemukan.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Pasien datang dengan keluhan keluarnya ingus encer dari hidung (rinorea),
bersin, hidung tersumbat dan rasa gatal pada hidung (trias alergi).
Bersin merupakan gejala khas, biasanya terjadi berulang, terutama pada pagi
hari. Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap patologik dan perlu dicurigai
adanya rhinitis alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase cepat. Gejala lain
berupa mata gatal dan banyak air mata.

Faktor Risiko

a. Adanya riwayat atopi.
b. Lingkungan dengan kelembaban yang tinggi merupakan faktor risiko
    untuk untuk tumbuhnya jamur, sehingga dapat timbul gejala alergis.
c. Terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur,
    suhu yang tinggi.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

a. Perhatikan adanya allergic salute, yaitu gerakan pasien menggosok
    hidung dengan tangannya karena gatal.
b. Wajah
    1. Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan
       dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung.
    2. Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang melalui
       setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan menggosok hidung
       keatas dengan tangan.
   3. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
       sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi
      (facies adenoid).
c. Pada pemeriksaan faring: dinding posterior faring tampak granuler dan
    edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal.
    Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).
d. Pada pemeriksaan rinoskopi:
    1. Mukosa edema, basah, berwarna pucat atau kebiruan (livide), disertai
       adanya sekret encer, tipis dan banyak. Jika kental dan purulen
       biasanya berhubungan dengan sinusitis.
    2. Pada rhinitis alergi kronis atau penyakit granulomatous, dapat
       terlihat adanya deviasi atau perforasi septum.
    3. Pada rongga hidung dapat ditemukan massa seperti polip dan tumor,
       atau dapat juga ditemukan pembesaran konka inferior yang dapat
       berupa edema atau hipertropik. Dengan dekongestan topikal, polip
      dan hipertrofi konka tidak akan menyusut, sedangkan edema konka
      akan menyusut.
e. Pada kulit kemungkinan terdapat dermatitis atopi.

Pemeriksaan Penunjang

Bila diperlukan dan dapat dilakukan di layanan primer.
a. Hitung eosinofil dalam darah tepi dan sekret hidung.
b. Pemeriksaan Ig E total serum
c. Pemeriksaan feses untuk mendeteksi kecacingan

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang bila diperlukan.
Rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and it’s Impact on
Asthma), 2001, rhinitis alergi dibagi berdasarkan sifat berlangsungnya
menjadi:
a. Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari
   4 minggu.
b. Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan/atau lebih dari
    4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi
menjadi:
a. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas
    harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang
    mengganggu.
b. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan
    tersebut di atas.

Diagnosis Banding

a. Rhinitis vasomotor
b. Rhinitis akut

Komplikasi

a. Polip hidung
b. Sinusitis paranasal
c. Otitis media

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

a. Menghindari alergen spesifik
b. Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui
     berkhasiat dalam menurunkan gejala alergis
c. Terapi topikal dapat dengan dekongestan hidung topikal melalui semprot
    hidung. Obat yang biasa digunakan adalah oxymetazolin atau
    xylometazolin, namun hanya bila hidung sangat tersumbat dan dipakai
    beberapa hari (< 2 minggu) untuk menghindari rhinitis medikamentosa.
d. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat
    respons fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Obat yang
    sering dipakai adalah kortikosteroid topikal: beklometason, budesonid,
    flunisolid, flutikason, mometason furoat dan triamsinolon.
e. Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida yang
    bermanfaat untuk mengatasi rinorea karena aktivitas inhibisi reseptor
    kolinergik pada permukaan sel efektor.
f. Terapi oral sistemik
    1. Antihistamin
        • Anti histamin generasi 1: difenhidramin, klorfeniramin,
          siproheptadin.
        • Anti histamin generasi 2: loratadin, cetirizine
    2. Preparat simpatomimetik golongan agonis alfa dapat dipakai sebagai
        dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi antihistamin.
       Dekongestan oral: pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin.
g. Terapi lainnya dapat berupa operasi terutama bila terdapat kelainan
     anatomi, selain itu dapat juga dengan imunoterapi



Gambar 19. Algoritma penatalaksanaan Rinitis Alergi menurut WHO Initiative ARIA 2001
(dewasa)

Rencana Tindak Lanjut

Dilakukan sesuai dengan algoritma rhinitis alergi menurut WHO Initiative
ARIA.

Konseling dan Edukasi

Memberitahu individu dan keluarga untuk:
a. Menyingkirkan faktor penyebab yang dicurigai (alergen).
b. Menghindari suhu ekstrim panas maupun ekstrim dingin.
c. Selalu menjaga kesehatan dan kebugaran jasmani. Hal ini dapat
    menurunkan gejala alergi.

Pemeriksaan penunjang lanjutan

Bila diperlukan, dilakukan:
a. Uji kulit atau Prick Test, digunakan untuk menentukan alergen
    penyebab rhinitis alergi pada pasien.
b. Pemeriksaan radiologi dengan foto sinus paranasal.

Kriteria Rujukan

a. Bila perlu dilakukan Prick Test untuk mengetahui jenis alergen.
b. Bila perlu dilakukan tindakan operatif.

Sarana Prasarana

a. Lampu kepala
b. Spekulum hidung
c. Obat-obatan:
    Topikal:
    1. Dekongestan hidung topikal: oxymetazolin, xylometazolin.
    2. Preparat kortikosteroid topikal: beklometason, budesonid, flunisolid,
        flutikason, mometason furoat dan triamsinolon
    3. Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida
        Oral:
d. Antihistamin
    1. Anti histamin generasi 1: difenhidramin, klorfeniramin,
        siproheptadin.
    2. Anti histamin generasi 2: loratadin, cetirizine.
e. Preparat simpatomimetik golongan agonis alfa. Dekongestan oral :
    pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin.

Prognosis

Prognosis umumnya bonam, namun quo ad sanationam dubia ad bonam bila
alergen penyebab dapat dihindari.



Sumber gambar : http://nosephotographs.hawkelibrary.com/

RHINITIS VASOMOTOR

Rhinitis Vasomotor (Rhinitis Non Alergi)


























Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa
adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal, dan pajanan obat
(kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin, dan obat
topikal hidung dekongestan).
Rhinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila
adanya alergi/allergen spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan
alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi Ig E spesifik
serum).
Rhinitis non alergi dan mixed rhinitis lebih sering dijumpai pada orang dewasa
dibandingkan anak-anak, lebih sering dijumpai pada wanita
dan cenderung bersifat
menetap.

Sinonim: rhinitis non alergi, vasomotor catarrh, vasomotor rinorhea, nasal
vasomotor instability, dan non-allergic perennial rhinitis.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan
tergantung posisi tidur pasien. Pada pagi hari saat bangun tidur, kondisi
memburuk karena adanya perubahan suhu yang ekstrem, udara yang lembab,
dan karena adanya asap rokok.

Gejala lain rhinitis vasomotor dapat berupa:
a. Rinore yang bersifat serous atau mukus, kadang-kadang jumlahnya
    agak banyak.
b. Bersin-bersin lebih jarang dibandingkan rhinitis alergika.
c. Gejala rhinitis vasomotor ini

Faktor Predisposisi
a. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis
    antara lain: ergotamine, chlorpromazine, obat anti hipertensi dan obat
    vasokonstriktor topikal.
b. Faktor fisik seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban
    udara yang tinggi, serta bau yang menyengat (misalnya parfum) dan
    makanan yang pedas, panas, serta dingin (misalnya es krim).
c. Faktor endokrin, seperti kehamilan, masa pubertas, pemakaian
    kontrasepsi oral, dan hipotiroidisme.
d. Faktor psikis, seperti rasa cemas, tegang dan stress.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan rinoskopi anterior:
a. Tampak gambaran edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap
    atau merah tua tetapi dapat pula pucat.
b. Permukaan konka licin atau tidak rata.
c. Pada rongga hidung terlihat adanya sekret mukoid, biasanya jumlahnya
    tidak banyak. Akan tetapi pada golongan rinore tampak sekret serosa
    yang jumlahnya sedikit lebih banyak dengan konka licin atau berbenjolbenjol.

Pemeriksaan Penunjang
Bila diperlukan dan dapat dilaksanakan di layanan primer, yaitu:
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
rhinitis alergi.
a. Kadar eosinofil
b. Tes cukit kulit (skin prick test)
c. Kadar IgE spesifik

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang bila diperlukan.

Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3 golongan,
yaitu:
a. Golongan bersin (sneezer), gejala biasanya memberikan respon baik
    dengan terapi antihistamin dan glukokortikoid topikal.
b. Golongan rinore (runners) dengan gejala rinore yang jumlahnya banyak.
c. Golongan tersumbat (blockers) dengan gejala kongesti hidung dan
    hambatan aliran udara pernafasan yang dominan dengan rinore yang
    minimal.

Diagnosis Banding

a. Rhinitis alergika
b. Rhinitis medikamentosa
c. Rhinitis akut

Komplikasi

a. Rhinitis akut, jika terjadi infeksi sekunder
b. Sinusitis

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Menghindari faktor pencetus.
b. Menghindari terlalu lama di tempat yang ber-AC
c. Menghindari minum-minuman dingin
d. Tatalaksana dengan terapi kortikosteroid topikal dapat diberikan,
    misalnya :
    - budesonid, 1-2 x/hari dengan dosis 100-200 mcg/hari. Dosis
      dapat ditingkatkan sampai 400 mcg/hari. Hasilnya akan terlihat setelah
      pemakaian paling sedikit selama 2 minggu.
      Saat ini terdapat kortikosteroid topikal baru dalam aqua seperti
      flutikason propionate dengan pemakaian cukup 1 x/hari dengan
      dosis 200 mcg selama 1-2 bulan.
e. Pada kasus dengan rinorea yang berat, dapat ditambahkan
     antikolinergik topikal ipratropium bromide.
f. Kauterisasi konka yang hipertofi dapat menggunakan larutan AgNO3
    25% atau trikloroasetat pekat.
g. Tatalaksana dengan terapi oral dapat menggunakan preparat
    simpatomimetik golongan agonis alfa sebagai dekongestan hidung oral
    dengan atau tanpa kombinasi antihistamin. Dekongestan oral :
    pseudoefedrin, fenilpropanol-amin, fenilefrin.

Konseling dan Edukasi
Memberitahu individu dan keluarga untuk:
a. Menghindari faktor pencetus.
b. Menghindari terlalu lama di tempat yang ber-AC dan mengurangi
    minuman dingin.
c. Berhenti merokok.
d. Menghindari faktor psikis seperti rasa cemas, tegang dan stress.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Pemeriksaan radiologi: Foto sinus paranasal

Kriteria Rujukan

Jika diperlukan tindakan operatif

Sarana Prasarana

a. Lampu kepala
b. Spekulum hidung
c. Tampon hidung

Prognosis

Prognosis umumnya tidak mengancam jiwa, namun fungsi dan berulangnya
kejadian dapat dubia ad bonam jika pasien menghindari faktor pencetus.



sumber gambar : http://nosephotographs.hawkelibrary.com

Tuesday, 26 May 2015

FARINGITIS (RADANG TENGGOROKAN)

Faringitis

No. ICPC II : R74 Upper respiratory infection acute
No. ICD X : J02.9 Acute pharyngitis, unspecified
Tingkat Kemampuan: 4A





















Masalah Kesehatan

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus
(40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain.
Setiap tahunnya ± 40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan
karena faringitis. Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3-5 kali
infeksi virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis. Secara global
di dunia ini viral faringitis merupakan penyebab utama seseorang absen
bekerja atau sekolah.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan nyeri tenggorokan, sakit jika menelan dan
batuk.
Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme
yang menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala
umum seperti lemas, anorexia, demam, suara serak, kaku dan sakit pada otot
leher.
Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu:
a. Faringitis viral (umumnya oleh Rhinovirus): diawali dengan gejala
    rhinitis dan beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain
    demam disertai rinorea dan mual.


b. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang disertai demam
    dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.


c. Faringitis fungal: terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.


d. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal dan
    akhirnya batuk yang berdahak.
e. Faringitis kronik atrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal serta
    mulut berbau.
f. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak berespon
    dengan pengobatan bakterial non spesifik.
g. Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan
    riwayat hubungan seksual.

Faktor Risiko
a. Paparan udara yang dingin.
b. Menurunnya daya tahan tubuh.
c. Konsumsi makanan yang kurang gizi.
d. Iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, makanan, refluks asam
    lambung, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis,
    eksudat (virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak
    menghasilkan eksudat). Pada coxsachievirus dapat menimbulkan lesi
    vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash.
b. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring
    dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa
    hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring.
    Kadang ditemukan kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan
    nyeri pada penekanan.
c. Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih diorofaring dan
    pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.
d. Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa
    di bawah mukosa faring dan lateral lateral band hiperplasi. Pada
    pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan
    bergranular (cobble stone).
e. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring
    ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa
    kering.
f. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma perkejuan
    pada mukosa faring dan laring.
g. Faringitis luetika tergantung stadium penyakit:
   1. Stadium primer
       Pada lidah palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring
       berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi berlanjut timbul ulkus pada
       daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri. Juga
       didapatkan pembesaran kelenjar mandibula
   2. Stadium sekunder
       Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring terdapat eritema
       yang menjalar ke arah laring.
   3. Stadium tersier
       Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum.

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan darah lengkap.
b. Terinfeksi jamur, menggunakan slide dengan pewarnaan KOH.
c. Pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan gram.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang bila diperlukan.

Klasifikasi faringitis

a. Faringitis Akut
1. Faringitis Viral
    Dapat disebabkan oleh rinovirus, adenovirus, Epstein Barr Virus
    (EBV), virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus, dan lain-lain.
    Pada adenovirus juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama
    pada anak.
2. Faringitis Bakterial
    Infeksi grup A stereptokokus beta hemolitikus merupakan penyebab
    faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%).
    Faringitis akibat infeksi bakteri streptococcus group A dapat
    diperkirakan dengan menggunakan Centor criteria, yaitu :
    • Demam
    • Anterior Cervical lymphadenopathy
    • Eksudat tonsil
    • Tidak adanya batuk
    Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor 1. Bila skor 0-1 maka
    pasien tidak mengalami faringitis akibat infeksi streptococcus group
    A, bila skor 1-3 maka pasien memiliki kemungkian 40% terinfeksi
          streptococcus group A dan bila skor 4 pasien memiliki kemungkinan
         50% terinfeksi streptococcus group A.
3. Faringitis Fungal
    Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring.
4. Faringitis Gonorea
    Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital

b. Faringitis Kronik
1. Faringitis Kronik Hiperplastik
    Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding
    posterior faring.
2. Faringitis Kronik Atrofi
    Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis
    atrofi. Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta
    kelembapannya sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi
    pada faring.

c. Faringitis Spesifik
1. Faringitis Tuberkulosis
    Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Pada infeksi
    kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul tuberkulosis faring
    primer. Cara infeksi eksogen yaitu kontak dengan sputum yang
    mengandung kuman atau inhalasi kuman melalui udara. Cara infeksi
    endogen yaitu penyebaran melalui darah pada tuberculosis miliaris
2. Faringitis Luetika
    Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring,
    seperti juga penyakit lues di organ lain. Gambaran klinik tergantung
    stadium penyakitnya.

Diagnosis Banding: -

Komplikasi

a. Sinusitis
b. Otitis media
c. Epiglotitis
d. Abses peritonsilar
e. Abses retrofaringeal.
f. Septikemia
g. Meningitis
h. Glomerulonefritis
i. Demam rematik akut

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Istirahat cukup
b. Minum air putih yang cukup
c. Berkumur dengan air yang hangat dan berkumur dengan obat kumur
    antiseptik untuk menjaga kebersihan mulut. Pada faringitis fungal
    diberikan Nystatin 100.000-400.000 IU, 2 x/hari. Untuk faringitis kronik
    hiperplastik terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan
    memakai zat kimia larutan nitras argentin 25%.
d. Untuk infeksi virus, dapat diberikan anti virus metisoprinol
    (isoprenosine) dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari
    pada orang dewasa dan pada anak <5 tahun diberikan 50 mg/kgBB
    dibagi dalam 4-6 x/hari.
e. Untuk faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya
    streptococcus group A, diberikan antibiotik Penicillin G Benzatin 50.000
    U/kgBB/IM dosis tunggal bila pasien tidak alergi penisilin, atau
    Amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 x/hari selama 10 hari dan pada
    dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hari, atau Eritromisin 4 x 500 mg/hari.
f. Pada faringitis gonorea, dapat diberikan sefalosporin generasi ke-3,
    seperti Ceftriakson 2 gr IV/IM single dose.
g. Pada faringitis kronik hiperplastik, penyakit hidung dan sinus paranasal
    harus diobati. Pada faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada
    rhinitis atrofi. Sedangkan, pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan
    kaustik 1 x/hari selama 3-5 hari.
h. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran.
i. Selain antibiotik, kortikosteroid juga diberikan untuk menekan reaksi
    inflamasi sehingga mempercepat perbaikan klinis. Steroid yang
    diberikan dapat berupa deksametason 3 x 0,5 mg pada dewasa selama 3
    hari dan pada anak-anak 0,01 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 x/hari
    selama 3 hari.

Konseling dan Edukasi
Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
a. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan
    olahraga teratur.
b. Berhenti merokok bagi anggota keluarga yang merokok.
c. Menghindari makan makanan yang dapat mengiritasi tenggorok.
d. Selalu menjaga kebersihan mulut
e. Mencuci tangan secara teratur

Pemeriksaan penunjang lanjutan (bila diperlukan)
a. Kultur resistensi dari swab tenggorok.
b. GABHS rapid antigen detection test bila dicurigai faringitis akibat infeksi
    bakteri streptococcus group AKriteria

Rujukan

a. Faringitis luetika.
b. Timbul komplikasi: epiglotitis, abses peritonsiler, abses retrofaringeal,
    septikemia, meningitis, glomerulonefritis, demam rematik akut.

Sarana Prasarana

a. Lampu kepala
b. Spatula lidah
c. Lidi kapas
d. Pemeriksaan laboratorium sederhana
e. Larutan KOH
f. Pewarnaan gram
g. Obat-obatan: antibiotik, antiviral, obat batuk antitusif atau ekspektoran,
    obat kumur antiseptik.

Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam, namun hal ini bergantung pada jenis dan
komplikasinya.




sumber gambar : http://www.healthline.com/health/sore-throat#Overview1

Wednesday, 6 May 2015

TONSILITIS

Tonsilitis

No. ICPC II : R76 Tonsillitis acute
No. ICD X : Acute tonsillitis, unspecified
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina
(tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius
(lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil).
Penyakit ini banyak diderita oleh anak-anak berusia 3 sampai 10 tahun dan
anak remaja berusia 15 hingga 25 tahun.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada tenggorokan.
Gejala lainnya tergantung penyebab tonsilitis.

a. Penderita tonsilitis akut awalnya mengeluh rasa kering di tenggorokan,
kemudian berubah menjadi rasa nyeri di tenggorokan dan nyeri saat
menelan. Rasa nyeri semakin lama semakin bertambah sehingga anak
menjadi tidak mau makan. Nyeri hebat ini dapat menyebar sebagai
referred pain ke sendi-sendi dan telinga. Nyeri pada telinga (otalgia)
tersebut tersebar melalui nervus glossofaringeus (IX). Keluhan lainnya
berupa demam yang dapat sangat tinggi sampai menimbulkan kejang
pada bayi dan anak-anak. Rasa nyeri kepala, badan lesu dan nafsu
makan berkurang sering menyertai pasien tonsilitis akut. Suara pasien
terdengar seperti orang yang mulutnya penuh terisi makanan panas.
Keadaan ini disebut plummy voice/ hot potato voice. Mulut berbau (foetor
ex ore) dan ludah menumpuk dalam kavum oris akibat nyeri telan yang
hebat (ptialismus). Tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang
disertai rasa nyeri tenggorokan.

b. Pada tonsilitis kronik, pasien mengeluh ada penghalang/ mengganjal di
tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan pernafasan berbau
(halitosis).

c. Pada Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa) gejala yang
timbul adalah demam tinggi (39˚C), nyeri di mulut, gigi dan kepala, sakit
tenggorokan, badan lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi.

Faktor Risiko

a. Faktor usia, terutama pada anak.
b. Penurunan daya tahan tubuh.
c. Rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu).
d. Higiene rongga mulut yang kurang baik.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik
a. Tonsilitis akut: pada pemeriksaan ditemukan tonsil yang udem (ukuran
membesar), hiperemis dan terdapat detritus yang memenuhi permukaan
tonsil baik berbentuk folikel, lakuna, atau pseudomembran. Bentuk
tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis,
bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur alur maka
akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar
sehingga terbentuk membran semu (pseudomembran) yang menutupi
ruang antara kedua tonsil sehingga tampak menyempit. Palatum mole,
arkus anterior dan arkus posterior juga tampak udem dan hiperemis.
Kelenjar submandibula yang terletak di belakang angulus mandibula
terlihat membesar dan ada nyeri tekan.

b. Tonsilitis kronik: pada pemeriksaan fisik ditemukan tampak tonsil
membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar, dan
kriptus berisi detritus. Tanda klinis pada Tonsilitis Kronis yang sering
muncul adalah kripta yang melebar, pembesaran kelenjar limfe
submandibula dan tonsil yang mengalami perlengketan. Tanda klinis
tidak harus ada seluruhnya, minimal ada kripta yang melebar dan
pembesaran kelenjar limfe submandibular.

c. Tonsilitis difteri: pada pemeriksaan ditemukan tonsil membengkak
ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan
membentuk pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga
bila diangkat akan mudah berdarah.

d. Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan
mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak
permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat
dibagi menjadi:

1. T0: tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat.

2. T1: <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau
batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar
anterior uvula.

3. T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaringatau
batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½
jarak pilar anterior-uvula.

4. T3: 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
atau batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai
¾ jarak pilar anterior-uvula.

5. T4: > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau
batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula sampai
uvula atau lebih.

 
Gambar 20. Gradasi pembesaran tonsil

Pemeriksaan Penunjang: bila diperlukan
a. Darah lengkap
b. Usap tonsil untuk pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan gram

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan untuk
diagnosis definitif dengan pemeriksaan penunjang.

Klasifikasi tonsilitis:
a. Tonsilitis Akut
1. Tonsilitis viral
Virus Epstein Barr adalah penyebab paling sering. Jika terjadi
infeksivirus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan
tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri
dirasakan pasien.
2. Tonsilitis bakterial
Peradangan akut tonsil yang dapat disebabkan oleh kuman grup A
stereptococcus beta hemoliticus yang dikenal sebagai strept throat,
pneumococcus, streptococcus viridan dan streptococcus piogenes.
Haemophilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut
supuratif. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan
menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Masa inkubasi 2-4
hari.

b. Tonsilitis Membranosa
1. Tonsilitis difteri
     Tonsilitis ini disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.
     Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit.
     Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah. Titer
     antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup
     memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi menjadi 3 golongan
     besar, umum, lokal dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama
     seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak
     nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan.
     Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak
     putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk
     pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila
     diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat endotoksin dapat
     menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung
     dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf
     kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot
     pernafasan, pesudomembran yang meluas ke faringolaring dapat
     menyebabkan sumbatan jalan nafas atas yang merupakan keadaan
     gawat darurat serta pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.

2. Tonsilitis septik
     Penyebab tonsilitis septik adalah Streptococcus hemoliticus yang
     terdapat dalam susu sapi sehingga menimbulkan epidemi. Oleh
     karena itu di Indonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara
     pasteurisasi sebelum diminum maka penyakit ini jarang ditemukan.

3. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)
    Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema
    yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang
    dan defisiensi vitamin C.

4. Penyakit keganasan
    Pembesaran tonsil dapat merupakan manifestasi dari suatu
    keganasan seperti limfoma maligna atau karsinoma tonsil. Biasanya
    ditemukan pembesaran tonsil yang asimetris.

c. Tonsilitis Kronik
    Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok,
    beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
    kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

Diagnosis Banding

a. Faringitis.
b. Tumor tonsil.

Komplikasi

a. Komplikasi lokal
1. Abses peritonsil (Quinsy)
2. Abses parafaringeal
3. Otitis media akut

b. Komplikasi sistemik
1. Glomerulonephritis
2. Miokarditis
3. Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
a. Istirahat cukup
b. Makan makanan lunak dan menghindari makan makanan yang
    mengiritasi
c. Menjaga kebersihan mulut
d. Pemberian obat topikal dapat berupa obat kumur antiseptik
e. Pemberian obat oral sistemik
    1. Pada tonsilitis viral istirahat, minum cukup, analgetika, antivirus
        diberikan bila gejala berat. Antivirus metisoprinol
        (isoprenosine)diberikan pada infeksi virus dengan dosis 60-
       100mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang
       dewasa dan pada anak <5tahun diberikan 50mg/kgBB dibagi dalam
       4-6 kali pemberian/hari.
    2. Tonsilitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya
         streptococcus group A, diberikan antibiotik yaitu Penicillin G
        Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau Amoksisilin 50 mg/
        kgBB dosis dibagi 3 kali/ hari selama 10 hari dan pada dewasa
        3x500 mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4x500 mg/hari. Selain
        antibiotik juga diberikan kortikosteroid karena steroid telah
         menunjukkan perbaikan klinis yang dapat menekan reaksi inflamasi.
        Steroid yang dapat diberikan berupa deksametason 3x0,5 mg pada
       dewasa selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01 mg/kgBB/hari dibagi
        3 kali pemberian selama 3 hari.
   3. Pada tonsilitis difteri, Anti Difteri Serum diberikan segera tanpa
       menunggu hasil kultur, dengan dosis 20.000-100.000 unit
        tergantung umur dan jenis kelamin. Antibiotik penisilin atau
         eritromisin 25-50 mg/kgBB/hari. Antipiretik untuk simptomatis dan
        pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat tidur
       selama 2-3 minggu.
   4. Pada Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa) diberikan
        antibiotik spektrum luas selama 1 minggu, dan pemberian vitamin C
         serta vitamin B kompleks.

Pengobatan tonsilitis kronik:

a. Diberikan obat-obatan simptomatik dan obat kumur yang
    mengandung desinfektan.
b. Indikasi tonsilektomi.
     Indikasi Tonsilektomi
      Menurut Health Technology Assessment, Kemenkes tahun 2004, indikasi
     tonsilektomi, yaitu:
     a. Indikasi Absolut:
         1. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran nafas,
              disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmonar
         2. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
             drainase
         3. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
         4. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
               anatomi
       b. Indikasi Relatif:
            1. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
                 antibiotik adekuat
            2. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
                 pemberian terapi medis
            3. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptococcus yang tidak
                membaik dengan pemberian antibiotik laktamase resisten.

Konseling dan Edukasi

Memberitahu individu dan keluarga untuk:
a. Melakukan pengobatan yang adekuat karena risiko kekambuhan cukup
    tinggi.
b. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan
     olahraga teratur.
c. Berhenti merokok.
d. Selalu menjaga kebersihan mulut.
e. Mencuci tangan secara teratur.
f. Menghindari makanan dan minuman yang mengiritasi.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan

Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri.

Rencana Tindak Lanjut

Memberikan laporan ke dinkes setempat jika terdapat kasus tonsilitis difteri.

Kriteria Rujukan

Segera rujuk jika terjadi:
a. Komplikasi tonsilitis akut: abses peritonsiler, septikemia, meningitis,
    glomerulonephritis, demam rematik akut.
b. Adanya indikasi tonsilektomi.
c. Pasien dengan tonsilitis difteri.

Sarana Prasarana

a. Lampu kepala
b. Spatula lidah
c. Lidi kapas
d. Pemeriksaan laboratorium sederhana
e. Larutan KOH
f. Pewarnaan gram
g. Termometer
h. Obat-obatan: antiviral, antibiotik, obat kumur antiseptic

Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam jika pengobatan adekuat dan kebersihan
mulut baik.